Langsung ke konten utama

Generasi idiot, benarkah?


Minggu, 08 Desember 2013
20.01 WIB


Einstein pernah berkata, "I fear the day when technology overlaps our humanity. It will be then that the world will have permanent ensuing generations of idiots."

Di dalam tulisan ini, saya tidak akan membahas tentang benar atau tidaknya quote tersebut. Ya, ada orang yang memperdebatkannya.

Tidak sedikit orang yang menyatakan bahwa Eisntein semasa hidupnya tidak pernah mengatakan hal itu tapi banyak juga yang meyakini bahwa kalimat itu adalah benar ucapan Einstein.

Terlepas dari itu semua, teknologi informasi dalam bentuk media sosial memang telah membuat sebuah masyarakat baru. Masyarakat tanpa batas dalam artian yang sangat luas.

Tidak berhenti disitu, media sosial juga ternyata mampu merubah kebiasaan setiap orang yang menggunakannya. Konstruktif, tapi kadang justru destruktif.

Bahkan dalam bentuk yang lebih ektrim atau radikal, banyak orang yang menjadi candu terhadapnya. 

Media sosial kemudian semakin jumawa ketika seakan mendapat perhatian lebih di saat dewasa ini juga diikuti oleh perkembanagan teknologi (gadget) mobile. Sehingga setiap orang semakin terikat olehnya.

Fasilitas gadget yang membuat hampir semua orang terus terhubung dengan koneksi dunia maya, membuat media sosial semakin nyaman menancapkan taring budayanya.

Apa mau dikata? Itu-lah dunia kita sekarang ini dan akan semakin terus menggila di masa depan!

Melawannya? Bukan sebuah pilihan cerdas. Karena memang kita membutuhkannya, yang tidak kita butuhkan adalah kemudian justru kita yang dibuat tak berdaya dan diperdaya olehnya.

Hakikatnya, kita, manusia merupakan subjek aktif yang harus mampu mengatur segala sesuatunya. Kita adalah sumber daya dominan dan sudah seharusnya kita mendominasi atas segalanya.

Kenapa seperti itu? Karena diantara segala sumber daya yang ada di dunia ini, manusia-lah satu-satunya sumber daya yang memiliki akal, pikiran, hati, motivasi, prestasi, dan segala unsur penggerak lainnya.

Lalu sumber daya lainnya? Mohon maaf, mereka hanya (seharusnya) menjadi berarti atau bermanfaat ketika disentuh dan digerakan oleh manusia.

Jadi tidak bijak ketika justru kita harus menghentikan atau bahkan melawan segala perkembangan teknologi informasi yang ada. Biarkan segala penemuan itu muncul ke permukaan karena toh itu merupakan manifestasi pemikiran manusia.

Permasalahan yang harus diperhatikan disini adalah justru pada kita, manusia. Bagaimana cara kita mengelolanya dan memanfaatkannya.

Tidak sebatas pada kemampuan kita untuk mampu mengoperasikan segala teknologi yang ada tapi lebih dari itu kita harus mampu untuk menciptakan kemanfaatan darinya.

Sekarang ada dimana posisi saya? Jujur saya akui, saya belum bisa untuk sepenuhnya mengoperasikan segala teknologi dengan baik apalagi harus menciptakan manfaat dari setiap kehadirannya.

Kaitannya dengan media sosial apakah saya candu terhadapnya? Saya ragu untuk menjawabnya. Saya memiliki hampir semua media sosial yang ada. Bahkan ketika saya mulai menggunakan smartphone, saya harus akui dengan adil, bahwa saya masih banyak menghabiskan waktu untuk menggunakan smartphone itu untuk keperluan rekreasi dalam sebentuk eksis di dunia maya. Wow!

Terkadang saya gelisah bila dalam satu hari tak saya dapati notifikasi media sosial yang saya gunakan menunjukan batang hidungnya. Setiap saya mengalami sebuah permasalahan tak jarang saya curahkan di media sosial.

Hal itu saya rasa mulai tak sehat! 

Sedikit demi sedikit saya akan menjadi idiot sepertinya. Mengacuhkan segala yang nyata untuk hal-hal semu di dunia maya!

Seperti yang saya sebutkan di awal, tak bijak bila harus menyalahkan benda mati. Media sosial itu ya terserah dan tergantung kita pemakainya. Apakah menjadi positif atau negatif.

Positif di media sosial apakah bisa? Sangat bisa! Dan banyak yang telah memberi bukti. Media sosial bisa digunakan untuk saling berbagi nasihat dalam kebaikan, semangat positif dan segala indoktrinasi pemikiran membangun.

Banyak tokoh yang telah berbuat seperti itu. Dan seperti itu seharusnya para pengguna media sosial berbuat. Tidak berhenti hanya sekedar berbagi momen bahagia atau mendapatkan perhatian, tapi juga harus mampu untuk menebarkan optimisme. Membentuk cara berpikir positif.

Entah karena pikiran itu atau bukan, saya pun mulai untuk mendefinisikan ulang dalam penggunaan media sosial. Langkah pertama yang saya lakukan adalah saya “memberanikan” diri untuk men-delete akun facebook, yang selama ini telah menemani saya.

Kenapa? Entah, tiba-tiba saya tak lagi memiliki passion terhadapnya. Atau mungkin juga karena telah banyak media sosial yang kini saya miliki dan kelola, sehingga facebook mulai tak lagi saya perhatikan.

Path, instagram, blogspot, tumblr, twitter, BBM, Line, dan Skype, saya rasa telah lebih dari cukup untuk saya jadikan sebagai media sosial. Dengan keluarnya saya dari komunitas facebook, setidaknya saya mengurangi sedikit waktu saya dalam mengelola media sosial yang saya miliki. Yang artinya ada waktu lebih bagi saya untuk terus bernyawa di dunia nyata.

Memang hanya facebook, tapi saya pikir ini langkah awal dalam hal menghindari menjadi generasi idiot.

#PMA all day, guys!

Komentar

  1. itu benar, media sosial hanya ajang pencitraan, teknologi itu dari dulu adalah pisau mata dua, tergantung pengguna... aplikasi chatting menganggu pekerjaan. parah ! :D

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibadalana uliy ba’sin syadid

Selasa, 22 Juli 2014 22.00 WIB Saya akan menampilkan atau mem- posting tulisan dari Bapak Usep Romli , Pengasuh Pesantren Budaya "Raksa Sarakan" Garut. Tulisan ini merupakan tulisan di kolom Opini , harian Republika yang diterbitkan pada hari Selasa, 22 Juli 2014. Beliau menulis tentang (satu-satunya) cara untuk bisa mengalahkan zionis Israel. sehingga tulisannya pun diberi judul, Mengalahkan Zionis Israel . Berikut ini tulisannya saya tampilkan penuh tanpa ada sedikit pun saya kurangi atau tambahkan. "Mengalahkan Zionis Israel" Hari-hari ini, bangsa Palestina di Jalur Gaza sedang dibombardir pasukan Zionis-Israel. Nyaris tak ada perlawanan sama sekali, karena Palestina tak punya tentara. Hanya ada beberapa kelompok sipil bersenjata yang berusaha bertahan seadanya. Negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab tak berdaya. Begitu pula negara-negara berpenduduk mayoritas Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI), tak da

Hercules dan Moral

The Legend of Hercules Minggu, 9 Februari 2014 10.10 WIB Cukup lama saya tidak menonton sebuah film di bisokop. Untuk sebagian orang, hal ini merupakan sebuah pemborosan karena kondisi yang ada di Indonesia memungkinkan kita untuk bisa menonton sebuah film dengan harga yang jauh lebih murah.  Di Indonesia kita masih bisa untuk mendapatkan sebuah DVD dengan harga yang sangat murah, sekitar 6 (enam) ribu rupiah ( bajakan tentunya tapi dengan kualitas gambar yang cukup baik ), bandingkan dengan harga yang harus dikeluarkan apabila kita menonton sebuah film di bioskop, sekitar 25 ribu – 50 ribu rupiah tergantung bioskop yang kita pilih. Saya pun menyadari hal itu tapi saya tentu juga memiliki alasan. Terlepas dari alasan idealis yang sebenarnya juga masih saya miliki, alasan utama yang ingin saya kemukakan disini adalah bahwa menonton sebuah film di bioskop bagi saya adalah sebuah penyegaran, sebuah hobi untuk melepas penat dan mendapatkan lagi beberapa semangat. Ya, hobi. Mung

Wahana Wyata Praja IPDN

Sejarah Singkat Wahana Wyata Praja Wahana Wyata Praja adalah organisasi internal Praja IPDN yang pada dasarnya mempunyai tugas dan fungsi sama dari tahun ke tahun, namun namanya berubah sesuai situasi dan kondisi pada masa angkatan tersebut. Nama organisasi praja yang terbentuk sejak awal berdirinya STPDN hingga IPDN adalah sebagai berikut: Manggala Corps Praja Angkatan I STPDN sampai dengan angkatan IV STPDN Organisasi ini bernama MANGGALA CORPS PRAJA, yang pimpinannya adalah Manggala Pati dengan tanda jabatan talikur berwarna merah, nama Manggala Corps ini hanya sampai pada angkatan IV saja, karena pada angkatan V organisasi internal Praja ini berubah nama menjadi WAHANA BINA PRAJA. Wahana Bina Praja Angkatan IV STPDN sampai dengan angkatan XVI STPDN Wahana Bina Praja ini pimpinannya bernama Gubernur Praja dengan tanda jabatan talikur berwarna biru lis kuning nestel dua, dari Wahana Bina Praja inilah mulai di bentuk berbagai instansi dan UKP yang di ang