Penyelenggaraan pemerintah daerah di atur di dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang telah mengalami perubahan melalui UU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2014. Secara umum, melalui UU Nomor 23 Tahun 2014 kekuasaan penyelenggaraan urusan pemerintahan tetap dimiliki oleh Pusat akan tetapi untuk efektifitas dan efisiensi serta menjalankan semangat demokrasi, maka pemerintah pusat menyerahkan beberapa urusan pemerintahan kepada pemerintah daerah. Dengan adanya pelimpahan wewenang, maka pemerintah daerah yang secara faktual lebih dekat dan bersentuhan langsung dengan masyarakat, diharapkan mampu untuk menjalankan segala urusan pemerintahan dengan baik dan sesuai dengan karakteristik daerahnya masing-masing.
Pemerintah Pusat sadar akan keunikan karakter masing-masing daerah. Oleh karena itu di dalam UU Nomor 23 Tahun 2014, pemerintah pusat mendorong pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan yang telah dilimpahkan untuk dikerjakan dengan penuh kreativitas dan inovasi. Kreatifitas dan inovasi yang dilakukan harus tetap berada dalam bingkai aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akan tetapi, ada beberapa daerah yang karena kekhususannya, maka pelaksanaan otonomi di daerah tersebut selain di atur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 diberlakukan pula ketentuan khusus yang diatur dalam UU lain.
Provinsi Papua adalah salah satu provinsi yang mendapatkan otonomi khusus yang diatur dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua jo. UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menjadi Undang-undang. Latar belakang pemberian otonomi khusus (otsus) di Provinsi Papua adalah pemerintah pusat menyadari bahwa pelaksanaan pembangunan di Papua belum memenuhi rasa keadilan dan belum menampakan penghormatan terhadap hak asasi manusia bagi masyarakat Papua. Padahal Provinsi Papua memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah. Oleh karena itu visi besar pelaksanaan otsus di Provinsi Papua adalah untuk mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dengan provinsi lain di Indonesia dan meningkatkan taraf hidup masyarakat Provinsi Papua serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua dalam proses pembangunan.
Otonomi khusus di Provinsi Papua telah berjalan kurang lebih selama 17 tahun akan tetapi visi yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat belum mampu untuk terlaksana dengan baik. Indikator yang bisa digunakan untuk menilai bahwa pemerintah pusat belum mampu untuk mengurangi kesenjangan Provinsi Papua dengan provinsi lain di Indonesia adalah data yang diberikan oleh BPS. Angka kemiskinan anak di Papua tertinggi di Indonesia, 35,37% (BPS, 2016), provinsi dengan jumlah penduduk miskin terbesar : Papua 28,4% dan Papua Barat 24, 88% (BPS, 2016), bahkan disertai dengan indeks pembangunan manusia (IPM) terburuk di Indonesia sebesar 58,05% (BPS, 2016). (https://geotimes.co.id). Ada beberapa hal yang bisa dijadikan alasan kenapa pemerintah pusat belum mampu menyelesaikan permasalahan kesenjangan di Provinsi Papua, padahal pemerintah pusat telah menetapkan kebijakan khusus melalui otonomi khusus. Salah satu alasannya adalah karena pemerintah pusat hanya menekankan pada pemberian anggaran besar tanpa adanya perencanaan strategis dan sesuai dengan kondisi geografis Provinsi Papua.
Di dalam Pasal 34 ayat (3) huruf c, dijelaskan bahwa Provinsi Papua mendapatkan dana otsus sebesar 2% dari jumlah plafon Dana Alokasi Umum Nasional. Akan tetapi seperti apa yang telah disebutkan di paragraf sebelumnya, jumlah anggaran besar yang telah diberikan kepada Provinsi Papua selama 17 tahun terakhir ini belum mampu untuk menyelesaikan permasalahan utama masyarakat Papua, yaitu pemberian layanan dasar. Karena bila anggaran besar yang setiap tahun diterima difokuskan kepada perbaikan layanan dasar, tentunya dengan perencanaan yang sistematis dan terintegrasi, maka segala tingkat kesejahteraan masyarakat Papua akan meningkat. Padahal di dalam latar belakang pembuatan kebijakan otsus di Provinsi Papua, pemerintah Pusat telah dengan sangat menyadari bahwa kondisi dan kualitas SDM di Provinsi Papua masih tertinggal dengan provinsi lain di Indonesia, sehingga seharusnya fokus utama pemerintah Pusat tidak hanya berhenti pada pemberian dana besar. Karena anggaran yang besar tidak akan bisa menghasilkan apapun bila kemudian tidak dikelola oleh SDM yang berkualitas. Bukti lain bahwa uang bukan sebuah solusi utama untuk penyelesaian masalah di Provinsi Papua adalah bahwa berdasarkan Pasal 8 ayat (1) Perdasus Provinsi Papua Nomor 13 Tahun 2016, diatur bahwa pembagian anggaran dana otsus antara Provinsi dan Kab/kota di Papua dilakukan dengan skema 20:80 (20% untuk Provinsi dan 80% untuk kab/kota), sehingga secara hitungan matematis uang telah berada di wilayah pemerintahan terdekat dengan masyarakat akan tetapi tidak mampu untuk menghasilkan sesuatu hal yang optimal.
Komentar
Posting Komentar