Selasa, 27 Mei 2025
08.58 WIB
Bissmillah wa shallatu wa sallam ala rasulillah
PROLOG
Peraturan perundang-undangan tentang Pegawai Aparatur Sipil Negara (Pegawai ASN) di lingkungan pemerintah Indonesia sepertinya akan kembali mengalami perubahan (baca: https://noorzandhislife.blogspot.com/2023/11/uu-nomor-20-tahun-2023-tentang-aparatur.html). Undang-undang Nomor 20 tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara yang baru berusia kurang lebih 2 (dua) tahun dan belum memiliki satu peraturan teknis (Peraturan Pemerintah) sebagai turunan langsung dari UU tersebut, diwacanakan untuk kembali dilakukan perubahan.
Bagi kami wacana perubahan tersebut murni sebagai sebuah tindakan politik bukan sebagai sebuah bentuk evaluasi untuk mendapatkan perubahan positif. Karena kita akan sulit untuk mendapatkan feedback utuh dari pelaksanaan UU Nomor 20 Tahun 2023 tanpa adanya aturan teknis yang mengatur segala ketentuan umum yang ada di dalam UU tersebut.
Walhamdulillah, harian Kompas edisi Selasa, 13 Mei 2025, edisi Rabu, 14 Mei 2025, edisi Kamis, 15 Mei 2025, edisi Sabtu, 17 Mei 2025 (kolom Tajuk Rencana), dan edisi Jum'at, 23 Mei 2025, memberikan porsi pemberitaan yang besar tentang wacana perubahan UU Nomor 20 Tahun 2023.
Perhatian media mainstream dalam urusan kepegawaian birokrasi menjadi sesuatu yang harus diapresiasi dan harapannya bisa terus konsisten dilakukan. Hal itu agar segala permasalahan tentang kepegawaian birokrasi Indonesia tidak dipandang sebelah mata. Minimalnya perhatian masyarakat dan kaum intelektual harus bisa setara dalam memandang urusan kepegawaian birokrasi sama seperti perhatian banyak pasang mata terhadap permasalahan buruh di Indonesia.
Karena kepegawaian birokrasi Indonesia dan buruh sama-sama menduduki peran sentral dalam organisasi. Mereka adalah sumber daya manusia yang menentukan berhasil atau tidaknya organisasi tersebut dalam meraih cita-citanya.
Studi ilmiah sudah membuktikan bahwa salah satu aspek utama Korea Selatan dan Singapura bisa menjadi negara maju yang berhasil karena kedua negara tersebut memberikan perhatian serius dalam mengelola sumber daya manusia, khususnya SDM di dalam birokrasinya.
Adapun di Indonesia, isu kepegawaian birokrasi masih belum berada dalam posisi yang strategis. Setiap tahun, isu kepegawaian baru akan mendapat hati di banyak kalangan ketika ada permasalahan dalam proses rekrutmen CASN atau penataan pegawai honorer.
Pembahasan tentang pengembangan karir melalui sistem merit atau peta jalan peningkatan kesejahteraan bagi Pegawai ASN belum menjadi isu strategis. Hal itu berkonsekuensi dengan minimnya perhatian dari para aktor politik pembuat kebijakan. Pada akhirnya urusan kepegawaian birokrasi Indonesia hanya berjalan seperti biasanya (business as usual).
Bukti konkret bisa dilihat ketika dulu UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN pertama kali terbit. Butuh beberapa tahun kemudian untuk kemudian muncul aturan pelaksananya, yaitu PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS. Padahal negara ini dijalankan oleh para birokrat, yang sayangnya harus bekerja tanpa ada "kejelasan" karir dan upaya serius dalam meningkatkan kesejahteraan.
MENGIKUTI ARAH ANGIN
Mari kita kembali ke wacana perubahan UU Nomor 20 Tahun 2023, yang telah kami sebutkan di awal, bahwa UU ini baru berusia kurang lebih 2 (dua) tahun dan belum memiliki satu pun peraturan pemerintah sebagai aturan teknis pelaksananya. Kedua fakta ini, kemudian membuat kami berpikir bahwa tulisan opini dari Siti Murtiningsih (Guru Besar Filsafat Pendidikan di Universitas Gadjah Mada) dengan judul Pendidikan Tanpa Kompas yang dimuat pada Kompas edisi 8 Mei 2025, relevan juga untuk menggambarkan nasib regulasi kepegawaian birokrasi Indonesia.
Arah kebijakan kepegawaian birokrasi Indonesia sangat ditentukan oleh kehendak individual seorang pejabat, bukan didasarkan pada kerangka filosofis manajemen SDM jangka panjang yang konsisten. Sehingga regulasi yang ada hanya bersifat reaksioner dan tanpa kompas yang jelas. Apabila ada perubahan, hal itu hanya tidak berdasarkan kajian akademik yang dapat dipertanggungjawabkan. Akan tetapi perubahan yang ada hanya mengikuti ke mana arah angin politik membawanya.
Kepentingan politik dalam wacana perubahan UU Nomor 20 Tahun 2023 sangat jelas terasa dibandingkan dengan semangat perubahan hasil dari evaluasi atau kajian akademik yang mendalam. Hal itu dikupas secara jelas dan gamblang oleh fakta-fakta yang diungkap oleh harian Kompas pada edisi-edisi yang telah kami sebutkan di awal.
Secara garis besar beberapa perubahan yang menjadi isu utama adalah (1) pengalihan kewenangan untuk melakukan pelantikan atau pergantian pejabat setingkat eselon I dan II di tingkat daerah dan pusat, yang semula dimiliki oleh masing-masing Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK), menjadi hak mutlak Presiden, yang dalam prakteknya akan menugaskan kepada Kemenpan RB (untuk instansi Pusat) dan Kemendagri (untuk Instansi Daerah) dan (2) wacana untuk melebur tugas fungsi LAN dan BKN kepada Kemenpan RB.
Akan tetapi, beberapa ahli yang telah diundang secara resemi oleh DPR untuk diminta masukannya yaitu, Eko Prasojo, Sofyan Effendi, Ryas Rasyid, dan Djohermansyah, semuanya sepakat memberikan masukan bahwa penarikan kewenangan secara mutlak kepada Presiden dalam proses pelantikan pejabat eselon I dan II di daerah akan menjadi sebuah hal yang kontraproduktif dan tidak memiliki urgensi sama sekali.
Keempat ahli tadi sepakat bahwa hal urgen yang harus dilakukan adalah justru memperkuat sistem merit dan mengembalikan atau menghidupkan kembali lembaga Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), yang hal ini juga secara lugas menunjukan ketidaksetujuan mereka terhadap ide menjadikan Kemenpan RB sebagai satu-satunya lembaga yang mengatur semua urusan kepegawaian birokrasi Indonesia.
BATAS USIA PENSIUN
Selanjutnya, dalam suasana hangatnya perbincangan tentang perubahan UU Nomor 20 Tahun 2023, Ketua Umum Korpri (wadah profesi bagi PNS di Indonesia) melalui surat resminya mengajukan agar Usia Pensiun bagi PNS diperpanjang dan menghilangkan skema piramidal bagi formasi jabatan fungsional untuk diganti menjadi skema tabung/paralon.
Terhadap usul yang pertama, kami melihat tidak ada urgensi untuk memperpang batas usia pensiun bagi PNS, terlebih dengan realita karir yang ada sekarang ini. Justru dengan memperpanjang usia pensiun dengan belum optimalnya sistem merit, akan membuat regenerasi di tubuh birokrasi menjadi semakin lambat.
Pegawai yang sebenarnya masuk dalam kategori deadwood dan "terlanjur" duduk dalam posisi strategis karena "senioritas" pangkat/golongan, akan semakin lama menduduki posisi tersebut. Padahal dengan adanya mekanisme pensiun, pegawai-pegawai tersebut akan tereliminasi dengan alami.
Maka urgensinya adalah justru pada fokus menerapkan jenjang karir yang berbasis sistem merit. Sehingga dipastikan pergerakan organisasi dalam mengisi jabatan-jabatan strategis dilakukan secara baik melalui standar yang objektif dan berbasis kompetensi. Ini yang harusnya menjadi fokus dari pengaturan UU Kepegawaian di birokrasi Indonesia. Sistem yang bisa memastikan bahwa hanya talenta unggul yang bisa mendapatkan karir yang cemerlang.
Adapun usul kedua yang disampaikan oleh Korpri, yaitu menghilangkan skema piramidal dan menggantinya menjadi skema tabung/paralon dalam pengaturan formasi jafung, maka hal ini merupakan cabang dari usaha mewujudkan sistem merit. Jabatan fungsional sebagai sebuah jabatan keahlian, maka tidak seharusnya "dikekang" oleh formalitas formasi. Sepanjang pegawai tersebut sudah terbukti dan dinyatakan memiliki keahlian atau kemampuan tertentu, maka dia bisa terus mendapatkan peningkatan karir yang layak.
PENUTUP
Selanjutnya, kami sangat berharap wacana perubahan UU Nomor 20 tahun 2023 juga bisa menyentuh kepada diskusi untuk meningkatkan kesejahteraan Pegawai ASN. Sistem gaji berdasarkan kepangkatan dan memisahkan antara gaji pokok dan tunjangan kinerja memberikan dampak kepada "kecil"nya take home pay yang diterima oleh mayoritas Pegawai ASN, yang hal itu akan semakin terasa ketika nanti Pegawai tersebut telah memasuki masa pensiun.
Maka dengan prinsip untuk membuat organisasi publik semakin lincah dan berbasis pada kompetensi, sistem gaji dan karir berdasarkan kepangkatan harus dihilangkan serta komponen gaji menggunakan skema single salary. Konsep ini sebenarnya sudah pernah muncul ke permukaan ketika UU Nomor 5 Tahun 2014 telah diundangkan. Tapi kemudian lambat laun hilang dan tidak lagi muncul ke permukaan.
Oleh karena itu, semoga perubahan UU Nomor 20 Tahun 2023 bisa memberikan secercah harapan bagi kejelasan karir dan peningkatan kesejahteraan bagi Pegawai ASN. Aamiin.
Selesai ditulis pada hari Selasa, 27 Mei 2025 pukul 14.21 WIB.
Komentar
Posting Komentar