Diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Dawud dan Nasa’i, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah segala amalannya, kecuali dari tiga perkara : shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakannya”. Maka semoga jejak tulisan yang saya tinggalkan ini mampu menjadi ilmu yang memberikan manfaat. Aamiin.
Cari Blog Ini
D-IV atau S1 ?
Suatu malam pada hari Sabtu, tanggal 14, bulan Januari, tahun 2012, berlatar tempatkan teras masjid Al-Ilmi IPDN Kampus Kalimantan Barat, terjadi satu percakapan ringan sangat sederhana tapi kemudian mampu untuk membuat otak ini menjadi rumit karena terus memikirkan substansi dari apa yang diperbincangkan itu, terlalu rumit sehingga saya pikir perlu untuk dituangkan dalam sebuah narasi penuh kata, tidak berpetuah dan tidak juga indah. Tapi cukup-lah untuk sekedar berbagi ide dan informasi yang pastinya tidak sesat.
Dan ini-lah percakapan singkat itu : HP ( inisial teman saya ) : “Dim, kamu lebih milih mana, S.IP atau S.STP ?” Saya : “mmm….pengennya sih S.IP” HP : “Kenapa, Dim? Kata orang kan kalo S.STP tuh lebih baik buat karir dan kata orang juga S.IP tuh lebih condong buat jadi dosen.” Saya : “Wah gak tau sih kalo masalah yang kayak gitunya, tapi saya ingin S.IP karena yang saya tau S.IP itu lebih mudah untuk nantinya kita mau nerusin ke S2, nah kalo S.STP itu gak semua universitas mau nerima untuk langsung bisa ke S2, jadi kayak yang terbatas gitu.” HP : “ooh…gitu ya!” Saya : “Tapi terserah aja sih, toh ntar ujung-ujungnya tetap III/a.” HP dan Saya : Tertawa lepas menutup perbincangan singkat itu.
Sejarah baru telah diciptakan di lingkingan pendidikan kedinasan pencetak kader-kader aparatur pemerintahan, Institut Pemerintahan Dalam Negeri ( IPDN, baca : Selayang Pandang IPDN ). Di sekolah para calon-calon birokrat ini, dimulai dari angkatan XIX dan efektif berjalan pada januari 2012 ini, diselenggrakan pendidikan S1 di IPDN Kampus Cilandak. Yang menjadi spesial dan menjadi sebuah sejarah baru adalah program S1 itu adalah merupakan program pengalihan, bukan merupakan program pasca-sarjana seperti biasanya. Jadi, dimulai dari angkatan XIX dan seterusnya ( dengan catatan tidak ada lagi perubahan kebijakan di tengah jalan ) akan ada dua gelar berbeda dalam satu angkatan, yaitu sebagian akan bergelar S.IP dan yang lainnya akan tetap bergelar S.STP. Sejatinya semenjak dari angkatan V, IPDN ( dulu STPDN ) merupakan pendidikan vokasi yang menyelenggrakan program Diploma IV ( D-IV) yang setingkat dengan S1, sehingga lulusan yang dihasilkannya secara otomatis mendapatkan gelar S.STP, pendidikan S1 sendiri memang ada di IPDN ( dulu IIP ), tapi merupakan program yang berbeda. Dan terobosan kali ini adalah setelah setiap praja kembali berkumpul pada tingkat empat semester VII di IPDN Kampus Pusat Jatinangor, diantara mereka dipilih yang terbaik, yang memenuhi syarat ( IPK minimal 3,25 ) untuk dialih programkan ke jenjang S1, sedangkan yang lainnya tetap pada program semula yaitu D-IV.
Jadi secara sederhanya alur pendidikan di IPDN adalah : pada tingkat pertama semester I semua berkumpul dan mendapatkan kuliah yang sama di IPDN Kampus Pusat, pada semester dua mereka mulai disebar ke setiap Kampus Daerah ( baca : Kampus Daerah dan Semangat Perubahan ), pada tingkat dua semester III mulai dilakukan penjurusan ( ada dua fakultas dan delapan jurusan atau program studi ), kemudian pada tingkat empat semester VII kembali berkumpul di IPDN Kampus Pusat Jatinangor, kemudian dipilih yang ( katanya ) terbaik ( sekitar 100 praja ) diantara mereka untuk kemudian dialih programkan ke S1 di IPDN Kampus Cilandak, dan yang lainnya tetap di IPDN Kampus Pusat untuk tetap meneruskan studinya di program D-IV.
Sebagian diantara kami menganggap program tersebut sebagai sebuah diskriminasi tapi secara jujur nan jantan saya adalah mungkin salah satu dari sedikit orang yang setuju atau tidak berkeberatan sama sekali dengan namanya diskrimasi atau nepotisme sakalipun. Tapi diskriminasi dan nepotisme yang saya setujui disini harus memenuhi beberapi syarat dan pada hakikatnya merupakan diskriminasi dan nepotisme dalam kebaikan. Saya setuju untuk dilakukannya diskriminasi atau pembedaan dalam memberlakukan sesuatu hal atau seseorang apabila pembeda tersebut dilakukan berdasarkan kualitas sesuatu hal dan seseorang tersebut. Ilustrasinya adalah seperti ini, pada kenyataanya dan secara adilnya tentu kita tidak bisa memberlakukan sama antara satu orang dan orang lainnya karena diantara dua orang itu ada satu diantaranya yang memiliki kemampuan lebih dibandingkan yang lainnya, dalam hal pendidikan misalnya tentu orang-orang yang pintar/cerdas harus mendapatkan sesuatu hal yang lebih, misalnya beasiswa, dan ini-lah suatu bentuk diskriminasi itu, semua orang tidak bisa dan tidak akan pernah bisa mendapatkan beasiswa, tapi beasiswa itu hanya diberikan kepada mereka yang pintar/cerdas saja. Pun dengan nepotisme, apabila ada dua orang atau lebih yang memperebutkan suatu posisi tertentu dalam suatu bidang apapun itu, dua orang atau lebih tersebut memilki kemampuan yang sama persis, sama kuat, dan pada akhirnya yang terpilih adalah ternyata dia yang memilki hubungan kekerabatan/saudara dengan orang yang mempunyai kebijakan untuk menentukan pengisian posisi tadi, maka hal tersebut menjadi sangat bisa saya maklumi. Karena bagi saya nepotisme itu menjadi wajar di era sekarang ini ( baca : Api-Asap, Sebab-Akibat ), dengan catatan orang tersebut harus setidaknya memilki kemampuan di bidang yang akan dia isi dan seminimal-minimalnya kemampuanya itu juga harus sama dengan para pesaingnya serta syukur-syukur mampu untuk lebih. Itu-lah diskriminasi dan nepotisme yang saya pikir wajar apabila kita lakukan.
Dengan pemikiran saya seperti itu, saya menjadi kurang setuju dengan pendapat bahwa program pengalihan dari D-IV ke S-1 merupakan suatu diskriminasi dalam hal yang buruk, tapi itu merupakan diskrimansi yang baik, karena yang mampu sudah seharusnya mendapatkan apa yang mereka mampui tersebut. Lantas, apa beda D-IV dan S1? Untuk menjawab pertanyaan itu, saya akan sertakan informasi-informasi yang saya himpun dari berbagai sumber.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi, pada Bab VII Gelar dan Sebutan Lulusan Perguruan Tinggi pasal 22, bahwa gelar antara Program D4 dengan Program S1 adalah sama-sama sarjana, untuk Sarjana (pendidikan akademik) penggunaan gelar dengan mencantumkan huruf S disertai singkatan nama kelompok bidang ilmu, dan untuk Diploma 4 (pendidikan profesionalisme) penggunaan gelar dengan mencantumkan huruf S.ST (Sarjana Sains Terapan). Sedangakan untuk beban studi antara Program Sarjana dengan D4 adalah sama (Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 232/U/2000)
Jadi dapat disimpulkan bahwa program Pendidikan Profesional Diploma IV dengan gelar profesional Sarjana Sains Terapan memiliki tingkat yang sama dengan Program Pendidikan Akademik dengan gelar akademik Sarjana.
Berikut beberapa kutipan dari Forum Direktur Politeknik Negeri mengenai D4, semoga bermanfaat.
Oleh : Forum Direktur Politeknik Negeri Jakarta, 31 Oktober 2008
Salah satu bagian dari UU No:20/2003 perihal SISDIKNAS menyebutkan bahwa proses pendidikan dapat dilakukan secara formal, nonformal maupun informal. Pendidikan formal dilakukan terstruktur, berjenjang yang didalamnya terdapat juga unsur pelatihan untuk mendapatkan ketrampilan, serta ditandai kelulusannya dengan ijazah serta gelar/sebutan yang mengimajinasi bahwa yang bersangkutan telah menyelesaikan pendidikan formal pada jenjang tertentu. Sedangkan nonformal adalah berupa pelatihan – pelatihan diluar pendidikan formal guna mendapatkan ketrampilan untuk melengkapi proses pendidikan formal. Selanjutnya proses pendidikan informal dapat dilakukan lebih fleksibel dilingkungan keluarga.
Berdasarkan UU No. 20/2003 tentang SISDIKNAS, sesuai dengan sebutannya, yakni Pendidikan Tinggi Vokasi, maka perbedaannya yang utama dengan Pendidikan Tinggi Akademik adalah pada Pendidikan Tinggi Vokasi jumlah jam-jam pelatihan yang harus diselesaikan adalah lebih banyak. Pendidikan Tinggi D4 Politeknik (Sarjana Sains Terapan) adalah Program Sarjana yang dilaksanakan di lingkungan Pendidikan Tinggi Politeknik. Dengan demikian dalam proses pendidikannya, Program Sarjana Sains Terapan D4 Politeknik ini harus menyediakan perangkat kurikulum yang mengakomodasi jam pelatihan lebih besar dibandingkan Program Sarjana yang dari jalur Pendidikan Tinggi Akademik.
Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa salah satu ciri Pendidikan Tinggi formal adalah dianugerahkannya gelar/sebutan didepan atau dibelakang nama yang bersangkutan sesuai dengan jenjang program Pendidikan Tinggi formal yang telah diselesaikannya. Gelar/sebutan tersebut haruslah mengimajinasi sebagai gelar pendidikan formal yang mempunyai kesetaraan di dunia pendidikan Internasional, utamanya untuk gelar kesarjanaan. Hal ini penting sebagai pengakuan administratif saat yang bersangkutan akan bergabung dengan dunia usaha dan dunia industri atau pada saat yang bersangkutan ingin melanjutkan studi di dalam negeri atau keluar negeri.
Dibawah ini adalah beberapa regulasi pemerintah yang telah mengatur keberadaan program Sarjana Sains Terapan D4 Politeknik, serta Program Sarjana dari jalur Akademik: KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 234/U/2000 TENTANG PEDOMAN PENDIRIAN PERGURUAN TINGGI. Pasal 1 ayat 16. Program Diploma IV selanjutnya disebut Program D IV adalah jenjang pendidikan profesional yang mempunyai beban studi minimal 144 satuan kredit semester (sks) dan maksimal 160 sks dengan kurikulum 8 semester dan lama program antara 8 sampai 14 semester setelah Sekolah Lanjutan Tingkat Atas.
Pasal 1 ayat 17. Program Sarjana selanjutnya disebut Program S1 adalah jenjang pendidikan akademik yang mempunyai beban studi antara minimal 144 satuan kredit semester(sks) dan maksimal 160 sks dengan kurikulum 8 semester dan lama program antara 8 sampai 14 semester setelah Sekolah Lanjutan Tingkat Atas.
Langsung pada kesimpulan 1. Kualitas pendidikan teknik di beberapa Politeknik dengan program D4 yang mendidik menjadi seorang Sarjana Sains Terapan, sudah bisa mempunyai kualitas yang sejajar dengan pendidikan sarjana teknik yang ada di Universitas maupun Institut. 2. Berdasarkan KEPMENDIKNAS 234/U/2000, KEPMENDIKAS 232/U/2000 serta PP 60 tahun 1999, menjelaskan bahwa, lulusan S1 dan D4 mempunyai beban studi yang sama yakni 144 SKS, serta mempunyai beban tanggung jawab yang sama di dunia kerja. 3. Ciri Pendidikan Tinggi formal adalah dianugerahkannya gelar/sebutan didepan atau dibelakang nama yang bersangkutan sesuai dengan jenjang program Pendidikan Tinggi formal yang telah diselesaikannya. Gelar/sebutan tersebut haruslah mengimajinasi sebagai gelar pendidikan formal yang mempunyai kesetaraan di dunia pendidikan Internasional, utamanya untuk gelar kesarjanaan. Hal ini penting sebagai pengakuan administratif saat yang bersangkutan akan bergabung dengan dunia usaha dan dunia industri atau pada saat yang bersangkutan ingin melanjutkan studi di dalam negeri atau keluar negeri. 4. Kerjasama Internasional yang sudah dilakukan beberapa Politeknik adalah atas dasar pengembangan pendidikan Sarjana (Bachelor). 5. Gelar Sarjana Sains Terapan (S.ST) untuk para lulusan D4 Politeknik seperti yang termaktub dalam Peraturan Pemerintah No:60 Tahun 1999 Pasal 22 ayat 3 adalah sudah benar adanya. Gelar ini sama dengan gelar Bachelor of Applied Science untuk lulusan University of Applied Science di negara-negara maju seperti yang sudah disebut diatas.
Pada beberapa kesempatan, sering saya baca pertanyaan mengenai Diploma IV atau D4. sebagian besar pertanyaannya bisa dikelompokkan menjadi dua: Apa itu D4 dan apa bedanya dengan S1. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus membagi jalur pendidikan menjadi dua, jalur akademis dan jalur profesional. Menurut beberapa referensi, jalur akademis terdiri dari S0-S1-S2-S3 atau Strata 0 (non gelar) – strata 1 (Sarjana) – strata 2 (Master) – strata 3 (Doktor), sedangkan jalur profesional terdiri dari D1 (Diploma satu)-D2(diploma dua)-D3 (diploma tiga)-D4 (diploma empat)-Sp1(spesialis satu)-Sp2(spesialis dua).
Program pendidikan D3 mungkin sudah sering kita dengar tapi D1, D2,D4, sp1 dan sp2 yang mungkin tidak begitu akrab ditelinga masyarakat luas. Bisa dikatakan D1 itu program kuliah satu tahun, D2 dua tahun dan D3 tiga tahun, sedangkan D4 empat tahun. D4 itu setara dengan S1/Sarjana di jalur profesional, sedangkan spesialis satu itu setara dengan Master, sp.2 setara dengan Doktor.
Mungkin lebih mudah dicontohkan di bidang kedokteran jalur akademisnya adalah S.Ked (S1), M.Si/MPH (S2), dan Dr (S3), sedang jalur profesionalnya dr/dokter, spesialis 1 (Sp.A/Sp.B/dst) dan speasialis 2 (Sp.A(K)/sp.B(K)/dst). namun di sini sepertinya dokter tidak bisa di samakan dengan D4 tapi mungkin Spesialis 0. Selanjutnya, apa beda D4 dengan S1?
Dilihat dari jumlah SKS yang harus diambil, D4 dan S1 sama banyaknya, yaitu 144 SKS, tapi kalau dilihat dari kurikulumnya, D4 menitik beratkan pada skill sehingga 60% praktek dan 40% Teori, sebaliknya S1 lbih menekankan pada aspek analitis dengan 40% Praktek dan 60% Teori.
Diharapkan lulusan D4 ini akan siap untuk bekerja, sedangkan lulusan S1 diarahkan ke bidang Riset dan disiapkan untuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi sampai jenjang akademis Doktor.
Menurut wikipedia, program D4 sudah ada pada sekitar 50 persen dari politeknik negri di Indonesia yang berjumlah 26 buah. Sedangkan untuk Universitas, secara resmi belum ada, namun ITB juga membuka D4 namun dalam bentuk kerjasama dengan lembaga atau instansi.
Menurut kabar, Universitas Gadjah Mada malalui Sekolah Vokasi sedang mengajukan proposal pendirian D4 Teknik Elektronika dan D4 Teknik Informatika. kita doakan semoga segera bediri dan ikut meramaikan pendidikan profesional di Indonesia.
Sedangkan Bidang studi yang mebuka program D4 diantaranya adalah D4 Teknik Elektronika D4 Teknik Telekomunikasi D4 Teknik Elektronika Industri D4 Teknik Mekatronika D4 Teknologi Informasi / Teknik Informatika D4 Teknik Komputer D4 Akuntansi D4 Statistika
Bagaimanakah prospek D4? Sementara ini karna masih belum akrabnya dunia Industri dengan D4 maka belum semua kalangan industri maupun calon mahasiswa mengenal D4, malah ada HRD salah satu perusahaan yang belum tahu D4 sehingga dimasukkan ke level D3, namun setelah kami kunjungi, kami beri pengertian apa itu D4. Sehingga PENS sampai menamai robotnya D4=S1 guna mempromosikan D4 dikalangan masyarakat.
Namun jangan khawatir, seiring dengan perkembangan waktu, saat ini lulusan D4 yang lebih siap kerja dibanding S1 sudah mulai diperhitungkan oleh dunia industri, lambat laun, kami optimis tidak akan lama lagi, tenaga profesional seperti pada level Engineer akan lebih banyak diambil dari lulusan D4, karna memang D4 lah yang disiapkan untuk langsung bekerja dan dibekali ketrampilan yang lebih daripada S1. Untuk pegawai negri, alhamdulillah jenjang D4 sudah disamakan dengan S1 sehingga pertama masuk langsung masuk ke Golongan IIIA sebagaimana lulusan S1.
Bagaimana untuk studi lanjut? Lulusan D4 tentu bisa langsung melanjutkan ke jenjang S2 karna setara dengan S1. hanya sebaiknya memang melanjutkan ke jenjang S2 profesional seperti misalnya MM/MBA dan DBA untuk bidang ekonomi.
Dari beberapa pertanyaan mengenai, apakah lulusan D4 bisa lanjut ke S2 Reguler (bukan Spesialis 1 dan spesialis 2?)
Saya temukan beberapa Universitas yang secara resmi menyatakan BISA menerima lulusan D4 untuk lanjut ke S2. Universitas yang lain walau resminya menyatakan tidak menerima D4, tapi pada kenyataannya saya temukan alumni D4 di program S2 mereka. Perguruan tinggi yang resmi menerima D4 itu salah satunya adalah ITB, sesuai dengan SK Senat Akademik ITB NO. 20/SK/K01-SA/2006
Perdebatan yang ada di kalangan kami adalah terbangunnya suatu image bahwa S1 itu lebih baik daripada D-IV, dan S1 itu tempatnya orang-orang pintar sedangkan D-IV hanya-lah untuk mereka yang berkemampuan biasa-biasa saja. Hal itu, pola pikir seperti itu-lah yang saya pikir membuat kondisi menjadi agak kurang nyaman. Padahal sebenarnya, secara normatif aturannya, bisa rekan-rekan semua baca lagi dari tulisan-tulisan yang telah saya sertakan diatas, bahwa D-IV dan S1 itu setingkat, perbedaan hanya pada komposisi kurikulumnya, Hanya itu! Jadi, saya pribadi juga tidak habis pikir kenapa harus dibangunnya image seperti itu, apakah seseorang dengan kemampuan teoritis lebih dianggap pintar daripada mereka yang lebih berkemampuan praktik? Saya sangat tidak setuju dengan hal itu! Saya sangat kecewa, dengan fakta bahwa yang bisa dan boleh untuk meneruskan pendidikan ke jenjang SI dalah mereka yang memilki IPK 3,25 saja sudah menujukan image bahwa mereka yang S1 itu lebih “pintar” daripada mereka yang tetap berada di jalur pendidikan D-IV, ironi! Padahal sudah secara jelas dan nyata SI dan D-IV itu berbeda jalur akademisnya tapi berada pada satu tingkatan, jadi sekali lagi saya tekankan, TIDAK ADA YANG LEBIH PINTAR!
Saya melihat program ini lebih pada suatu produk politik. Saya mendengar segelintingan kabar bahwa IPDN mengadakan program seperti ini hanya untuk agar IPDN bisa membuka jalur pendidikan S3 dan agar terlihat lulusan IPDN itu lebih ”akademisi”, karena dengan SI maka 60% yang didapatkan peserta didik adalah teori dan 40% praktik. Hal lain yang menguatkan program ini terlihat sangat politik adalah kenyataan penentuan 100 orang praja yang bisa mengikuti program S1, secara aturannya mereka yang bisa masuk adalah mereka yang memiliki minimal IPK 3,25 atau dikategorikan “pintar”. Tapi permasalahannya, IPDN Merupakan sekolah kedinasan yang mengenal istilah kontingen asal pendaftaran, peserta didik di IPDN adalah perwakilan dari masing-masing provinsi yang ada di Indonesia ( baca : Keluarga Besar IPDN ), apabila lembaga ini secara saklek menggunakan aturan seperti tadi maka jelas aka ada provinsi yang tidak mempunyai perwakilan yang masuk ke S1 dan apabila hal itu benar terjadi sudah jelas hal itu akan memicu suatu konflik kecil. Jadi yang ada sekarang adalah lembaga lebih menekankan kepada perwakilan masing-masing provinsi. Permasalahannya adalah apabila sebenarnya di provinsi A ada sebanyak 10 orang yang secara administraitf dan kualitas nyata pun mereka mampu untuk masuk S1, tapi kemudian harus terpental menjadi hanya 5 orang saja, karena terbatas jumlah perwakilan masing-masing provinsi dan di lain pihak di provinsi B sebenarnya tidak ada sama sekali peserta didiknya yang memenuhi syarat untuk masuk S1, tapi karena dipaksakan oleh peraturan perwakilan setiap provinsi, maka terpaksa-lah lima orang pun dimasukan kedalamnya, padahal lima orang itu sama sekali tidak lebih baik atau bahkan sekedar mendekati kemampuan lima orang dari provinsi A yang harus terjungkal karena permasalahn ini. Dan apabila seperti ini, adilkah ?? Karena adil itu bukan sama rata, sama rasa tapi mampu untuk menempatkan segala sesuatunya pada tempatnya. Dan saya pikir ini jelas tidak ditempatkan pada tempatnya!
D-IV atau S1 itu tergantung tujuan msing2. . . bgi kita yg mmang dididik untuk lapangan, ,gelar sarjana sains terapan memang lebih cocok dan aplikatif di lapangan
Selasa, 22 Juli 2014 22.00 WIB Saya akan menampilkan atau mem- posting tulisan dari Bapak Usep Romli , Pengasuh Pesantren Budaya "Raksa Sarakan" Garut. Tulisan ini merupakan tulisan di kolom Opini , harian Republika yang diterbitkan pada hari Selasa, 22 Juli 2014. Beliau menulis tentang (satu-satunya) cara untuk bisa mengalahkan zionis Israel. sehingga tulisannya pun diberi judul, Mengalahkan Zionis Israel . Berikut ini tulisannya saya tampilkan penuh tanpa ada sedikit pun saya kurangi atau tambahkan. "Mengalahkan Zionis Israel" Hari-hari ini, bangsa Palestina di Jalur Gaza sedang dibombardir pasukan Zionis-Israel. Nyaris tak ada perlawanan sama sekali, karena Palestina tak punya tentara. Hanya ada beberapa kelompok sipil bersenjata yang berusaha bertahan seadanya. Negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab tak berdaya. Begitu pula negara-negara berpenduduk mayoritas Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI), tak da...
The Legend of Hercules Minggu, 9 Februari 2014 10.10 WIB Cukup lama saya tidak menonton sebuah film di bisokop. Untuk sebagian orang, hal ini merupakan sebuah pemborosan karena kondisi yang ada di Indonesia memungkinkan kita untuk bisa menonton sebuah film dengan harga yang jauh lebih murah. Di Indonesia kita masih bisa untuk mendapatkan sebuah DVD dengan harga yang sangat murah, sekitar 6 (enam) ribu rupiah ( bajakan tentunya tapi dengan kualitas gambar yang cukup baik ), bandingkan dengan harga yang harus dikeluarkan apabila kita menonton sebuah film di bioskop, sekitar 25 ribu – 50 ribu rupiah tergantung bioskop yang kita pilih. Saya pun menyadari hal itu tapi saya tentu juga memiliki alasan. Terlepas dari alasan idealis yang sebenarnya juga masih saya miliki, alasan utama yang ingin saya kemukakan disini adalah bahwa menonton sebuah film di bioskop bagi saya adalah sebuah penyegaran, sebuah hobi untuk melepas penat dan mendapatkan lagi beberapa semangat. Ya, hobi. ...
memahami..
BalasHapusD-IV atau S1 itu tergantung tujuan msing2. . .
BalasHapusbgi kita yg mmang dididik untuk lapangan, ,gelar sarjana sains terapan memang lebih cocok dan aplikatif di lapangan
@dodoL : wah, ini dengan admin blog IPDN Kampus Kalbar ya?? bagus sekali blog nya, mhon bimbingannya ya.
BalasHapuso gitu, banru ngeh... ajib
BalasHapusD4 memang di didik untuk kerja lapangan, skill atau frofesionalismenya pu saya pikir lebih mantap dan meyakinkan
BalasHapus@anonim : betul sekali, saya pun mempunyai pemikiran seperti itu. tapi lagi-lagi itu hanya sebatas normatif nya...
BalasHapusOh begitu
BalasHapusBedakan antara Diskriminasi dan Kualifikasi, serta antara Nepotisme dan Koneksi.
BalasHapus