Langsung ke konten utama

Takkan Terhenti Disini

“kan kuyakini jalan yang ku tentukan
tak kan sesali semua yang tlah hilang
serukan smangat hidupku
temukan arah mimpiku
saat terkikis ragu dan terluka”


Itulah potongan lirik lagu dari band indie asal Bandung, Alone At Last* (AAL). Lagu yang berjudul “Takkan Terhenti Disini” tersebut, secara umum bercerita tentang sebuah motivasi diri untuk tetap bergerak dan tidak menyesali apa yang telah terjadi dan tidak menjadikan itu semua sebagai sebuah alasan untuk kita berhenti dan menyerah.

Lagu itu seketika menjadi lagu wajib saya, menjadi sebuah penyemangat. Karena buat saya pribadi, sebuah lagu, sebuah musik, bisa berarti lebih dari sekedar hiburan atau teman di saat sepi. Lagu dengan lirik yang menyertainya mempunyai pesan dan makna yang dalam untuk setiap pendengarnya. Ya, saya memang bukan seorang ahli musik yang pandai membaca nada ataupun sekedar bermain alat musik. Saya hanya seorang yang murni penikmat sebuah lagu. Saya selalu memaknai lebih untuk sebuah lagu yang saya dengarkan dan mencoba mengerti setiap maksud dalam setiap katanya serta menerapkan segala pesan positif yang mungkin ada di dalamnya.

Satu bulan lebih satu minggu (18/03/2011 – 18/04/2011), itulah waktu yang telah saya lewati di IPDN Kampus Regional Kab. Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat. Sebuah kurun waktu yang belum terlalu lama, tapi tidak juga sebentar untuk sesorang yang baru pertama kali hidup jauh dari kampung halaman dan bahkan hidup berbeda pulau dari sanak keluarga. Sebenarnya, tak akan ada sebuah perbedaan yang signifikan bila kita melihat dari sudut pandang silus kehidupan yang akan saya jalani. Sebagai seorang Praja, yang hidup dalam kehidupan yang serba diatur dalam bimbingan kurikulum Pengasuhan dan hidup di dalam kehidupan asrama. Maka, dimanapun saya berada, kehidupan yang akan saya terima akan sama, yaitu sebuah Siklus Kehidupan Praja. Tak ada perbedaan, dan tak akan pernah ada.

Tapi, secara psikologis dan suasana, jelas perbedaan tempat akan terasa sebuah perbedaan yang signifikan. Secara psikologis, saya yang belum pernah hidup jauh dari keluarga, belum pernah merasakan hidup di luar pulau jawa, itu semua jelas merupakan beban sekaligus tantangan tersendiri bagi saya. Bila biasanya, ketika saya mendapatkan hak pesiar, maka sudah dipastikan saya akan langsung pulang ke rumah. Seketika saja hal itu menjadi sesuatu yang mustahil utnuk dilakukan disini. Lalu secara suasana, ketika di daerah Sumedang, Jatinagor khususnya saya sudah sangat terbiasa dengan cuaca dingin nan segar, maka di sini, di bawah garis kahtulistiwa, cuaca panas cukup mengejutkan tubuh saya.

Ya, seperti yang telah saya katakan dalam tulisan saya sebelumnya, KAMPUS DAERAH DAN SEMANGAT PERUBAHAN, Kampus Kab. Kubu Raya (Kalbar) merupakan kampus baru dan bahkan belum dilakukan sedikit pun pembangunan. Tanah nya masih berbentuk hutan lebat. Jadi, dimana saya tinggal, belajar dan menjalani kehidupan sebagai seorang praja? Saya, dan 99 orang lainnya yang terdampar di Pulau Kalimantan ini, harus puas untuk menempati kampus sementara, yang terletak di Jl. Trans Kalimantan KM. 11,5, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat. Bangunan yang kami tempati merupakan bangunan eks-Panti Rehabilatasi Dinas Sosial. Yang sedikit direnovasi untuk disesuaikan dengan kegunaan sekarang sebagai sebuah kampus. Dan , hasilnya memang tidak begitu mengecewakan, cukup memadai walaupun penuh dengan segala keterbatasan.

Tapi, hidup telah memilih dan ini lah pilihan hidup yang harus saya jalani. Tak harus banyak mengeluh dan berkeluh, itu hanya akan membebani kita secara psikologi. Jalani saja dan lihat segala sesuatunya dari sudut pandang dan kacamata yang luas. Berusaha untuk seminimal mungkin melihat segala sesuatunya dari sisi yang negatif, karena sering saya mendapat sebuah nasihat klasik nan menarik, bahwa untuk urusan dunia sudah sebaiknya dan sepantasnya kita melihat ke bawah. Itu bertujuan agar kita bisa selalu bersyukur dengan segala yang kita terima, dapatkan dan jalani. Apalagi ini semua kita masukan dalam konteks dunia pendidikan, terlebih sebuah lembaga pendidikan kedinasan yang kata orang pencetak calon-calon aparatur pemerintahan. Kita harus selalu siap untuk ditempatkan dimana pun dan kapan pun, dan inilah moment yang paling pas untuk melatih itu semua. Karena sekali lagi, lembaga pendidikan adalah tempat untuk kita mendidik diri ini menjadi yang lebih baik lagi. Bila nanti tak ada perubahan positif yang kita dapatkan, untuk apa kita masuk lembaga pendidikan?? Saya anggap ini semua sebagai pendidikan dan pelatihan mental saya, hidup jauh dari keluarga menuju suasana yang serba baru. Hidup dengan segala keterbatasan yang ada. Ini semua pengalaman hidup, yang tak ada jaminan saya bisa mendapatkannya lagi.

Saya yakinkan diri untuk tidak berhenti di sini, untuk terus melangkah mantap menyongsong masa depan, menjalani apa pun itu yang terjadi pada diri ini sebagai seorang praja, karena saya yakin apa pun yang kita kerjakan, kita dapatkan di dunia pendidikan ini, maka semua itu kelak akan berguna bagi kita, insya Allah akan bermanfaat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibadalana uliy ba’sin syadid

Selasa, 22 Juli 2014 22.00 WIB Saya akan menampilkan atau mem- posting tulisan dari Bapak Usep Romli , Pengasuh Pesantren Budaya "Raksa Sarakan" Garut. Tulisan ini merupakan tulisan di kolom Opini , harian Republika yang diterbitkan pada hari Selasa, 22 Juli 2014. Beliau menulis tentang (satu-satunya) cara untuk bisa mengalahkan zionis Israel. sehingga tulisannya pun diberi judul, Mengalahkan Zionis Israel . Berikut ini tulisannya saya tampilkan penuh tanpa ada sedikit pun saya kurangi atau tambahkan. "Mengalahkan Zionis Israel" Hari-hari ini, bangsa Palestina di Jalur Gaza sedang dibombardir pasukan Zionis-Israel. Nyaris tak ada perlawanan sama sekali, karena Palestina tak punya tentara. Hanya ada beberapa kelompok sipil bersenjata yang berusaha bertahan seadanya. Negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab tak berdaya. Begitu pula negara-negara berpenduduk mayoritas Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI), tak da...

D-IV atau S1 ?

Suatu malam pada hari Sabtu , tanggal 14, bulan Januari , tahun 2012, berlatar tempatkan teras masjid Al-Ilmi IPDN Kampus Kalimantan Barat, terjadi satu percakapan ringan sangat sederhana tapi kemudian mampu untuk membuat otak ini menjadi rumit karena terus memikirkan substansi dari apa yang diperbincangkan itu, terlalu rumit sehingga saya pikir perlu untuk dituangkan dalam sebuah narasi penuh kata, tidak berpetuah dan tidak juga indah. Tapi cukup-lah untuk sekedar berbagi ide dan informasi yang pastinya tidak sesat. Dan ini-lah percakapan singkat itu : HP ( inisial teman saya ) : “Dim, kamu lebih milih mana, S.IP atau S.STP ?” Saya : “mmm….pengennya sih S.IP” HP : “Kenapa, Dim? Kata orang kan kalo S.STP tuh lebih baik buat karir dan kata orang juga S.IP tuh lebih condong buat jadi dosen.” Saya : “Wah gak tau sih kalo masalah yang kayak gitunya, tapi saya ingin S.IP karena yang saya tau S.IP itu lebih mudah untuk nantinya kita mau nerusin ke S2, nah kalo S.STP itu gak semua unive...

Hercules dan Moral

The Legend of Hercules Minggu, 9 Februari 2014 10.10 WIB Cukup lama saya tidak menonton sebuah film di bisokop. Untuk sebagian orang, hal ini merupakan sebuah pemborosan karena kondisi yang ada di Indonesia memungkinkan kita untuk bisa menonton sebuah film dengan harga yang jauh lebih murah.  Di Indonesia kita masih bisa untuk mendapatkan sebuah DVD dengan harga yang sangat murah, sekitar 6 (enam) ribu rupiah ( bajakan tentunya tapi dengan kualitas gambar yang cukup baik ), bandingkan dengan harga yang harus dikeluarkan apabila kita menonton sebuah film di bioskop, sekitar 25 ribu – 50 ribu rupiah tergantung bioskop yang kita pilih. Saya pun menyadari hal itu tapi saya tentu juga memiliki alasan. Terlepas dari alasan idealis yang sebenarnya juga masih saya miliki, alasan utama yang ingin saya kemukakan disini adalah bahwa menonton sebuah film di bioskop bagi saya adalah sebuah penyegaran, sebuah hobi untuk melepas penat dan mendapatkan lagi beberapa semangat. Ya, hobi. ...