Tulisan ini mulai ditulis pada hari Jumat tanggal 5 Syaban 1442 H yang bertepatan dengan tanggal 19 Maret 2021 Masehi, pukul 14.36 WIB.
Dari
Abū Hurairah, ia berkata, Rasūlullāh, shallallahu alaihi wa sallam, bersabda
(yang artinya),
“Lihatlah kepada yang di bawah kalian dan janganlah kalian
melihat yang di atas kalian, sesungguhnya hal ini akan menjadikan kalian tidak
merendahkan nikmat Allāh yang Allāh berikan kepada kalian.”
(HR Muslim No. 2963)
Ustaz
Firanda Andirja, hafizahullah, di dalam tulisannya (https://firanda.com/1760-penjelasan-hadits-adab-akhlaq-bulughul-maram-4-pandanglah-orang-yang-di-bawahmu-dalam-masalah-dunia.html),
menjelaskan makna hadits di atas dengan sebuah paragraf yang indah,
hadits ini mengajarkan kepada kita agar dalam masalah dunia
hendaknya kita melihat ke bawah. Bagaimanapun kekurangan yang ada pada diri
kita dalam masalah dunia, pasti masih ada orang lain yang lebih parah daripada
kita. Lihatlah kita sekarang dalam keadaan sehat, alhamdulillāh. Kalau kita
melihat ke bawah, betapa banyak orang yang sakit, banyak orang yang terkapar di
tempat tidur tidak bisa bergerak karena sakit. Kemudian juga, betapa banyak
orang yang cacat yang lebih parah dari kita. Bahkan jika kita sedang sakit pun,
masih ada yang lebih parah sakitnya daripada kita. Senantiasa pasti ada yang
lebih menderita daripada apa yang kita rasakan. Kalau kita selalu melihat ke
bawah dalam masalah kesehatan saja, maka kita akan senantiasa bersyukur kepada
Allāh Subhānahu wa Ta’āla atas nikmat sehat yang diberikan kepada kita.
***
Islam,
sependek pemahaman yang kami miliki saat ini, mengajak umatnya untuk mampu
bersikap qanaa’ah.
Apa
itu qana’ah?
Ustaz
Abdullah Taslim, hafizahullah, (https://muslim.or.id/6090-keutamaan-sifat-qonaah.html)
menjelaskan bahwa qanaa’ah adalah merasa ridha dan cukup dengan
pembagian rizki yang Allah ta’ala berikan. Adapun Ustaz Muhammad Abduh
Tuasikal, hafizahullah, menyebutkan bahwa qanaa’ah berarti ridho
dengan ketetapan Allah ta’ala dan berserah diri pada keputusan-Nya, yaitu
segala yang dari Allah itulah yang terbaik. (https://rumaysho.com/3393-meraih-sifat-qana-ah.html)
Mungkin
kita akan terus mendapatkan berbagai macam arti/definisi qanaa’ah seiring
dengan semakin banyaknya referensi yang kita baca. Tapi berdasarkan dua
definisi di atas, maka sudah dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa pada
hakikatnya qanaa’ah adalah sebuah amalan hati, tidak nampak secara zahir.
Qanaa’ah itu berpangkal pada pola pikir seseorang, tidak bisa sekadar
diucapkan atau pura-pura dalam perbuatan.
Qanaa’ah
adalah harta terbesar untuk bisa menjalani kehidupan ini dengan tenang dan
nyaman. Cermin dari bersihnya hati dan pikiran. Wallahu’alam, bahkan
menurut kami pribadi, sifat qanaa’ah adalah buah dari aqidah yang benar.
Karena tanpa keyakinan yang benar terhadap takdir, maka rasa-rasanya kita akan
sulit untuk bersikap qanaa’ah.
Apalagi
di zaman ini, dengan arus informasi yang begitu pesat silih berganti. Kita dengan
angkuhnya mudah untuk menjadi hakim. Melakukan penilaian sana-sini. Berkata
seenaknya bahwa si fulan tak pantas jadi ini atau hal-hal yang semisal
dengannya. Allahul Musta’an.
Qanaa’ah,
bukti bahwa kita meyakini bahwa Allah adalah Al-Hakim
Bahkan
Imam As-Syafii, rahimahullah, berkata (https://salamdakwah.com/forum/299-miskin-tapi-kaya):
Jika engkau memiliki hati yang selalu qanaa'ah,
maka sesungguhnya engkau sama seperti raja dunia
Sebuah
permisalan sederhana pernah disebutkan oleh Ustaz Ammi Nur Baits, hafizahullah,
dalam salah satu ceramahnya (https://www.youtube.com/watch?v=5cZfDm2xcsM&t=2475s)
, coba bayangkan apabila kita memiliki dua orang anak dan kedua anak itu kita
berikan masing-masing satu buah es krim yang berbeda rasanya. Lalu kemudian
tiba-tiba salah satu anak kita membuang es krimnya dan merebut es krim yang
berada di anak kita yang lain. Tentu kita sebagai orang tua akan merasa marah
atau minimalnya merasa kecewa.
Maka
bagi Allah permisalan yang lebih besar dan indah, Allah ta’ala dzat yang
Mahasempurna, Al-Hakim, maka sudah tentu apa yang terjadi dan apa yang
kita miliki, itulah yang terbaik untuk kita.
Walaupun
mungkin secara dzat lahiriahnya, yang kita terima atau yang kita dapatkan itu
nampak buruk tapi yakinlah bahwa di balik itu semua ada hikmah yang indah, baik
kita ketahui maupun tidak kita ketahui.
Apa
mungkin sesuatu yang buruk bisa dimaknai atau memiliki hikmah yang baik?
Tentu
bisa!
Kita
bisa menerima dengan baik ketika dokter memerintahkan untuk melakukan amputasi
bagian tubuh karena di balik proses “pemotongan” tersebut akan ada manfaat yang
besar. Maka pantaskah kita ragu kepada Allah, rabbul alamin?
Apakah
kita telah qanaa’ah?
Tapi,
jujur, qanaa’ah bukan sebuah hal yang mudah untuk dilakukan, terlebih
untuk kami yang fakir ini. Seperti yang kami sebutkan di awal bahwa qanaa’ah
itu tentang pola pikir bukan tentang apa yang diucapkan atau dilakukan. Maka
butuh perjuangan keras bagi kami untuk bisa mewujudkan qanaa’ah dalam
hati.
Kami
yang sudah lebih dari 20 tahun “terdoktrin” dengan pola pikir “dunia”.
Diajarkan untuk berusaha keras agar mendapat proses yang sesuai cita-cita. Semua
dicurahkan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terlihat jelas oleh mata.
Maka
kini Ketika kami mencoba membanting stir untuk menerapkan pola pikir akhirat,
yaitu mengutamakan segala sesuatunya untuk sesuatu hal yang ghaib. Hal itu
jelas butuh perjuangan yang berat.
Beramal!
Karena
sudah menjadi tabiat manusia, terlebih lagi hal itu telah terpupuk sejak dini,
bahwa diri ini ingin selalu mendapat pujian, menghindari cacian, ingin mendapat
apresiasi sesuai dengan proses yang dilakukan, dan, dan, dan masih banyak lagi
lainnya.
Subhanallah, betapa
Islam itu adalah agama yang mudah dan sederhana. Kami saja yang kurang ilmu
agama, sehingga seringnya bersikap berlebihan menyikapi segala dinamika kehidupan.
Kami,
sebagai manusia, hanya harus fokus untuk beribadah. Maka apapun fasilitas dunia
yang kami dapatkan, kaya/miskin atau jadi pejabat/rakyat, maka itu tidak akan
bernilai apapun selama tidak digunakan untuk beribadah pada Allah ta’ala.
Kita
hanya harus maksimal dalam beramal sebagai perwujudan ibadah kepada-Nya, karena
itulah yang akan memberikan manfaat disisi-Nya. Adapun fasilitas dunia maka itu
hanyalah sarana, sehingga jangan dijadikan tujuan.
Ah,
betapa sangat indahnya.
Semoga
Allah beri kita semua taufik dan hidayah-Nya untuk bisa senantiasa menjadikan
akhirat sebagai tujuan dan menggunakan dunia sebagai jalan untuk terus
menggapai ridha-Nya.
Wallahu’alam.
Selesai ditulis pada hari Jumat tanggal 5 Syaban 1442 H
yang bertepatan dengan tanggal 19 Maret 2021 Masehi di meja kerja, pukul 16.13
WIB
Komentar
Posting Komentar