Langsung ke konten utama

Mulai dari nol.

Artikel ini mulai ditulis pada hari Kamis tanggal 10 Sya’ban 1444 H yang bertepatan dengan tanggal 2 Maret 2023 Masehi, pukul 14.10 WIB.

 

Bissmillah wa shallatu was sallam ala rasulillah.

 

Kurang lebih delapan tahun kami telah bekerja di Ibu Kota. Tapi bila harus dihitung secara rinci, maka sebenarnya waktu efektif kami mengabdi di sana, hanya berkisar lima tahun.

 

Rinciannya adalah, satu tahun kami melaksanakan orientasi CPNS di Pemprov Jabar (2014-2015), tiga tahun kemudian kami mulai bekerja di Jakarta (2015-2018), lalu di tahun 2018 kami mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan program studi S-2 selama dua tahun di Yogyakarta (2018-2020), dan akhirnya selama dua tahun terakhir kami kembali bertugas di Jakarta (2020-2022).

 

Kami sebenarnya sudah merasa betah dan nyaman bekerja di sana, sehingga opsi pindah tempat kerja tidak terlalu banyak menyita pikiran kami.

 

Betah dan nyaman dari segi hubungan dengan rekan kerja dan intensitas beban kerja yang kami miliki. Karena kami sudah bekerja lebih dari lima tahun di sana, bahkan di unit kerja yang sama, sehingga kami sudah sangat mengenal dan paham apa yang menjadi tugas dan fungsi yang harus kami lakukan.

 

Hubungan kerja dengan sesama pegawai di sana pun, Alhamdulillah, terjalin dengan sangat baik. Secara umum komunikasi di sana berjalan apik, walaupun tentunya kami tidak menafikan adanya beberapa permasalahan, tapi bukankah masalah itu akan selalu ada dimanapun kita berada?

 

Jadi masalah yang ada, menurut kami, tidak cukup besar untuk menganggu hubungan kerja konstruktif yang ada di sana. Dan dua hal itu, iklim kerja dan beban kerja yang relatif baik, membuat kami sudah merasa nyaman dan betah.

 

Akan tetapi, qadarallah, dengan semakin bertambahnya umur, dengan bertambahnya ilmu dan pengetahuan, banyak berdiskusi, banyaknya masalah yang datang menghampiri, banyaknya perubahan psikologis pada organisasi, kekecawaan pada organisasi, dan segala hal lainnya yang terjadi di sekitar kami, maka kami mulai berpikir untuk meninggalkan Ibu Kota.

 

Semua hal yang terjadi, pada akhirnya mengerucut pada tiga alasan utama, alasan karier, alasan penghasilan dan alasan keluarga. Tiga hal itu adalah pelecut utama bagi kami untuk mulai menyusun rencana perpindahan tempat kerja. Dan akhirnya, kami lebih memilih alasan keluarga di atas uang dan jabatan.


Kenapa memilih keluarga? Karena alhamdulillah, selama di Ibu Kota, uang dan jabatan tidak bisa kami dapatkan. Mungkin karena kami yang kurang berusaha, atau mungkin karena kami yang memang tidak memiliki kualitas.


Allahu'allam, yang kami tau, kami sudah mengalami fase untuk menjadi "pegawai teladan", dalam artian, kami datang ke kantor paling awal dan pulang paling akhir. Mengerjakan semua apa yang diperintah oleh pimpinan. Lalu akhirnya lambat laun menuju ke fase "pegawai yang masa bodoh", hanya mengerjakan apa yang menjadi tugas dan fungsi yang kami miliki, datang dan pulang tepat waktu, serta mulai berani berdebat dengan pimpinan.

 

Meninggalkan tempat kerja lama dan memulai bekerja di tempat baru ternyata tidak semudah yang kami pikirkan.

 

Walaupun kami sudah bekerja selama delapan tahun sebagai Pegawai Negeri Sipil, tapi ketika kini kami harus bekerja di tempat yang baru, kami harus rela kembali memulai dari “nol”. Kami Kembali harus menjadi “anak baru”. Beradaptasi dengan lingkungan kerja baru yang tentunya memiliki kultur kerja yang berbeda dengan tempat kerja kami yang lama.

 

Di sini, kami harus kembali memulai segalanya dari bawah, menyesuaikan dengan segala kebiasaan yang ada. Meraba-raba lagi. Dan ini adalah tantangan yang harus mampu kami lewati dengan baik.

 

Kami harus belajar bersosialisasi, menjauhkan rasa gengsi sehingga tidak menjadi orang yang pilih-pilih pekerjaan. Selama itu untuk kepentingan organisasi dan arahan pimpinan, maka kami harus siap melaksanakan. Toh, ini adalah konsekuensi atas pilihan kami berpindah tempat kerja.

 

Ya, selamat tinggal zona nyaman. Semoga Allah mudahkan.

 

allahu’alam.

 

Selesai ditulis pada hari hari Selasa tanggal 15 Sya’ban 1444 H yang bertepatan dengan tanggal 7 Maret 2023 Masehi, pukul 09.53 WIB.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibadalana uliy ba’sin syadid

Selasa, 22 Juli 2014 22.00 WIB Saya akan menampilkan atau mem- posting tulisan dari Bapak Usep Romli , Pengasuh Pesantren Budaya "Raksa Sarakan" Garut. Tulisan ini merupakan tulisan di kolom Opini , harian Republika yang diterbitkan pada hari Selasa, 22 Juli 2014. Beliau menulis tentang (satu-satunya) cara untuk bisa mengalahkan zionis Israel. sehingga tulisannya pun diberi judul, Mengalahkan Zionis Israel . Berikut ini tulisannya saya tampilkan penuh tanpa ada sedikit pun saya kurangi atau tambahkan. "Mengalahkan Zionis Israel" Hari-hari ini, bangsa Palestina di Jalur Gaza sedang dibombardir pasukan Zionis-Israel. Nyaris tak ada perlawanan sama sekali, karena Palestina tak punya tentara. Hanya ada beberapa kelompok sipil bersenjata yang berusaha bertahan seadanya. Negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab tak berdaya. Begitu pula negara-negara berpenduduk mayoritas Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI), tak da

Hercules dan Moral

The Legend of Hercules Minggu, 9 Februari 2014 10.10 WIB Cukup lama saya tidak menonton sebuah film di bisokop. Untuk sebagian orang, hal ini merupakan sebuah pemborosan karena kondisi yang ada di Indonesia memungkinkan kita untuk bisa menonton sebuah film dengan harga yang jauh lebih murah.  Di Indonesia kita masih bisa untuk mendapatkan sebuah DVD dengan harga yang sangat murah, sekitar 6 (enam) ribu rupiah ( bajakan tentunya tapi dengan kualitas gambar yang cukup baik ), bandingkan dengan harga yang harus dikeluarkan apabila kita menonton sebuah film di bioskop, sekitar 25 ribu – 50 ribu rupiah tergantung bioskop yang kita pilih. Saya pun menyadari hal itu tapi saya tentu juga memiliki alasan. Terlepas dari alasan idealis yang sebenarnya juga masih saya miliki, alasan utama yang ingin saya kemukakan disini adalah bahwa menonton sebuah film di bioskop bagi saya adalah sebuah penyegaran, sebuah hobi untuk melepas penat dan mendapatkan lagi beberapa semangat. Ya, hobi. Mung

Wahana Wyata Praja IPDN

Sejarah Singkat Wahana Wyata Praja Wahana Wyata Praja adalah organisasi internal Praja IPDN yang pada dasarnya mempunyai tugas dan fungsi sama dari tahun ke tahun, namun namanya berubah sesuai situasi dan kondisi pada masa angkatan tersebut. Nama organisasi praja yang terbentuk sejak awal berdirinya STPDN hingga IPDN adalah sebagai berikut: Manggala Corps Praja Angkatan I STPDN sampai dengan angkatan IV STPDN Organisasi ini bernama MANGGALA CORPS PRAJA, yang pimpinannya adalah Manggala Pati dengan tanda jabatan talikur berwarna merah, nama Manggala Corps ini hanya sampai pada angkatan IV saja, karena pada angkatan V organisasi internal Praja ini berubah nama menjadi WAHANA BINA PRAJA. Wahana Bina Praja Angkatan IV STPDN sampai dengan angkatan XVI STPDN Wahana Bina Praja ini pimpinannya bernama Gubernur Praja dengan tanda jabatan talikur berwarna biru lis kuning nestel dua, dari Wahana Bina Praja inilah mulai di bentuk berbagai instansi dan UKP yang di ang