Artikel
ini mulai ditulis pada hari Rabu tanggal 1 Safar 1443 H yang bertepatan dengan
tanggal 8 September 2021 Masehi, pukul 10.35 WIB.
Bissmillah wa shallatu was sallam ala
rasulillah.
Walhamdulillah,
Allah mudahkan kami untuk bisa melanjutkan tulisan dengan judul Jiwa Kepemimpinan yang Baik. Secara sederhana, tulisan tersebut kami buat untuk
merangkum beberapa sifat dan/atau karakter seorang pemimpin yang idealnya ada
serta melekat pada seseorang yang Allah takdirkan untuk mengemban amanah
jabatan, di level apapun, khususnya dalam konteks organisasi publik di Indonesia.
Tulisan ini tentu masih sangat jauh dari kata
ilmiah, ini hanya sekadar curahan berdasarkan pengalaman pendek kami sebagai
seorang staf pelaksana selama kurang lebih tujuh tahun di dunia birokrasi
Indonesia. Oleh karena itu, faktor subjektivitas akan sangat terasa. Tapi, kami
tak ingin putus harapan, berharap yang sedikit ini bisa memberi pencerahan.
***
3) Pengambilan Keputusan (Decision-making)
Berperan sebagai seorang pemimpin, terlebih
lagi pemimpin di dalam struktur organisasi publik di Indonesia, merupakan
sebuah pekerjaan yang tidak bisa dinggap remeh. Suka atau tidak, budaya
birokrasi Indonesia masih kental dengan budaya “kerajaan”. Bawahan harus
melayani atasan.
Dalam proses pembuatan kebijakan, maka budaya
melayani atasan bisa bermakna positif tapi seringnya justru bermakna negatif.
Idealnya bawahan hanya memberi pilihan kebijakan pada atasan untuk selanjutnya
atasan yang memilih kebijakan mana yang akan diambil dan dilaksanakan.
Tapi yang terjadi di lapangan, bawahan yang
membuat alternatif kebijakan, melaporkannya ke atasan, tapi atasan tidak tegas
dan spesifik memilih kebijakan. Mereka justru membuat area “abu-abu”, sehingga
pada akhirnya si bawahan yang harus menentukan pilihan kebijakan.
Konkritnya adalah, di awal si bawahan akan
memberikan dua alternatif kebijakan, tapi si atasan tidak mau memilih dan
justru memerintahkan si bawahan untuk hanya memberikan satu pilihan kebijakan. Kenapa
hal itu terjadi? Karena si atasan tidak mempunyai ilmu untuk memilih kebijakan
yang baik dan/atau si atasan tidak mau mengambil resiko (tidak mau disalahkan)
atas pilihan kebijakan yang nantinya akan dilakukan.
Sehingga apabila semuanya dilakukan oleh si bawahan,
mulai dari rumusan kebijakan dan penerapan kebijakan, ketika nantinya di dalam
implementasi kebijakan terdapat kesalahan, si atasan akan dengan mudahnya “cuci
tangan” dan menyalahkan si bawahan.
Berdasarkan penjelasan di atas, point
pengambilan kebijakan sangat berhubungan dengan kemampuan dan kemauan atasan
untuk “pasang badan” terhadap segala masalah yang mungkin muncul dari sebuah
kebijakan. Atasan tidak bisa bermental tempe, atasan harus siap menanggung malu
dan semua tanggungan lainnya yang muncul akibat kebijakan yang telah dia pilih.
Sehingga beban atasan lebih banyak di beban psikis bukan beban fisik.
Kerja fisik harus banyak berada di bawahan adapun
kerja psikis harus banyak berada di atasan. Jadi, si atasan tidak hanya harus cerdas untuk memilih kebijakan tapi atasan juga harus siap menangung segala
resiko yang ditimbulkan.
Wallahu’alam.
Selesai ditulis pada hari hari Rabu tanggal 1 Safar 1443 H yang bertepatan dengan tanggal 8 September 2021 Masehi di meja kerja, pukul 11.13 WIB
Komentar
Posting Komentar