RABU, 28 RABIUT TSANI 1441 H // 25 DESEMBER 2019
20.25 WIB
Bissmillahi wal hamdulillah was shallatu wa sallam ala Rasulillah
Pada hari Sabtu tanggal 24, bulan Rabiut Tsani, tahun 1441 H, yang bertepatan dengan tanggal 21 Desember 2019, telah diselenggarakan acara Seminar Nasional dan Temu Alumni MAP Fisipol UGM. Tema yang diangkat di dalam seminar tersebut berkenaan dengan sebuah isu yang sedang ramai dibicarakan oleh mayoritas Pegawai ASN dan/atau para ahli kebijakan publik serta pemerhati birokrasi secara umum, yaitu tentang kebijakan pemangkasan birokrasi di Indonesia.
Ada 4 (empat) pembicara yang hadir pada acara tersebut yaitu pembicara pertama Bapak Mudzakir (Sekretaris Deputi SDM Aparatur Kemenpan RB), pembicara kedua Bapak Prof. Agus Pramusinto (Ketua KASN), pembicara ketiga Bapak Zul Elfian (Walikota Solok Provinsi Sumbar), dan pembicara keempat adalah Bapak Robert Na Endi Jaweng (Direktur Eksekutif KPPOD).
Keempat pembicara tersebut menyampaikan materinya secara panel dengan dipandu oleh seorang moderator, yaitu Bapak Prof. Wahyudi Kumorotomo. Masing-masing pembicara menyampaikan materinya selama kurang lebih 20 menit.
Sebagai pembicara pertama, Bapak Mudzakir selaku perwakilan pemerintah pusat sekaligus leading sector program pemangkasan birokrasi di Indonesia menyampaikan sebuah materi yang menurut kami terlalu normatif. Beliau hanya memaparkan secara global berkenaan dengan alasan dilakukannya pemangkasan birokrasi serta tahapan pelaksanaan kegiatan tersebut.
Adapun pembicara kedua, Prof. Agus dengan latar belakang seorang guru besar, maka mampu lebih “luwes” dalam menyampaikan materinya. Beliau tidak lagi banyak berbicara berkenaan dengan normatif aturan tapi langsung menyoroti permasalahan serta alternatif solusi yang sebaiknya dilakukan oleh Pemerintah dalam usahanya memangkas birokrasi.
Penyampaian materi kemudian dilanjutkan dengan pembicara ketiga yaitu Bapak Zul Elfian selaku Walikota Solok. Di sela-sela penyampaian materi tentang pemangkasan birokrasi, Beliau pada akhirnya lebih banyak “bercerita” tentang dilema yang harus dihadapi oleh seorang kepala daerah. Mulai dari kejujuran beliau tentang pelaksanaan seleksi terbuka hingga curhatan beliau berkenaan dengan analogi kepala daerah dengan seekor rusa yang hanya diberi makan rumput kering tapi di sekitarnya terdapat banyak rumput hijau.
Seminar tersebut kemudian ditutup dengan materi yang disampaikan oleh Pak Robert, yang lebih banyak menyoroti agar pemerintah bisa mengindari atau mengantisipasi terkait banyaknya Pegawai ASN yang akan menjadikan Jabatan Fungsional hanya sebagai pelarian agar tetap mendapatkan tunjangan yang tidak jauh berbeda dari jabatan stuktural yang dulu dimilikinya.
Bagi kami pribadi, dari keempat pemateri yang ada di dalam seminar tersebut maka kami sangat tertarik dengan materi yang disampaikan oleh Bapak Prof. Agus Pramusinto. Seperti yang telah kami sebutkan di awal, beliau tidak lagi banyak “berandai-andai”. Beliau memberikan pandangan optimis terhadap program pemangkasan birokrasi akan tetapi dengan beberapa langkah realistis.
Beberapa kata kunci yang bisa kami tangkap dari materi yang beliau sampaikan adalah :
Pertama, bahwasanya sebuah pemangkasan dalam sebuah tata kelola birokrasi bukan sebuah hal yang “besar” sehingga tidak harus terlalu direspon secara berlebihan.
Kedua, pemerintah pusat harus realistis dalam menerapkan program pemangkasan birokrasi. Bila memang yang menjadi fokus utama adalah untuk mempercepat laju investasi yang ada di Indonesia, maka langkah awal yang harus dilakukan adalah pemangkasan birokrasi di level kementerian/lembaga dan pemerintah daerah yang terkait dengan bidang perizinan, investasi dan pelayanan publik.
Ketika nanti ketiga bidang tersebut telah mampu dilakukan pemangkasan dan ternyata bisa berjalan dengan baik, maka kemudian hal yang serupa bisa dilakukan terhadap bidang tugas yang lain.
Pemangkasan birokrasi pun jangan hanya ditafsirkan pada hilangnya jabatan struktural tapi lebih luas dari itu pemangkasan birokrasi harus mampu diartikan sebagai upaya untuk menghilangkan segala macam fungsi yang memang sudah tidak relevan lagi.
Sehingga bukan hanya eselon III, IV, dan V yang harus hilang. Tapi juga eselon I dan II bisa “digusur” bila memang fungsinya tidak lagi dibutuhkan atau tumpang tindih dengan fungsi lain yang serupa.
Kedua point di atas menurut kami adalah sebuah solusi yang ideal dilakukan oleh Pemerintah Pusat apabila tetap “keukeuh” untuk menjalankan program penghapusan jabatan struktural.
Ya, ini memang momentum untuk memperbaiki benang kusut birokrasi di dalam tubuh organisasi publik Indonesia tapi jangan sampai karena “terburu-buru” dalam menetapkan sebuah kebijakan justru hal itu malah menambah runyam birokrasi Indonesia.
Apalagi yang diatur dalam birokrasi adalah manusia sehingga tidak bisa sekedar mengeluarkan kebijakan tanpa memerhatikan sisi psikologis yang akan ditimbulkan.
Wallahu’allam.
20.25 WIB
Bissmillahi wal hamdulillah was shallatu wa sallam ala Rasulillah
Pada hari Sabtu tanggal 24, bulan Rabiut Tsani, tahun 1441 H, yang bertepatan dengan tanggal 21 Desember 2019, telah diselenggarakan acara Seminar Nasional dan Temu Alumni MAP Fisipol UGM. Tema yang diangkat di dalam seminar tersebut berkenaan dengan sebuah isu yang sedang ramai dibicarakan oleh mayoritas Pegawai ASN dan/atau para ahli kebijakan publik serta pemerhati birokrasi secara umum, yaitu tentang kebijakan pemangkasan birokrasi di Indonesia.
Ada 4 (empat) pembicara yang hadir pada acara tersebut yaitu pembicara pertama Bapak Mudzakir (Sekretaris Deputi SDM Aparatur Kemenpan RB), pembicara kedua Bapak Prof. Agus Pramusinto (Ketua KASN), pembicara ketiga Bapak Zul Elfian (Walikota Solok Provinsi Sumbar), dan pembicara keempat adalah Bapak Robert Na Endi Jaweng (Direktur Eksekutif KPPOD).
Keempat pembicara tersebut menyampaikan materinya secara panel dengan dipandu oleh seorang moderator, yaitu Bapak Prof. Wahyudi Kumorotomo. Masing-masing pembicara menyampaikan materinya selama kurang lebih 20 menit.
Sebagai pembicara pertama, Bapak Mudzakir selaku perwakilan pemerintah pusat sekaligus leading sector program pemangkasan birokrasi di Indonesia menyampaikan sebuah materi yang menurut kami terlalu normatif. Beliau hanya memaparkan secara global berkenaan dengan alasan dilakukannya pemangkasan birokrasi serta tahapan pelaksanaan kegiatan tersebut.
Adapun pembicara kedua, Prof. Agus dengan latar belakang seorang guru besar, maka mampu lebih “luwes” dalam menyampaikan materinya. Beliau tidak lagi banyak berbicara berkenaan dengan normatif aturan tapi langsung menyoroti permasalahan serta alternatif solusi yang sebaiknya dilakukan oleh Pemerintah dalam usahanya memangkas birokrasi.
Penyampaian materi kemudian dilanjutkan dengan pembicara ketiga yaitu Bapak Zul Elfian selaku Walikota Solok. Di sela-sela penyampaian materi tentang pemangkasan birokrasi, Beliau pada akhirnya lebih banyak “bercerita” tentang dilema yang harus dihadapi oleh seorang kepala daerah. Mulai dari kejujuran beliau tentang pelaksanaan seleksi terbuka hingga curhatan beliau berkenaan dengan analogi kepala daerah dengan seekor rusa yang hanya diberi makan rumput kering tapi di sekitarnya terdapat banyak rumput hijau.
Seminar tersebut kemudian ditutup dengan materi yang disampaikan oleh Pak Robert, yang lebih banyak menyoroti agar pemerintah bisa mengindari atau mengantisipasi terkait banyaknya Pegawai ASN yang akan menjadikan Jabatan Fungsional hanya sebagai pelarian agar tetap mendapatkan tunjangan yang tidak jauh berbeda dari jabatan stuktural yang dulu dimilikinya.
Bagi kami pribadi, dari keempat pemateri yang ada di dalam seminar tersebut maka kami sangat tertarik dengan materi yang disampaikan oleh Bapak Prof. Agus Pramusinto. Seperti yang telah kami sebutkan di awal, beliau tidak lagi banyak “berandai-andai”. Beliau memberikan pandangan optimis terhadap program pemangkasan birokrasi akan tetapi dengan beberapa langkah realistis.
Beberapa kata kunci yang bisa kami tangkap dari materi yang beliau sampaikan adalah :
Pertama, bahwasanya sebuah pemangkasan dalam sebuah tata kelola birokrasi bukan sebuah hal yang “besar” sehingga tidak harus terlalu direspon secara berlebihan.
Kedua, pemerintah pusat harus realistis dalam menerapkan program pemangkasan birokrasi. Bila memang yang menjadi fokus utama adalah untuk mempercepat laju investasi yang ada di Indonesia, maka langkah awal yang harus dilakukan adalah pemangkasan birokrasi di level kementerian/lembaga dan pemerintah daerah yang terkait dengan bidang perizinan, investasi dan pelayanan publik.
Ketika nanti ketiga bidang tersebut telah mampu dilakukan pemangkasan dan ternyata bisa berjalan dengan baik, maka kemudian hal yang serupa bisa dilakukan terhadap bidang tugas yang lain.
Pemangkasan birokrasi pun jangan hanya ditafsirkan pada hilangnya jabatan struktural tapi lebih luas dari itu pemangkasan birokrasi harus mampu diartikan sebagai upaya untuk menghilangkan segala macam fungsi yang memang sudah tidak relevan lagi.
Sehingga bukan hanya eselon III, IV, dan V yang harus hilang. Tapi juga eselon I dan II bisa “digusur” bila memang fungsinya tidak lagi dibutuhkan atau tumpang tindih dengan fungsi lain yang serupa.
Kedua point di atas menurut kami adalah sebuah solusi yang ideal dilakukan oleh Pemerintah Pusat apabila tetap “keukeuh” untuk menjalankan program penghapusan jabatan struktural.
Ya, ini memang momentum untuk memperbaiki benang kusut birokrasi di dalam tubuh organisasi publik Indonesia tapi jangan sampai karena “terburu-buru” dalam menetapkan sebuah kebijakan justru hal itu malah menambah runyam birokrasi Indonesia.
Apalagi yang diatur dalam birokrasi adalah manusia sehingga tidak bisa sekedar mengeluarkan kebijakan tanpa memerhatikan sisi psikologis yang akan ditimbulkan.
Wallahu’allam.
Komentar
Posting Komentar