Langsung ke konten utama

Bernostalgia

“Bernostalgia, mengenang segala yang telah lalu dan telah terjadi di masa lalu, tanpa kita sadari adalah suatu hal yang amat menyenangkan dan terkadang membuat kita terbuai dan terlupa tentang masa kini yang sedang kita jalani.”


Hari Sabtu, tanggal 22, bulan April, tahun 2011. Seperti biasanya, selepas makan malam, saya menyempatkan diri untuk shalat Isya berjamaah di mushola IPDN kampus Kubu Raya, Mushola kami menyebutnya karena memang ukurannya yang kecil, begitu juga jumlah Praja muslim yang ada di kampus regional ini. Sekitar pukul 19.30, saya keluar dari mushola dan segera menuju wisma ketika sebagian besar dari kami memilih untuk menonton sepak bola di Posko Pengasuhan, ya..karena disitulah satu-satunya tv yang ada di sini dengan kualitas yang cukup bagus dan yang paling penting adalah Praja dibolehkan untuk menonton tv di situ. Sebenarnya ada juga tv di kantin yang bisa Praja gunakan, akan tetapi entah karena faktor apa kualitas tayangan tv yang ada di kantin amat kurang memadai. Jadilah Posko Pengasuhan seketika menjadi tempat favorit bagi Praja. Alasan saya cukup sederhana kenapa saya enggan untuk ikut menonton bola, bukan karena saya tidak menyukai sepak bola, tidak sama sekali, karena sepak bola adalah hiburan utama bagi saya. Tapi, itu semua hanya karena saya tidak atau kurang begitu menyukai Liga Inggris, banyak alasan memang, tapi yang jelas semua alasan itu bersifat subjektif dan benar-benar murni masalah selera. Jadilah saya pergi kembali ke wisma bersama beberapa teman saya, seperti biasa kami berjalan membentuk barisan. Karena itulah aturan yang harus kami jalankan, setiap pergerakan harus selalu dalam bentuk barisan. Tapi, sepanjang perjalanan kami isi dengan canda tawa sehingga akhirnya tak jelas lah barisan yang kami buat.

Sejujurnya, saya tidak mempunyai rencana atau kegiatan pasti untuk saya lakukan. Waktu masih tersisa cukup banyak hingga pukul 21.00, waktu untuk kami melakukan apel malam. Akhirnya saya memutuskan untuk membuka laptop. Memutar beberapa lagu, kemudian saya arahkan pointer pada laptop saya untuk membuka folder “Gambar”. Ya, entah kenapa, dengan sendirinya timbul keinginan untuk melihat kembali foto-foto saya ketika di SMA dulu. Beberapa foto saya buka, dan kenangan itu kembali ada. Pikiran saya melayang jauh kebelakang, mencoba mengingat apa yang pernah dulu terjadi. Sedikit melamun tapi masih tersadar.

Bukan kali pertama saya melihat foto-foto sewaktu SMA dan bahkan terlampau sering sepertinya saya menghabiskan waktu kosong dengan sekedar melihat-lihat kumpulan-kumpulan foto itu. Tapi semakin sering saya membukanya justru semakin banyak kenangan yang bisa saya ingat kembali, tak ada sedikit pun rasa bosan ataupun rasa jenuh. Entah kenapa memang, tapi ini semua memang berbanding lurus dengan kenyataan masyarakat kita pada umumnya, masyarakat Indonesia (termasuk saya tentunya) sangat senang dan terlalu senang bernostalgia dengan keindahan di masa lalu, kita terlalu sering membandingkan segala yang indah yang ada di masa lalu dengan situasi yang ada sekarang. Kita lebih senang hidup di masa lalu, ini semua tanpa kita sadari, lambat laun mengikis habis semangat kita dan memudahkan kita untuk berputus asa dan membenarkan kita untuk menyerah dari cobaan di masa kini. Ini adalah sesuatu yang salah, sesuatu yang justru menjadi sangat tidak produktif. Sepantasnya, segala yang terjadi di masa lalu harus kita jadikan sebagai suatu pembelajaran dan semangat untuk kita menjalani segala sesuatunya di masa sekarang dan sebagai acuan untuk menata apa yang akan kita lakukan di masa depan. Masa lalu boleh kita kenang tapi tak boleh kita ratapi, kita kenang untuk kita jadikan penyemangat dan pembelajaran kita, bukan justru membuat kita menjadi seorang pelamun.

Itulah yang coba saya lakukan, walaupun masa-masa di SMA entah kenapa memang terasa begitu sangat berkesan, tapi sekali lagi itu semua hanya masa lalu, hanya sebuah kenangan indah dalam hati, yang nantinya saya akan ceritakan sebagai suatu pengalaman hidup, sebagai suatu jalan hidup dan pembentuk cerita kehidupan seorang Adima Insan Akbar Noors.

LET’S KEEP IT IN OUR HEART BUT DON’T LIVE IT, CAUSE IT IS A PAST AND WE LIVE IN TODAY.





Adima Insan Akbar Noors
Alumni SMA Negeri 1 Sumedang (ang. 2010)

Kelas X-2, XI IPA 2, XII IPA 2 (SOUL_ID/DCID)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibadalana uliy ba’sin syadid

Selasa, 22 Juli 2014 22.00 WIB Saya akan menampilkan atau mem- posting tulisan dari Bapak Usep Romli , Pengasuh Pesantren Budaya "Raksa Sarakan" Garut. Tulisan ini merupakan tulisan di kolom Opini , harian Republika yang diterbitkan pada hari Selasa, 22 Juli 2014. Beliau menulis tentang (satu-satunya) cara untuk bisa mengalahkan zionis Israel. sehingga tulisannya pun diberi judul, Mengalahkan Zionis Israel . Berikut ini tulisannya saya tampilkan penuh tanpa ada sedikit pun saya kurangi atau tambahkan. "Mengalahkan Zionis Israel" Hari-hari ini, bangsa Palestina di Jalur Gaza sedang dibombardir pasukan Zionis-Israel. Nyaris tak ada perlawanan sama sekali, karena Palestina tak punya tentara. Hanya ada beberapa kelompok sipil bersenjata yang berusaha bertahan seadanya. Negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab tak berdaya. Begitu pula negara-negara berpenduduk mayoritas Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI), tak da...

D-IV atau S1 ?

Suatu malam pada hari Sabtu , tanggal 14, bulan Januari , tahun 2012, berlatar tempatkan teras masjid Al-Ilmi IPDN Kampus Kalimantan Barat, terjadi satu percakapan ringan sangat sederhana tapi kemudian mampu untuk membuat otak ini menjadi rumit karena terus memikirkan substansi dari apa yang diperbincangkan itu, terlalu rumit sehingga saya pikir perlu untuk dituangkan dalam sebuah narasi penuh kata, tidak berpetuah dan tidak juga indah. Tapi cukup-lah untuk sekedar berbagi ide dan informasi yang pastinya tidak sesat. Dan ini-lah percakapan singkat itu : HP ( inisial teman saya ) : “Dim, kamu lebih milih mana, S.IP atau S.STP ?” Saya : “mmm….pengennya sih S.IP” HP : “Kenapa, Dim? Kata orang kan kalo S.STP tuh lebih baik buat karir dan kata orang juga S.IP tuh lebih condong buat jadi dosen.” Saya : “Wah gak tau sih kalo masalah yang kayak gitunya, tapi saya ingin S.IP karena yang saya tau S.IP itu lebih mudah untuk nantinya kita mau nerusin ke S2, nah kalo S.STP itu gak semua unive...

Hercules dan Moral

The Legend of Hercules Minggu, 9 Februari 2014 10.10 WIB Cukup lama saya tidak menonton sebuah film di bisokop. Untuk sebagian orang, hal ini merupakan sebuah pemborosan karena kondisi yang ada di Indonesia memungkinkan kita untuk bisa menonton sebuah film dengan harga yang jauh lebih murah.  Di Indonesia kita masih bisa untuk mendapatkan sebuah DVD dengan harga yang sangat murah, sekitar 6 (enam) ribu rupiah ( bajakan tentunya tapi dengan kualitas gambar yang cukup baik ), bandingkan dengan harga yang harus dikeluarkan apabila kita menonton sebuah film di bioskop, sekitar 25 ribu – 50 ribu rupiah tergantung bioskop yang kita pilih. Saya pun menyadari hal itu tapi saya tentu juga memiliki alasan. Terlepas dari alasan idealis yang sebenarnya juga masih saya miliki, alasan utama yang ingin saya kemukakan disini adalah bahwa menonton sebuah film di bioskop bagi saya adalah sebuah penyegaran, sebuah hobi untuk melepas penat dan mendapatkan lagi beberapa semangat. Ya, hobi. ...