Memanusiakan manusia, sebuah kalimat sederhana yang cukup menarik perhatian saya. Adalah ketika hari Senin, tanggal 25, bulan April, tahun 2011, pada saat perkuliahan jam kedua di kelas besar (aula). Perkuliahan yang disampaikan oleh Pak Saherimiko, dosen mata kuliah Ilmu Politik. Ketika itu pembahasan yang sedang kami bahas adalah tentang sistem politik demokrasi. Sedikit kita melenceng sejenak, Pak Saherimiko bukan lah dosen favorit saya. Bagi saya dia kurang begitu baik dalam penyampaian setiap materinya, jadi lah suasana kelas yang kurang kondusif, banyak diantara kami yang tertidur (walaupun pada setiap perkuliahan tidur tetap menjadi pemandangan umum dan permasalahan yang tak kunjung ada solusinya). Tapi kelas besar, dosen yang kurang bisa menghidupkan suasana seakan menjadi pembenaran bagi diantara kami untuk tertidur dan bertindak acuh tak acuh dan sejujurnya saya pun tidak begitu "on" siang itu. ;)
Let's back to our main topic, singkat kata, dalam pembahasannya, ketika beliau menyampaikan tentang fungsi dan manfaat dari sistem demokrasi, memanusiakan manusia merupakan salah satunya. Secara sederhana, memanusiakan manusia berarti mengembalikan manusia ke fitrah dan hakikat awal mereka diciptakan. Dalam hal ini kaitannya dengan demokrasi adalah demokrasi yang berarti suatu sistem yang kedaulatannya berada di tangan rakyat sehingga diharapkan munculnya suatu negara yang oleh, dari, dan untuk rakyat. Bila itu yang benar-benar dapat diciptakan, berarti sistem demokrasi telah mampu membawa manusia ke bentuk asli mereka sebagai suatu makhluk sosial dan pemimpin bagi diantara mereka. Sistem ini pun akan membuat manusia untuk selalu bermusyawarah dalam kebersamaan menentukan segala sikap yang akan mereka lakukan.
Dalam skala yang lebih luas, sesungguhnya memanusiakan manusia harus kita lakukan dalam setiap segi kehidupan manusia dewasa ini. Malahan, bila perlu kita jadikan ini suatu gerakan moral bernama Gerakan Memanusiakan Manusia. Manusia lambat laun telah berubah atau kata halusnya mereka telah menyerupai seekor binatang dan bahkan lebih hina. Hawa nafsu telah diletakan di paling atas dasar pengambilan keputusan. Rasa sosial dan rasa kemanusiaan sudah bukan menjadi suatu pertimbangan. Hedonis totalitas adalah suatu gaya hidup yang nyata.
Dalam skala yang lebih kecil lagi, saya mencoba menerapkan GMM itu untuk menganalisis kehidupan saya sebagai seorang praja. Secara normal, secara "manusia"-nya kehidupan seorang praja adalah sebuah kehidupan yang penuh dengan aturan. Segala detail dalam hidup seorang praja tak ada satu pun yang tak diatur. Kita dipaksa untuk menjadi dewasa dan secepat mungkin meninggalkan segala tindakan dan pikiran seorang remaja yang bebas. Dari segi pembelajaran, di sini praja di paksa untuk belajar dari pagi hingga sore lalu belajar mandiri pada malam harinya. Otak dan fisik terkuras, bila mental tak kuat stres dan frustasi akan terasa dekat. Dan kenyataan yang ada sekarang, praja terlalu terbuai dengan kehidupan yang serba gratis dan serba ada. Mereka terlalu enak dan terlupa. Mereka, kita, kami menjadi sekelompok orang manja yang banyak menuntut, sedikit-sedikit mengeluh karena ingin hidup enak. Aneh, kenapa jadi praja kalau enggan berkeringat karena berpanas-panasan beraktifitas ataupun sekedar untuk apel dan kenapa jadi praja kalau enggan untuk belajar dan berlatih, menguras otak kita. Suatu ironi, selayaknya seorang tukang tambal ban yang enggan untuk menambal ban. Padahal kita sudah hidup enak dengan menghabiskan miliaran uang rakyat, uang orang tua kita. Padahal kita hanya tinggal menjalani hari, tanpa harus bersusah payah mengatur jadwal. Tapi, kita tetap berharap dan meminta lebih. Tak sadar, bahwa dalam diri kita ini lah wajah dan nasib pemerintahan di masa depan akan kita pegang.
Mau jadi apa bangsa ini? Ketika hal dasar, yaitu disiplin, kecerdasan intelektual dan keterampilan hanya timbul dan kita latih karena terpaksa, bukan dari hati dan kesadaran diri. Jadi, mari kita berintrospeksi, bermawas diri, hati dan nurani. Perbanyak ucapkan rasa syukur dan menghargai segala sesuatunya secara lebih. Mari kita Memprajakan Praja, Memanusiakan Manusia melalui Gerakan Memanusiakan Manusia. Dimulai dari sekarang, dimulai dari diri pribadi dan dari hal yang terkecil.
Let's back to our main topic, singkat kata, dalam pembahasannya, ketika beliau menyampaikan tentang fungsi dan manfaat dari sistem demokrasi, memanusiakan manusia merupakan salah satunya. Secara sederhana, memanusiakan manusia berarti mengembalikan manusia ke fitrah dan hakikat awal mereka diciptakan. Dalam hal ini kaitannya dengan demokrasi adalah demokrasi yang berarti suatu sistem yang kedaulatannya berada di tangan rakyat sehingga diharapkan munculnya suatu negara yang oleh, dari, dan untuk rakyat. Bila itu yang benar-benar dapat diciptakan, berarti sistem demokrasi telah mampu membawa manusia ke bentuk asli mereka sebagai suatu makhluk sosial dan pemimpin bagi diantara mereka. Sistem ini pun akan membuat manusia untuk selalu bermusyawarah dalam kebersamaan menentukan segala sikap yang akan mereka lakukan.
Dalam skala yang lebih luas, sesungguhnya memanusiakan manusia harus kita lakukan dalam setiap segi kehidupan manusia dewasa ini. Malahan, bila perlu kita jadikan ini suatu gerakan moral bernama Gerakan Memanusiakan Manusia. Manusia lambat laun telah berubah atau kata halusnya mereka telah menyerupai seekor binatang dan bahkan lebih hina. Hawa nafsu telah diletakan di paling atas dasar pengambilan keputusan. Rasa sosial dan rasa kemanusiaan sudah bukan menjadi suatu pertimbangan. Hedonis totalitas adalah suatu gaya hidup yang nyata.
Dalam skala yang lebih kecil lagi, saya mencoba menerapkan GMM itu untuk menganalisis kehidupan saya sebagai seorang praja. Secara normal, secara "manusia"-nya kehidupan seorang praja adalah sebuah kehidupan yang penuh dengan aturan. Segala detail dalam hidup seorang praja tak ada satu pun yang tak diatur. Kita dipaksa untuk menjadi dewasa dan secepat mungkin meninggalkan segala tindakan dan pikiran seorang remaja yang bebas. Dari segi pembelajaran, di sini praja di paksa untuk belajar dari pagi hingga sore lalu belajar mandiri pada malam harinya. Otak dan fisik terkuras, bila mental tak kuat stres dan frustasi akan terasa dekat. Dan kenyataan yang ada sekarang, praja terlalu terbuai dengan kehidupan yang serba gratis dan serba ada. Mereka terlalu enak dan terlupa. Mereka, kita, kami menjadi sekelompok orang manja yang banyak menuntut, sedikit-sedikit mengeluh karena ingin hidup enak. Aneh, kenapa jadi praja kalau enggan berkeringat karena berpanas-panasan beraktifitas ataupun sekedar untuk apel dan kenapa jadi praja kalau enggan untuk belajar dan berlatih, menguras otak kita. Suatu ironi, selayaknya seorang tukang tambal ban yang enggan untuk menambal ban. Padahal kita sudah hidup enak dengan menghabiskan miliaran uang rakyat, uang orang tua kita. Padahal kita hanya tinggal menjalani hari, tanpa harus bersusah payah mengatur jadwal. Tapi, kita tetap berharap dan meminta lebih. Tak sadar, bahwa dalam diri kita ini lah wajah dan nasib pemerintahan di masa depan akan kita pegang.
Mau jadi apa bangsa ini? Ketika hal dasar, yaitu disiplin, kecerdasan intelektual dan keterampilan hanya timbul dan kita latih karena terpaksa, bukan dari hati dan kesadaran diri. Jadi, mari kita berintrospeksi, bermawas diri, hati dan nurani. Perbanyak ucapkan rasa syukur dan menghargai segala sesuatunya secara lebih. Mari kita Memprajakan Praja, Memanusiakan Manusia melalui Gerakan Memanusiakan Manusia. Dimulai dari sekarang, dimulai dari diri pribadi dan dari hal yang terkecil.
"Kita lahir sebagai seorang manusia dan mati pun selayaknya dan sepertinya harus sebagai seorang manusia pula."
Komentar
Posting Komentar