Selasa, 29 April 2025
09.25 WIB
Bissmillah wa shallatu wa sallam ala rasulillah
Pada tulisan ini, kami akan memberikan kritik terhadap beberapa point pada artikel yang ditulis oleh Anwar Kurniawan. Artikel tersebut berjudul "Tertawa di Tengah Kepunahan: Meme, Humor, dan Krisis Iklim", yang telah dimuat pada kolom Opini harian KOMPAS (27/04/2025). Penulis adalah seorang pegiat kajian budaya dan media, peneliti wacana eco-Islam dan humor, dosen ISI-Surakarta.
Secara garis besar, sebenarnya isi utama dari artikel dengan judul "Tertawa di Tengah Kepunahan: Meme, Humor, dan Krisis Iklim" adalah mencoba untuk menjelaskan apakah fenomena masyarakat dewasa ini yang menjadikan beberapa masalah iklim menjadi sebuah bahan lelucon akan membawa dampak negatif atau justru bisa memberikan pengaruh yang positif.
Akan tetapi di dalam artikel tersebut terdapat beberapa pembahasan yang kemudian memberikan pandangan negatif terhadap sebuah pemikiran agama, khususnya Islam.
Pada salah satu paragraf artikel tersebut tertulis,
Sayangnya, di banyak ruang keagamaan, krisis iklim belum dijadikan isu utama. Narasi yang muncul cenderung moralistik. Misalnya, klaim ”bencana sebagai akibat meningkatnya dosa manusia” masih mendominasi diskursus keagamaan kita, terutama di ruang budaya populer.
Padahal, pernyataan seperti “cuaca panas karena banyak maksiat” bukan hanya tidak berdasar secara ilmiah, tetapi juga merepresentasikan guyonan kontraproduktif. Ketika tokoh agama menyempitkan krisis iklim sebatas urusan moral pribadi, mereka justru kehilangan kesempatan untuk membangun kesadaran kolektif yang lebih kritis.
Berdasarkan paragraf diatas, maka yang dapat kami simpulkan adalah:
Pertama, "Bencana sebagai akibat meningkatnya dosa manusia" adalah narasi moralistik
Kedua, narasi moralistik tidak ilmiah.
Ketiga, ketika menggunakan narasi moralistik maka tidak akan membangun kesadaran kolektif.
Selanjutnya, kami akan mencoba melakukan kritik terhadap ketiga hal tersebut.
Kritik pertama,
Kami mencoba mencari definisi dari Moralistik dan berdasarkan https://www.dictionary.com/browse/moralistic, moralistik adalah kata sifat yang mempunyai beberapa makna, yaitu 1) menjelaskan atau menafsirkan sesuatu dalam konteks benar dan salah, terutama dengan cara yang membenarkan diri sendiri atau melelahkan; 2) menekankan moralitas, terutama secara tidak semestinya; 3) berkaitan dengan pengaturan moral orang lain, seperti dengan menerapkan sensor atau pembatasan lainnya;dan 4) berhubungan dengan atau menjadi seorang filsuf atau filsafat yang terutama berkepentingan dengan prinsip-prinsip moralitas.
Beberapa definisi tersebut apabila kita coba rangkum, maka moralistik dapat dipahami sebagai sebuah upaya untuk memaknai sesuatu hal. Apakah hal itu benar atau salah.
Dari pemahaman itu, maka menyampaikan bahwa Bencana sebagai akibat meningkatnya dosa manusia adalah sebuah hal yang benar dari sudut pandang agama.
Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Ustaz Sa'id Abu Ukkasyah (Pengajar Ma'had Jamilurrahman As Salafy Yogyakarta (hingga 1436H), Pengajar Ma'had Al Ilmi Yogyakarta, Pengajar Islamic Center Baitul Muhsinin (ICBM) Medari Yogyakarta) dalam salah satu tulisannya yang berjudul Musibah Adalah Karena Dosa Kita (1)
Ustaz Sa'id Abu Ukkasyah menuliskan bahwa berbagai musibah terjadi di negeri yang kita cintai ini adalah akibat dari perbuatan manusia. Hal itu berdasarkan firman Allah Ta’ala, yang artinya
“Dan segala musibah yang menimpa kalian adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian. Dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan kalian)” (QS. Asy-Syuuraa: 30).
Kemudian Ustaz Sa'id menukilkan penjelasan dari salah satu ahli tafsir umat Islam, Ibnu Katsir -rahimahullah-. Beliau -rahimahullah- menjelaskan “Dan firman-Nya (yang artinya) dan segala musibah yang menimpa kalian adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian maksudnya wahai manusia! musibah apapun yang menimpa kalian, semata-mata karena keburukan (dosa) yang kalian lakukan. “Dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan kalian)” maksudnya adalah memaafkan dosa-dosa kalian, maka Dia tidak membalasnya dengan siksaan, bahkan memaafkannya. Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan perbuatannya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu mahluk yang melatapun (Faathir: 45) (Tafsir Ibnu Katsir: 4/404).
Oleh karena itu, pernyataan bahwa "Bencana sebagai akibat meningkatnya dosa manusia adalah narasi moralistik", merupakan sebuah hal yang benar. Dan beberapa nukilan penjelasan di atas sekaligus juga menjadi kritikan kami yang kedua.
Kritik kedua,
orang-orang yang menyebutkan bahwa argumentasi agama yang sering disampaikan oleh para asatiz adalah hanya sebuah doktrin dan tidak bersifat ilmiah adalah sebuah "serangan serius" terhadap keilmuan para asatiz.
Ilmiah dalam KBBI mempunyai arti bersifat ilmu; secara ilmu pengetahuan; memenuhi syarat (kaidah) ilmu pengetahuan. Akan tetapi, pada prakteknya, mayoritas orang masih menyempitkan makna ilmiah. Mereka hanya menganggap ilmiah sebagai sesuatu hal yang terlihat dan terbukti secara sains.
Padahal ketika kita berbicara agama, maka kita semua harus terlebih dahulu memahami bahwa topik yang dibahas dalam agama, mayoritasnya bersifat tidak kasat mata. Karena inti dari agama adalah keimanan (kepercayaan/keyakinan). Pun demikian, sependek ilmu yang kami miliki, agama Islam mungkin menjadi satu-satunya agama yang sangat "ilmiah". Bagaimana tidak, segala hal yang berkaitan dengan ilmu agama Islam harus diteliti keaslian sumbernya.
Islam menjadi satu-satunya agama yang memperkenalkan ilmu sanad. Isnad atau sanad adalah silsilah nama-nama perawi (pewarta) yang membawakan suatu berita tentang hadits Nabi ﷺ atau kejadian-kejadian sejarah. Dinamakan sanad, karena para penghafal menjadikannya acuan dalam menilai kualitas suatu berita atau ucapan. Apakah ucapan tersebut shahih (valid) atau dha’if (tidak valid). https://kisahmuslim.com/5714-ilmu-sanad-tradisi-istimewa-sejarah-islam.html
Ringkasnya tidak ada satupun perkataan dalam hal ilmu agama Islam yang tidak terbukti validitasnya. Artinya, semuanya bisa dibuktikan secara jelas, runut, dan lengkap bahwa seorang ulama memang benar menyampaikan sebuah ilmu. Adapun di ilmu dunia yang lain, kami tidak bisa mendapati pembuktian bahwa memang benar seorang Ahli ini menuliskan atau menyampaikan sebuah informasi.
Oleh karena itu, ilmu agama Islam adalah sebuah ilmu yang sangat ilmiah.
Kritik ketiga,
setelah kita berada dalam satu frekuensi yang sama, bahwa narasi moralistik dalam agama Islam adalah sebuah narasi yang benar dan ilmiah. Maka kami semakin heran dengan pernyataan Penulis, yaitu narasi moralistik tidak akan bisa membangun kesadaran kolektif.
Bukankah kesadaran kolektif itu muncul dengan terlebih dahulunya menyadarkan masing-masing individu? bukankah komunitas itu terdiri dari banyak individu? bagaimana caranya membangun kesadaran kolektif tanpa melalui tahapan menyadarkan masing-masing individunya?
Disini kami harus terlebih dahulu menjelaskan bahwa makna Ibadah yang diinginkan oleh agama Islam, bukan sebagaimana makna yang dipahami oleh mayoritas masyarakat Indoensia. Ibadah tidak sesempit makna urusan ritual keagamaan semisal Rukun Islam. Ibadah jauh lebih luas dari itu sebagaimana yang dituliskan Oleh Ustaz Yazid rahimahullah dalam tulisannya Pengertian Ibadah Dalam Islam.
Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Sehingga kata kunci ibadah adalah kita melakukan seluruh apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah ta'ala. Dan kita bisa mengetahui apa yang dicintai serta diridhai oleh Allah dengan mempelajari ilmu agama. Oleh karena itu, salah bila ibadah hanya dipahami secara parsial.
Misalnya, karena Allah itu Maha Indah dan menyukai keindahan, maka Ketika kita maksimal dalam menjaga kebersihan, menanam pohon untuk menjaga Udara bersih dan segala hal yang semisal dan semakna dengan itu, maka hal itu adalah ibadah Ketika kita niatkan itu sebagai sebuah ibadah.
Oleh karena itu, narasi moralistik pada masing-masing individu justru bisa membangun semangat dan komitmen Bersama dalam menjaga lingkungan, Ketika narasi yang dibangun adalah narasi agama secara utuh dengan pemahaman yang benar, bukan berdasar pada pemikiran serampangan dan bersifat parsial.
Wallahu'allam
Selesai ditulis pada tangal 29 April 2025 pukul 10.36 WIB.
Komentar
Posting Komentar