THE RAID
THE USED - VULNERABLE
Saya tidak anti dengan film Indonesia dan ini sungguh bukan berarti saya tidak cinta Indonesia tapi hal itu memang terjadi karena pada kenyataannya tidak ada film Indonesia yang sesuai dengan selera dan kesukaan saya dan bahkan rata-rata, hmmm….tidak rata-rata tapi semua film yang diproduksi Indonesia merupakan film abal-abal, sama sekali tak ada kualitas dan tidak sedikit pun bernilai seni apalagi edukasi. Entah apa yang mereka cari, film-film yang ada justru hanya film perusak moral dan membodohi masyarakat dan parahnya adalah masyarakat kita dengan sangat terbuka mau untuk dirusak moralnya dan dibodohi akalnya oleh setiap film yang ada dengan dalih rasa penasaraan dan cinta produk lokal. Bayangkan saja, film-film Indonesia masih terus disesaki dan menjejali masyarakat kita dengan sebuah tema sama nan kuno yaitu hantu, telah berbagai macam varisasi judul yang mereka sematkan tapi tetap dengan garis besar jalan cerita yang sama bilapun bukan cerita hantu, atau horror biasa kita menyebutnya, maka jenis film yang ada adalah jenis film komedi yang sama sekali tidak untuk mengundang tawa tapi hanya membuat panas otak kita karena penuh dengan adegan pengumbar nafsu. Dan memang pada umumnya apapun jenis atau genre film yang dibuat oleh Indonesia maka dapat kita pastikan film tersebut dipenuhi dengan banyaknya adegan seksi cenderung mengarah pada perbuatan seks, sungguh merusak!
Di dalam gelapnya malam selalu ada cahaya bulan yang datang menerawang, begitu juga dalam kehidupan per-film-an Indonesia. Indonesia masih beruntung memilki orang-orang yang benar-benar cinta Indonesia, orang-orang negarawan yang memikirkan jauh kedepan, tidak teraniaya oleh hasutan materi, berani untuk mengambil resiko demi untuk sesuatu yang postif sehingga mereka mau untuk membuat film-film berkualitas, penuh dengan seni dan edukasi serta juga menghibur. Salah satu diantaranya adalah The Raid ( meskipun untuk unsur edukasi, sepertinya The Raid belum mampu untuk memenuhinya ). Akan tetapi The Raid menjadi sangat fenomenal, karena sampai dengan saat ini, belum ada film genre action yang diproduksi oleh Indonesia yang benar-benar berkualitas dan setara dengan aksi-aksi film barat. Alasan kenapa jarang sineas Indonesia yang enggan membuat film ber-genre action adalah karena film action pasti akan menelan biaya produksi yang sangat mahal dibandingkan dengan film yang bertemakan percintaan ataupun kehidupan. Sehingga ketika The Raid muncul ke permukaan dengan kualitas yang benar-benar lebih dari cukup maka masyarakat Indonesia, mayarakat pecinta film yang ada di Indonesia pun bersorak riang, mengembuskan nafas penuh kelegaan dan segala dahaga dalam tenggorakan pun serasa hilang. Tidak hanya di dalam negeri, film The Raid pun mendapatkan apresiasi yang sangat tinggi dan positif di kancah perfilman mancanegara, tidak hanya Amerika, tapi benar-benar mancanegara.
Bila harus jujur, haru kita akui, secara jalan ceritanya sebenarnya film The raid merupakan film action yang sangat sederhana dengan alur cerita yang juga sangat sederhana dan terlampau mudah untuk ditebak akan tetapi apa yang membuat film ini menuai begitu banyak pujian dan penghargaan adalah karena film ini menghadirkan aksi-aksi koreografi teknik berkelahi yang sangat menawan, efek yang juga sangat hebat ditunjang dengan musik penggiring yang dengan sangat baik mengiringi setiap jalannya laga. Kekuatan inti dari film ini adalah aksi dari setiap pemeran itu sendiri dan efek yang diberikan oleh sang sutradara.
Sunggguh film ini sangat tidak disarankan bagi mereka yang mudah pusing ataupun mempunyai jantung yang lemah karena sepanjang film ini anda akan dipaksa untuk selalu melihat aksi perkelahian atapun adu tembak yang sangat kejam, sadis dan brutal. Film ini memang merupakan film yang saya pikir merupakan film yang sangat ( bahkan terlampau ) sadis, setiap gerakan berbahaya, mampu untuk ditampilkan secara nyata dan cepat oleh kamera, dimulai dari adegan peluru menembus tengkorak, pisau menancap tajam dalam tangan dan seribu gerakan sadis lainnya. Entahlah! Saya pun sempat dibuat gusar dengan segala adegan sadis tersebut, saya pikir hal itu terlalu berlebihan untuk ditampilkan secara gamblang.
Satu-satunya koreksi yang ingin saya hadirkan di sini adalah saya takut apabila seluruh adegan-adegan brutal yang ditampilkan secara gamblang tersebut ditangkap dan dimaknai lain oleh para penonton, harus kita akui ada sebuah fenomena, film-film yang menampilkan adegan-adegan brutal nan sadis semisal Saw, Final Destination, dsb, merupakan film-film yang laku keras di pasaran, dan begitu juga sekarang dengan The Raid, akan menjadi sesuatu hal yang sangat mengerikan apabila kemudian para penonton yang sering melihat adegan brutal dan sadis seperti itu, apalagi kepada meraka yang jelas-jelas merupakan penyuka dari jenis film seperti itu kemudian akan bersikap apatis pada dunia nyata dan menjadi seorang pribadi yang menganggap santai dan biasa terhadap segala hal yang berbau sadisme seperti itu.
***
The Used merupakan band rock, post-hardcore atau lebih dikenal dengan band emo ternama dan bagi saya pribadi The Used merupakan band yang pertama kali memperkenalkan saya pada musik yang penuh dengan emosi, nada cepat, teriakan khas dan lirik penuh keputusasaan tapi tetap dibalut dengan secercah harapan, mengungkapkan emosi diri secara lugas dan sedramatisir mungkin. Bahkan dalam mengemukakan sebuah cinta yang seharusnya menjadi indah tapi mereka curahkan melalui sebuah kata-kata keji nan anarki, membuat semuanya terasa sangat dalam sulit untuk terselami, romantis tapi sungguh sangat realistis. Ya, itulah The Used dan itu-lah emo. Dan dari segi penampilan pun The Used sungguh sangat jauh dari kata mengecewakan, penampilan meraka mendukung dan sesuai dengan genre musik yang mereka tampilkan. Tidak ada kepura-puraan semuanya nyata dan tidak sama sekali untuk sekedar mencari reputasi untuk mendapatkan sensasi.
Akhirnya setelah hampir 3 tahun menunggu, The Used merilis juga album kelima mereka, yang berjudul Vulnerable. Perubahan itu terasa dan memang mulai terlihat ketika mereka merilis album keempat yaitu Artwork. Tapi ciri khas dan nadi utama The Used tetap teguh bertahan, tak akan hilang. Ciri khas itu bisa temui dari single pertama yang mereka keluarkan, yaitu “I Come Alive”. “I Come Alive” single pertama dan juga ditempatkan sebagai lagu pembuka dalam album Vulnerable. Sebagai sebuah lagu pembuka dan single pertama dari sebuah album baru, “I Come Alive” memang menghadirkan sebuah hal yang baru, tidak monoton, tidak membuat bosan, tapi tetap sebuah lagu yang sangat The Used. Diawali dengan distorsi gitar yang kelam dan ketukan drum yang rendah kemudian lagu itu menghentak secara musikalitas dan juga lirik! It’s so damn THE USED!!
“I Come Alive” merupakan lagu yang bercerita tentang seseorang yang selalu teraniaya tapi tetap mampu untuk bangkit dan bahkan melawan segala apa yang membuatnya jatuh, dia tetap bangkit dan dia tetap hidup. Lagu yang kelam dan lirik yang juga kelam tapi tetap menyimpan sebuah harapan kemudian mereka visualisasikan ke dalam sebuah video clip dan memang sudah menjadi sebuah ketentuan, entah tertulis maupun tidak tertulis, sebuah single harus digambarkan dalam sebuah video clip. Dan disini-lah letak kekecewaan saya atupun kekagetan saya. Video Clip “ I Come Alive” sungguh penuh berisi dengan gambar-gambar ataupun adegan yang sangat sadis dan kejam, penuh dengan gerakan berbahaya dan darah yang bercucuran kemana-mana dan semua itu semakin terlihat miris karena pelaku utama yang digambarkan dalam video clip itu adalah seorang anak kecil.
Memang secara jalan ceritanya, video clip itu sangat menggambarkan apa yang ada dalam lirik lagu tersebut tapi sungguh visualisasi itu terasa terlalu gamblang, gambar-gambar pemukulan terlihat begitu brutal dan bahkan akhir dari video clip sungguh sangat tragis ketika si anak yang menjadi pemeran utama menggorok leher ayahnya secara sadis! Damn!
***
Apa yang menjadi kekhawatiran saya adalah saya takut apabila kemudian dengan semakin banyaknya adegan-adegan ataupun tayangan seperti itu, berisi dengan sejuta visualisasi brutal dan sadis, maka hal itu akan membuat hati, rasa dan pikiran dari setiap mereka yang menontonnya menjadi keras dan menganggap segala hal itu adalah hal yang biasa apabila terjadi dalam dunia nyata sekalipun. Hal itu menjadi sangat mengerikan karena sebenarnya manusia itu mempunyai insting atau naluri untuk merasakan sesuatu hal yang sakit itu sakit untuk kemudian mereka dapat segera mengatasi kesakitan itu, mengetahui batasan bagi mereka dalam bertindak, mempunyai sikap empati dan simpati dan rasa iba sehingga bisa saling menolong dan membantu satu sama lainnya. Tanpa adanya sikap seperti itu maka kita, manusia, hanya akan menjadi sekelompok manusia yang apatis, tidak peka terhadap masalah sosial.
Hal lain yang juga tidak kalah mengerikan apabila terjadi adalah ketika tayangan-tayangan itu, yang merupakan tayangan untuk dewasa, untuk mereka yang telah mampu untuk berpikir rasional dan utuh, bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang asli dan mana yang rekayasa serta mana yang bisa ditiru dan mana yang cukup kita lihat saja. Akan tetapi di era komunikasi seperti ini, di zaman globalisasi sekarang ini, saya, anda dan siapa pun tidak akan pernah bisa menjamin bahwa anak-anak di bawah umur yang belum layak dan pantas untuk menyaksikan tayangan itu, mampu untuk mengakses dan melihat tayangan tersebut. Efek buruknya adalah, segala tayangan tersebut akan mempengaruhi keadaan psikologis mereka dan efek yang paling buruknya adalah mereka akan kemudian meniru dan memperagakan segala adegan dan tindakan yang mereka lihat itu, karena kemampuan otak mereka belum mampu untuk mencerna dan membedakan segala perbedaan yang ada.
Di sisi lain, saya pun sangat menyukai segala hal yang berbau seni akan tetapi saya sangat tidak setuju apabila kemudian seni berada di atas segalanya, seni harus tetap berada di bawah norma dan aturan yang ada. Karena seni itu merupakan dunia khayal yan apabila dibiarkan terlalu bebas berkeliaran maka hal itu akan sangat berbahaya, menjadikan kita pribadi yang hidup di dunia lain, tidak berpijak pada bumi tapi senantiasa terbang dalam awang-awang, mimpi indah tanpa ada realisasi nyata.
Setiap pribadi yang memiki inovasi harus mampu menahan diri dan taat serta patuh terhadap segala peraturan ataupun norma yang berlaku karena bukankah hiburan itu ada untuk menghilangkan segala perasaan stress? Dan bukankah tayangan-tayangan brutal seperti itu hanya justru membuat kita takut? Dan bukankah takut itu merupakan penyebab awal dari munculnya stress?
itulah dunia kekinian yang mulai ketinggalan hati nurani...menyukai segala kesadisan..menjauhi segala kebaikan ...salam
BalasHapus@BlogS of Hariyanto ; betul pak, benar-benar ironi, miris juga pak melihat semua kenyataan itu...
BalasHapus