“Assalamu’alaikum Warahmatullahi wa Barakatuhu. Salam sejahtera untuk kita semua. Dengan ini saya, nama Arifinto, anggota DPR-RI No A-72/Fraksi PKS (2009-2014), selaku perintis dan juga pendiri Partai Keadilan, merasa terpanggil untuk tampil secara bertanggung jawab demi keberlangsungan, kesinambungan, dan nama baik serta kebesaran partai saya.
Atas pemberitaan terhadap diri saya dan dinamika media yang berkembang saat ini, saya meminta maaf kepada seluruh kader, simpatisan, konstituen PKS, serta kepada seluruh anggota DPR-RI yang terhormat.
Dengan seluruh kesadaran diri saya, tanpa paksaan dari siapapun, dan pihak manapun, demi kehormatan diri dan partai saya, setelah pernyataan ini, saya akan segera mengajukan kepada partai saya untuk mundur dari jabatan sebagai anggota DPR-RI.
Semoga keputusan yang saya ambil ini membawa kebaikan dan pembelajaran yang bermanfaat bagi diri, partai, konstituen saya, seluruh anggota DPR-RI. Semoga ini menjadi pewarisan positif dan konstruktif bagi bangsa dan negara ini di masa yang akan datang.
Untuk selanjutnya saya akan tetap bekerja untuk kepentingan partai saya, baik dalam posisi saya sebagai atau bukan sebagai anggota DPR-RI.”
Dengan seluruh kesadaran diri saya, tanpa paksaan dari siapapun, dan pihak manapun, demi kehormatan diri dan partai saya, setelah pernyataan ini, saya akan segera mengajukan kepada partai saya untuk mundur dari jabatan sebagai anggota DPR-RI.
Semoga keputusan yang saya ambil ini membawa kebaikan dan pembelajaran yang bermanfaat bagi diri, partai, konstituen saya, seluruh anggota DPR-RI. Semoga ini menjadi pewarisan positif dan konstruktif bagi bangsa dan negara ini di masa yang akan datang.
Untuk selanjutnya saya akan tetap bekerja untuk kepentingan partai saya, baik dalam posisi saya sebagai atau bukan sebagai anggota DPR-RI.”
Itulah sebuah surat permintaan maaf sekaligus pernyataan mundur dari seorang “pesakitan”, Arifinto, (mantan) anggota Komisi V DPR-RI dari Fraksi PKS. Saya sebut “pesakitan” di sini karena Arifinto secara memalukan tertangkap kamera oleh salah seorang wartawan salah satu media berita di Indonesia sedang mengakses tontonan porno melalui komputer tablet Samsung Galxy Tab miliknya, saat berlangsung sidang paripurna, hari Jumat, tanggal 7, bulan April, tahun 2011 yang lalu. Menjadi sangat memalukan karena yang melakukan ini bukanlah orang biasa, melainkan seorang wakil rakyat dari salah satu partai yang bernafaskan Islam, dan kemudian menjadi sangat ironis lagi karena beliau mengakses konten porno melalui jaringan internet, ketika kini Kementerian Komunikasi dan Informasi sedang semangat dan gencar untuk mengkampanyekan dan berusaha semaksimal mungkin menghentikan segala situs-situs dan akses kepada seluruh situs yang terdapat konten porno, yang diketuai tidak lain oleh koleganya sendiri dari partai yang sama yaitu, Tifatul Sembiring. Apapun alasan yang beliau utarakan tetap tidak akan pernah bisa menjadi suatu pembenaran atau bahkan untuk sekedar sedikit pembela harga dirinya. Karena dewasa ini, anggota DPR-RI sebagai wakil rakyat Indonesia untuk menyampaikan segala aspirasi mereka dan mengimplementasikannya dalam bentuk suatu peraturan perundang-undangan, telah cukup banyak berbuat perbuatan yang tercela. Sepertinya mereka tidak mengerti atau mungkin pura-pura dan tak mau untuk mengerti, setelah mereka mendeklarasikan diri untuk menjadi seorang wakil rakyat dalam bentuk pengabdian sebagai seorang anggota DPR-RI, mereka mau tak mau harus belajar untuk bersikap sempurna, berubah menjadi manusia setengah dewa. Karena mereka hidup dari uang rakyat, mereka dipilih dengan sejuta kepercayaan dari rakyat dan apa yang mereka kerjakan benar-benar berpengaruh nyata dalam kehidupan sehari-hari rakyat. Peraturan yang mereka buat menentukan secara jelas apakah rakyat dapat hidup sesuai dengan harapan dan dapat membawa atau memberikan suatu kemashlahatan atau justru semakin menindas rakyat dan menuntun mereka ke arah yang gelap dan tentu tujuan.
Apa yang dilakukan oleh Arifinto mungkin bisa kita bilang sebagai suatu puncak dari segala bentuk kelakuan nyeleneh wakil kita yang duduk nyaman di senayan sana. Tidur ketika rapat, bolos kerja, KKN, pelesir ke luar negeri dan bahkan yang terbaru adalah kengototan mereka untuk membangun sebuah gedung baru yang kita ketahui berbiaya sangat mahal. Entah apa yang mereka pikirkan, ketika justru pekerjaan mereka untuk sebagai sebuah badan legislatif banyak yang belum terpenuhi. Banyak RUU yang sampai saat ini belum jelas nasib dan perkembangannya. Program Legislasi Nasional tahun kemarin pun jauh dari harapan rakyat dan bahkan target yang telah mereka tentukan sendiri.
GENTLE
Kembali ke Arifinto, satu hal yang membanggakan dari diri beliau dengan menggunakan pendekatan dan pemikiran yang lebih positif, bahwa manusia memang mempunyai hari sialnya masing-masing, hari dimana mereka khilaf dan bertindak salah, kita bisa mengapresiasi respon yang beliau berikan terhadap kesalahan yang dia lakukan. Beliau memberikan suatu respon yang sangat bijaksana dan sangat indah. Berbeda jauh dengan rekan-rekannya yang lain. Beliau tidak lantas mencari-cari pembenaran, beliau dengan penuh kesadaran mengakui segala kesalahannya dan secara gentle mengundurkan diri sebagai anggota DPR-RI. Sebuah gerakan politik yang patut kita apresiasi, disaat yang lain ketika sudah secara jelas terbukti berbuat perbuatan tercela dan bahkan tindakan kriminal, mereka masih keukeuh tetap ingin duduk nyaman sebagai seorang anggota DPR-RI dan enggan untuk mengakui segala kesalahannya. Dan secara “mengejutkan” Arifinto dengan gagahnya mempelopori sebgai seorang yang pemberani, yang mau mempertanggungjawabkan segala apa yang telah beliau lakukan, dia dengan mantap mau menerima segala resiko dari kesalahan yang beliau lakukan.
NURDIN HALID
Bila kita liat dari sisi yang lebih luas, maka mungkin PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia), yang merupakan induk organisasi persepakbolaan Indonesia bisa berbenah lebih cepat dan mungkin persepakbolaan kita bisa menjadi jauh lebih baik lagi, seandainya saja sedari dulu ketua umum PSSI, Nurdin Halid, bisa dan mau berjiwa besar untuk mengakui kekalahan, kesalahan dan mawas diri bahwa dirinya memang telah gagal dalam membangun persepakbolaan Indonesia, sehingga dia bisa dengan mudah untuk legowo dengan segala kerendahan hati yang dia milki, dan menyerahkan jabatan itu kepada mereka yang mempunyai visi dan misi yang lebih fresh. Tapi apa daya, dia baru mau turun ketika posisinya sebagai ketua umum sudah digoyang sedemikian rupa oleh kekutan supporter di seluruh penjuru Indonesia dari berbagai klub yang berbeda, setelah ada sedikit “intervensi” dari pemerintah, setelah ada perlawanan dari para penggagas Liga Premier Indonesia, setelah ada perlawanan dari anggotanya sendiri, setelah ada perlawanan dari kekuatan TNI dan setelah ada campur tangan langsung dari FIFA, sebagi induk langsung dari PSSI, yang membentuk Komite Normalisasi yang diketuai oleh Agum Gumelar.
Banyak ukuran yang bisa kita gunakan untuk menunjukan kegagalan dan keegoisan seorang Nurdin Halid. Ukuran paling nyata adalah dari segi prestasi Timnas Garuda kita, dan kompetisi kita yang masih jalan di tempat serta banyaknya durasi hukuman yang tiba-tiba dia kurangi dan bahkan dia hilangkan tanpa sebab-sebab yang jelas. Dan yang paling kontroversial adalah ketika dia memimpin PSSI di balik jeruji besi dan kemudian mengadopsi statuta FIFA tapi dengan merubah pasal kriminal, yang dia lakukan tak lain agar memuluskan dia agar tetap bisa menjadi seorang ketua PSSI. Tapi, kekutan perubahan memang sangat dan terlalu kuat untuk mereka (Nurdin Halid cs.) bendung.
DUA KISAH BERBEDA
Sebuah pembelajaran yang sangat berharga bagi kita semua. Cerita dimana seorang terhormat yang bisa menjadi seorang pesakitan dan pada akhirnya bisa menjadi seorang pelopor dan panutan dan seorang lain yang mempunyai kecintaan teramat besar tapi terlalu banyak menyimpan ego dan enggan untuk turun dan menyapa suatu perubahan yang akhirnya dikenang sebagai seorang pesakitan.
Inti yang mungkin bisa kita ambil dan kita pelajari adalah kita harus menyadari posisi, status dan peran yang sedang kita jalani. Itulah jalan yang kita pilih dan sedang kita jalani, jadi mau tidak mau suka tidak suka kita harus bertindak sesuai dengan status yang kita emban dan beradaptasi dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan status tersebut. Dan apabila kita secara sengaja atau tidak sengaja melakukan sebuah kesalahan, maka berhenti untuk mencari alasan dan segala pembelaan untuk membenarkan kesalahan yang telah kita lakukan itu. Akuilah secara jantan dan meminta maaf secara tulus, jangan menutup diri dari perubahan dan penyegaran. Beradaptasi lah dengan situasi yang ada, karena situasi tak akan pernah bisa dan tak akan pernah mau untuk berdaptasi dengan kita.
“HIDUP INI BUKAN TENTANG SEBERAPA KERAS KITA MEMUKUL DUNIA. TAPI TENTANG SEBERAPA KERAS KITA DIPUKUL DAN SEBERAPA KUAT KITA MAMPU BERTAHAN.”
“KITA TINGGAL MENUNGGU KAPAN HARI SIAL KITA DATANG, MAKA BERHATI-HATI LAH DALAM MELANGKAH.”
Apa yang dilakukan oleh Arifinto mungkin bisa kita bilang sebagai suatu puncak dari segala bentuk kelakuan nyeleneh wakil kita yang duduk nyaman di senayan sana. Tidur ketika rapat, bolos kerja, KKN, pelesir ke luar negeri dan bahkan yang terbaru adalah kengototan mereka untuk membangun sebuah gedung baru yang kita ketahui berbiaya sangat mahal. Entah apa yang mereka pikirkan, ketika justru pekerjaan mereka untuk sebagai sebuah badan legislatif banyak yang belum terpenuhi. Banyak RUU yang sampai saat ini belum jelas nasib dan perkembangannya. Program Legislasi Nasional tahun kemarin pun jauh dari harapan rakyat dan bahkan target yang telah mereka tentukan sendiri.
GENTLE
Kembali ke Arifinto, satu hal yang membanggakan dari diri beliau dengan menggunakan pendekatan dan pemikiran yang lebih positif, bahwa manusia memang mempunyai hari sialnya masing-masing, hari dimana mereka khilaf dan bertindak salah, kita bisa mengapresiasi respon yang beliau berikan terhadap kesalahan yang dia lakukan. Beliau memberikan suatu respon yang sangat bijaksana dan sangat indah. Berbeda jauh dengan rekan-rekannya yang lain. Beliau tidak lantas mencari-cari pembenaran, beliau dengan penuh kesadaran mengakui segala kesalahannya dan secara gentle mengundurkan diri sebagai anggota DPR-RI. Sebuah gerakan politik yang patut kita apresiasi, disaat yang lain ketika sudah secara jelas terbukti berbuat perbuatan tercela dan bahkan tindakan kriminal, mereka masih keukeuh tetap ingin duduk nyaman sebagai seorang anggota DPR-RI dan enggan untuk mengakui segala kesalahannya. Dan secara “mengejutkan” Arifinto dengan gagahnya mempelopori sebgai seorang yang pemberani, yang mau mempertanggungjawabkan segala apa yang telah beliau lakukan, dia dengan mantap mau menerima segala resiko dari kesalahan yang beliau lakukan.
NURDIN HALID
Bila kita liat dari sisi yang lebih luas, maka mungkin PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia), yang merupakan induk organisasi persepakbolaan Indonesia bisa berbenah lebih cepat dan mungkin persepakbolaan kita bisa menjadi jauh lebih baik lagi, seandainya saja sedari dulu ketua umum PSSI, Nurdin Halid, bisa dan mau berjiwa besar untuk mengakui kekalahan, kesalahan dan mawas diri bahwa dirinya memang telah gagal dalam membangun persepakbolaan Indonesia, sehingga dia bisa dengan mudah untuk legowo dengan segala kerendahan hati yang dia milki, dan menyerahkan jabatan itu kepada mereka yang mempunyai visi dan misi yang lebih fresh. Tapi apa daya, dia baru mau turun ketika posisinya sebagai ketua umum sudah digoyang sedemikian rupa oleh kekutan supporter di seluruh penjuru Indonesia dari berbagai klub yang berbeda, setelah ada sedikit “intervensi” dari pemerintah, setelah ada perlawanan dari para penggagas Liga Premier Indonesia, setelah ada perlawanan dari anggotanya sendiri, setelah ada perlawanan dari kekuatan TNI dan setelah ada campur tangan langsung dari FIFA, sebagi induk langsung dari PSSI, yang membentuk Komite Normalisasi yang diketuai oleh Agum Gumelar.
Banyak ukuran yang bisa kita gunakan untuk menunjukan kegagalan dan keegoisan seorang Nurdin Halid. Ukuran paling nyata adalah dari segi prestasi Timnas Garuda kita, dan kompetisi kita yang masih jalan di tempat serta banyaknya durasi hukuman yang tiba-tiba dia kurangi dan bahkan dia hilangkan tanpa sebab-sebab yang jelas. Dan yang paling kontroversial adalah ketika dia memimpin PSSI di balik jeruji besi dan kemudian mengadopsi statuta FIFA tapi dengan merubah pasal kriminal, yang dia lakukan tak lain agar memuluskan dia agar tetap bisa menjadi seorang ketua PSSI. Tapi, kekutan perubahan memang sangat dan terlalu kuat untuk mereka (Nurdin Halid cs.) bendung.
DUA KISAH BERBEDA
Sebuah pembelajaran yang sangat berharga bagi kita semua. Cerita dimana seorang terhormat yang bisa menjadi seorang pesakitan dan pada akhirnya bisa menjadi seorang pelopor dan panutan dan seorang lain yang mempunyai kecintaan teramat besar tapi terlalu banyak menyimpan ego dan enggan untuk turun dan menyapa suatu perubahan yang akhirnya dikenang sebagai seorang pesakitan.
Inti yang mungkin bisa kita ambil dan kita pelajari adalah kita harus menyadari posisi, status dan peran yang sedang kita jalani. Itulah jalan yang kita pilih dan sedang kita jalani, jadi mau tidak mau suka tidak suka kita harus bertindak sesuai dengan status yang kita emban dan beradaptasi dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan status tersebut. Dan apabila kita secara sengaja atau tidak sengaja melakukan sebuah kesalahan, maka berhenti untuk mencari alasan dan segala pembelaan untuk membenarkan kesalahan yang telah kita lakukan itu. Akuilah secara jantan dan meminta maaf secara tulus, jangan menutup diri dari perubahan dan penyegaran. Beradaptasi lah dengan situasi yang ada, karena situasi tak akan pernah bisa dan tak akan pernah mau untuk berdaptasi dengan kita.
“HIDUP INI BUKAN TENTANG SEBERAPA KERAS KITA MEMUKUL DUNIA. TAPI TENTANG SEBERAPA KERAS KITA DIPUKUL DAN SEBERAPA KUAT KITA MAMPU BERTAHAN.”
“KITA TINGGAL MENUNGGU KAPAN HARI SIAL KITA DATANG, MAKA BERHATI-HATI LAH DALAM MELANGKAH.”
Komentar
Posting Komentar