Langsung ke konten utama

Apa kabar bentuk otonomi daerah?

SABTU, 4 OKTOBER 2014 
15.51 WIB 

Saya tak mempunyai latar belakang pendidikan politik, bahkan buku karangan Miriam Budiarjo yang berjudul DASAR-DASAR ILMU POLITIK pun tak mampu saya lahap sepenuhnya. 

Begitu juga dengan pengalaman kehidupan politik, dalam artian politik kenegaraaan, saya jelas tak mempunyainya. 

Jadi maafkan apabila kemudian saya sungguh tak mengerti dengan kondisi perpolitikan yang sekarang terjadi di Indonesia dan terasa sangat menguras psikologi rakyat Indonesia. 

Terutama dengan pemberitaan media yang apabila boleh saya katakan, sangat membabi buta. Salah satu indikator bahwa pemberitaan kondisi politik di Indonesia kini sangat berlebihan adalah tidak ada sedikit pun wadah bagi mereka (pemberi berita) untuk juga memberikan kabar berita tentang pelaksanaan ibadah Idul Adha di Indonesia. 

Padahal ada isu menarik di sana yang seharusnya juga mendapatkan perhatian lebih dari media, yakni tentang perbedaan waktu pelaksanaan idul adha. Sebagian ulama memutuskan bahwa Idul Adha jatuh pada hari ini, Sabtu tanggal 4, bulan Oktober, tahun 2014 sedangkan sebagian lainnya, termasuk pemerintah melalui Kementerian Agama, memutuskan bahwa perayaan Idul Adha dilaksanakan pada hari Minggu, tanggal 5, bulan Oktober, tahun 2014. 

Saya tak meminta apalagi berharap media untuk memperbesarkan perbedaan yang ada, saya hanya meminta media untuk menginformasikan perbedaan itu secara proporsional dan juga mengemukakan segala alasan yang ada di balik perbedaan tersebut. Sehingga saya dan seluruh rakyat Indonesia lainnya, bisa untuk mengamati dan menentukan pilihan. Bukan sekedar mengikuti tanpa memiliki dasar yang kuat. 

Tapi sayangnya, media terlalu sibuk untuk “memprovokasi” rakyat Indonesia dengan segala bentuk dagelan politik yang kini sedang panas terjadi. 

Permasalahan politik itu sebenarnya masih berkutat pada kontroversi disahkannya UU Pilkada, yang di dalamnya kembali mengatur pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Dan juga permasalahan tentang Pak SBY, yang di akhir masa tugasnya sebagai seorang Presiden dipenuhi dengan tuduhan sebagai seorang aktor kelas atas. 

Ahh, saya tak mengerti tapi satu hal yang saya pahami adalah media telah menjalankan tugasnya dengan sangat baik, yakni menguras habis energi psikologis rakyat Indonesia untuk sepenuhnya sibuk dengan hal-hal itu. 

Padahal, substansi utama telah mereka lupakan. 

Ya, bagi saya, segala kekisruhan politik ini, membuang satu substansi utama yang saya pikir lebih pantas untuk dibicarakan dari sekedar meributkan pemilihan kepala daerah secara langsung maupun tidak. 

Sangat disayangkan, segala emosi itu terscurah bukan untuk substansi utama demokrasi, tapi hanya kepada kemasan dan pilihan yang saya pikir tidak akan berpengaruh banyak pada tujuan utama dari demokrasi itu sendiri. Bukankah pada akhirnya kesejahteraan adalah hal yang ingin untuk diciptakan? 

Menurut saya, dari sudut pandang yang saya miliki, substansi yang seharusnya dipikirkan oleh rakyat Indonesia, dalam hal ini DPR-RI dan Pemerintah adalah mengenai bentuk dan sistem otonomi yang seharusnya digunakan di Indonesia. 

Adapun pemilihan kepala daerah secara langsung ataupun tidak, adalah hal selanjutnya setelah kita menyetujui konsep, sistem, dan bentuk otonomi yang ideal yang akan diterapkan di negeri ini. Karena itu-lah sumber utama dari segala masalah yang ada di Indonesia, ketidakjelasan bentuk otonomi sehingga segala sesuatunya menjadi kabur. 

Mungkin, yang seharusnya dibicarakan oleh pemerintah adalah mana yang sebenarnya menjadi sistem dan sub-sistem nya, apa yang menjadi grand design-nya dan apa yang menjadi penjabaran dari grand design tersebut. Karena tanpa ada kesepakatan mengenai apa yang menjadi sistem utamanya dan mana yang merupakan bagian dari sistem tersebut atau sub-sistem, maka pengelolaan tata aturan atau dasar hukum atau penataan republik ini akan menjadi kacau serta tumpang tindih. Siapa di atas siapa. Tak jelas! 

Maksud saya adalah, bukankah pemilihan kepala daerah secara langsung ataupun tidak itu merupakan konsekuensi logis dari pelaksanaan otonomi daerah? Jadi bukankah jauh lebih baik apabila kita tentukam terlebih dahulu dimana letak otonomi daerah itu akan diterapkan baru kemudian kita bicarakan mengenai sistem pemilihan kepala daerahnya, iya ‘kan

Tapi situasi yang ada sekarang justru kita lebih asyik untuk berbicara mengenai pemilihan kepala daerah secara langsung tanpa sedikit pun menyentuh ranah konsep otonomi daerah yang akan digunakan. 

Mohon maaf, tapi semangat awal dilakukannya revisi UU 32 tahun 2004 adalah untuk menentukan konsep yang lebih ideal mengenai otonomi daerah di Indonesia, tapi kenapa justru “anak” dari UU 32 tahun 2004 itu muncul lebih dulu ke permukaan dan bahkan mendapatkan lebih banyak pemberitaan daripada “induk”-nya? 

Kerancuaan otonomi daerah di Indonesia bisa terlihat dari sudut pandang bahwa daerah provinsi dan kabupaten/kota memiliki daerah otonom, tapi di sisi lain, khusus untuk daerah provinsi, Gubernur juga memiliki tugas sebagai perpanjangan tangan dari Pemerintah Pusat. Permasalahan terjadi ketika kini Bupati/Walikota dan Gubernur sama-sama memiliki kewenanagan daerah otonom, sehingga realitanya kedua pucuk pimpinan ini merasa sama kuat di daerah. Lalu Pemerintah Pusat semakin kehilangan “kekuasaan”-nya terhadap pemerintah daerah. 

Hal ini berakibat pada sulitnya untuk dilakukan koordinasi, karena semua merasa memiliki kekuasaan. Apabila berbicara dalam konteks negara federal hal ini tak menjadi persoalan, tapi ketika berbicara dalam lingkup negara kesatuan selayaknya Indonesia, maka ini jelas merupakan sebuah permasalahan. 

Oleh karena itu, seharusnya disepakati dan dirumuskan terlebih dahulu otonomi yang akan digunakan di Indonesia itu seperti apa, karena fakta yang ada di lapangan menunjukan bahwa otonomi itu tidak bisa diterapkan pada provinsi dan kabupaten/kota secara bersamaan. Salah satu diantara mereka harus ditetapkan sebagai bukan daerah otonom. 

Otonomi daerah harus berada apakah di provinsi atau kabupaten/kota. Setelah hal itu berhasil untuk disepakati, maka baru-lah dipikirkan mengenai pemilihan kepala daerahnya. 

Bagi saya, itu seharsunya yang dilakukan. Sistem utamanya terlebih dahulu disepakati seperti apa, untuk kemudian segala sub-sistem di bawahnya mengikuti. Tapi, sekarang semua sepertinya tak bermakna lagi, semua seperti ingin mendapatkan perhatian, memanfaatkan segala momentum yang ada. Mengenyampingkan substansi untuk mendapatkan atensi. 

#PMA

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibadalana uliy ba’sin syadid

Selasa, 22 Juli 2014 22.00 WIB Saya akan menampilkan atau mem- posting tulisan dari Bapak Usep Romli , Pengasuh Pesantren Budaya "Raksa Sarakan" Garut. Tulisan ini merupakan tulisan di kolom Opini , harian Republika yang diterbitkan pada hari Selasa, 22 Juli 2014. Beliau menulis tentang (satu-satunya) cara untuk bisa mengalahkan zionis Israel. sehingga tulisannya pun diberi judul, Mengalahkan Zionis Israel . Berikut ini tulisannya saya tampilkan penuh tanpa ada sedikit pun saya kurangi atau tambahkan. "Mengalahkan Zionis Israel" Hari-hari ini, bangsa Palestina di Jalur Gaza sedang dibombardir pasukan Zionis-Israel. Nyaris tak ada perlawanan sama sekali, karena Palestina tak punya tentara. Hanya ada beberapa kelompok sipil bersenjata yang berusaha bertahan seadanya. Negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab tak berdaya. Begitu pula negara-negara berpenduduk mayoritas Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI), tak da

Hercules dan Moral

The Legend of Hercules Minggu, 9 Februari 2014 10.10 WIB Cukup lama saya tidak menonton sebuah film di bisokop. Untuk sebagian orang, hal ini merupakan sebuah pemborosan karena kondisi yang ada di Indonesia memungkinkan kita untuk bisa menonton sebuah film dengan harga yang jauh lebih murah.  Di Indonesia kita masih bisa untuk mendapatkan sebuah DVD dengan harga yang sangat murah, sekitar 6 (enam) ribu rupiah ( bajakan tentunya tapi dengan kualitas gambar yang cukup baik ), bandingkan dengan harga yang harus dikeluarkan apabila kita menonton sebuah film di bioskop, sekitar 25 ribu – 50 ribu rupiah tergantung bioskop yang kita pilih. Saya pun menyadari hal itu tapi saya tentu juga memiliki alasan. Terlepas dari alasan idealis yang sebenarnya juga masih saya miliki, alasan utama yang ingin saya kemukakan disini adalah bahwa menonton sebuah film di bioskop bagi saya adalah sebuah penyegaran, sebuah hobi untuk melepas penat dan mendapatkan lagi beberapa semangat. Ya, hobi. Mung

Wahana Wyata Praja IPDN

Sejarah Singkat Wahana Wyata Praja Wahana Wyata Praja adalah organisasi internal Praja IPDN yang pada dasarnya mempunyai tugas dan fungsi sama dari tahun ke tahun, namun namanya berubah sesuai situasi dan kondisi pada masa angkatan tersebut. Nama organisasi praja yang terbentuk sejak awal berdirinya STPDN hingga IPDN adalah sebagai berikut: Manggala Corps Praja Angkatan I STPDN sampai dengan angkatan IV STPDN Organisasi ini bernama MANGGALA CORPS PRAJA, yang pimpinannya adalah Manggala Pati dengan tanda jabatan talikur berwarna merah, nama Manggala Corps ini hanya sampai pada angkatan IV saja, karena pada angkatan V organisasi internal Praja ini berubah nama menjadi WAHANA BINA PRAJA. Wahana Bina Praja Angkatan IV STPDN sampai dengan angkatan XVI STPDN Wahana Bina Praja ini pimpinannya bernama Gubernur Praja dengan tanda jabatan talikur berwarna biru lis kuning nestel dua, dari Wahana Bina Praja inilah mulai di bentuk berbagai instansi dan UKP yang di ang