MINGGU, 14 SEPTEMBER 2014
12.49 WIB
Sepertinya isu terhangat di media massa Indonesia saat ini adalah tentang RUU Pilkada. Kenapa dengan RUU itu? RUU Pilkada mendapat perhatian sangat besar karena di dalamnya terdapat aturan yang menyatakan bahwa Pemilihan Kepala Daerah, khususnya Bupati dan Walikota tidak lagi dilaksanakan secara langsung tapi dilakukan melalui DPRD.
Pak Ahok dan Pak Ridwan Kamil, seketika menjadi semacam pahlawan di tengah masyarakat demokrasi Indonesia pro Pilkada secara langsung. Karena dua orang tersebut secara sangat tegas menolak disahkannya RUU Pilkada.
Kemudian Pak Amien Rais seperti seorang narapidana yang terpasung karena disinyalir mendukung pengesahan RUU Pilkada yang di dalamnya mengatur pemilihan secara tak langsung atau pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Sehingga dinilai telah menyakiti semangat reformasi Indonesia.
Ada apa sebenarnya?
12.49 WIB
Sepertinya isu terhangat di media massa Indonesia saat ini adalah tentang RUU Pilkada. Kenapa dengan RUU itu? RUU Pilkada mendapat perhatian sangat besar karena di dalamnya terdapat aturan yang menyatakan bahwa Pemilihan Kepala Daerah, khususnya Bupati dan Walikota tidak lagi dilaksanakan secara langsung tapi dilakukan melalui DPRD.
Pak Ahok dan Pak Ridwan Kamil, seketika menjadi semacam pahlawan di tengah masyarakat demokrasi Indonesia pro Pilkada secara langsung. Karena dua orang tersebut secara sangat tegas menolak disahkannya RUU Pilkada.
Kemudian Pak Amien Rais seperti seorang narapidana yang terpasung karena disinyalir mendukung pengesahan RUU Pilkada yang di dalamnya mengatur pemilihan secara tak langsung atau pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Sehingga dinilai telah menyakiti semangat reformasi Indonesia.
Ada apa sebenarnya?
Menurut saya pribadi, ada beberapa pendapat yang bisa saya kemukakan menyikapi permasalahan ini.
Pertama, sekarang saya benar-benar menyadari bahwa peran media massa menjadi sangat vital dewasa ini. Media massa begitu mudahnya menaikan dan menghangatkan sebuah isu di tengah masyarakat. Kemudian dengan berbagai argumen mereka mulai membentuk opini masyarakat dan mengarahkannya pada sebuah kesimpulan yang sama.
Disadari atau tidak, tapi masyarakat tidak diberi sebuah berita atau kabar tapi masyarakat dibentuk sebuah pemahaman dalam menanggapi sebuah keadaan. Dan saya pikir ini sebuah penghakiman. Ini saya pikir di luar konteks demokrasi.
Saya tetap pada pendapat bahwa tugas media massa adalah memberitakan sebuah fakta tanpa ada sebuah tendensi atau kepentingan apalagi dengan otoriternya menetapkan sebuah opini. Bukan begitu seharusnya. Media massa seharusnya mencukupkan tugasnya pada penyampaian berita dan membiarkan masyarakat untuk memberikan opini dan respon menurut kehendak mereka. Biarkan kemudian masyarakat yang menetapkan nilai terhadap sebuah atau beberapa berita yang mereka dapatkan.
Tugas media massa, sekali lagi, hanya sebatas pada pemberitaan segala fakta seterbuka mungkin dan seluas-luasnya.
Saya katakan demikian karena hal ini, berkenaan dengan permasalahan pemilihan kepala daerah melalui mekanisme DPRD bukan merupakan barang baru. Ini adalah isu lama. Isu ini ada semenjak UU 32 tahun 2004 mulai diwacanakan untuk mengalami revisi beberapa tahun yang lalu.
Pertama, sekarang saya benar-benar menyadari bahwa peran media massa menjadi sangat vital dewasa ini. Media massa begitu mudahnya menaikan dan menghangatkan sebuah isu di tengah masyarakat. Kemudian dengan berbagai argumen mereka mulai membentuk opini masyarakat dan mengarahkannya pada sebuah kesimpulan yang sama.
Disadari atau tidak, tapi masyarakat tidak diberi sebuah berita atau kabar tapi masyarakat dibentuk sebuah pemahaman dalam menanggapi sebuah keadaan. Dan saya pikir ini sebuah penghakiman. Ini saya pikir di luar konteks demokrasi.
Saya tetap pada pendapat bahwa tugas media massa adalah memberitakan sebuah fakta tanpa ada sebuah tendensi atau kepentingan apalagi dengan otoriternya menetapkan sebuah opini. Bukan begitu seharusnya. Media massa seharusnya mencukupkan tugasnya pada penyampaian berita dan membiarkan masyarakat untuk memberikan opini dan respon menurut kehendak mereka. Biarkan kemudian masyarakat yang menetapkan nilai terhadap sebuah atau beberapa berita yang mereka dapatkan.
Tugas media massa, sekali lagi, hanya sebatas pada pemberitaan segala fakta seterbuka mungkin dan seluas-luasnya.
Saya katakan demikian karena hal ini, berkenaan dengan permasalahan pemilihan kepala daerah melalui mekanisme DPRD bukan merupakan barang baru. Ini adalah isu lama. Isu ini ada semenjak UU 32 tahun 2004 mulai diwacanakan untuk mengalami revisi beberapa tahun yang lalu.
Telah banyak forum ilmiah dan juga tulisan mengenai baik buruk opsi mengembalikan pemilihan kepala daerah ke tangan DPRD. Secara lebih jauh, hal ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk menata ulang konsep otonomi daerah yang ada di Indonesia setelah berjalan lebih dari 15 tahun.
Pemikiran awal mengenai perlunya perbaikan terhadap otonomi di Indonesia didasari dengan fakta bahwa otonomi daerah belum mampu untuk berjalan secara maksimal. Pergulatan politik justru banyak terjadi dan berakhir pada perbutan kekuasaan tak sehat serta kasus korupsi yang tak pernah mau berhenti.
Sehingga penataan ulang terhadap bentuk otonomi daerah memang perlu untuk dilakukan.
Jadi isu ini bukan isu baru. Saya pun begitu terkejut kenapa baru sekarang isu ini mendapat perhatian. Padahal telah sejak lama pembicaraan ini dilakukan dan penelitian ilmiah serta pendapat para ahli pemerintahan juga telah lama mengemuka. Tapi kenapa para elite politik baru sekarang bergenderang? Ada apa? Dan kenapa media massa begitu sangat bersemangat?
Oleh karena itu, izinkan saya untuk sedikit menaruh rasa curiga bahwa terdapat sebuah kepentingan di dalamnya dan bagi para elite politik yang baru kali ini bersuara lantang, harus saya katakan anda sedang melakukan sebuah pencitraan. Karena hei, kemana saja kalian? Ini isu lama lho! Kalian hanya memanfaatkan euphoria demokrasi yang ada di tengah masyrakat.
Kedua, sejalan dengan fakta bahwa ini bukan merupakan sebuah isu baru. Saya pun tak setuju apabila pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh DPRD adalah sebuah kemunduran bagi pelaksanaan demokrasi di Indonesia atau bahkan secara ekstrem menyatakan bahwa ini adalah sebuah upaya untuk mengembalikan lagi pada sebuah rezim otoriter, orde baru.
Apa yang ingin saya katakan, alternatif ini adalah hasil sebuah pemikiran para ahli pemerintahan dan juga hasil mengumpulkan pendapat banyak orang. Maka ketika kita tidak setuju, maka kemukakan ketidaksetujuan itu melalui sebuah penelitian dan argumen yang lebih kuat, bukan dengan kengototan memanfaatkan banyak suara rakyat. Atau dengan fanatisme kebencian.
Hal itu bisa dengan mudah terlihat karena banyak argumen orang-orang yang tak setuju dengan pemilihan kepala daerah melalui DPRD hanya dengan sebuah argumen ketidaksukaan mereka terhadap orde baru. Itu sungguh tidak ilmiah dan berdasar.
Ketika orde baru memiliki sesuatu yang baik kenapa tidak kita gunanakan di masa kini? Apakah karena hal itu berbau orde baru maka segala sesuatunya menjadi salah? Saya pikir tidak demikian adanya.
Jadi, saya mohon kepada segala pihak yang tidak menyetujui sebuah pendapat. Tolong kemukakan pendapat anda dengan sebuah argumen yang kuat. Tidak hanya sekedar menggunakan kemampuan anda menarik jutaan orang untuk mendukung. Itu sangat tidak mencerdaskan.
Pemikiran awal mengenai perlunya perbaikan terhadap otonomi di Indonesia didasari dengan fakta bahwa otonomi daerah belum mampu untuk berjalan secara maksimal. Pergulatan politik justru banyak terjadi dan berakhir pada perbutan kekuasaan tak sehat serta kasus korupsi yang tak pernah mau berhenti.
Sehingga penataan ulang terhadap bentuk otonomi daerah memang perlu untuk dilakukan.
Jadi isu ini bukan isu baru. Saya pun begitu terkejut kenapa baru sekarang isu ini mendapat perhatian. Padahal telah sejak lama pembicaraan ini dilakukan dan penelitian ilmiah serta pendapat para ahli pemerintahan juga telah lama mengemuka. Tapi kenapa para elite politik baru sekarang bergenderang? Ada apa? Dan kenapa media massa begitu sangat bersemangat?
Oleh karena itu, izinkan saya untuk sedikit menaruh rasa curiga bahwa terdapat sebuah kepentingan di dalamnya dan bagi para elite politik yang baru kali ini bersuara lantang, harus saya katakan anda sedang melakukan sebuah pencitraan. Karena hei, kemana saja kalian? Ini isu lama lho! Kalian hanya memanfaatkan euphoria demokrasi yang ada di tengah masyrakat.
Kedua, sejalan dengan fakta bahwa ini bukan merupakan sebuah isu baru. Saya pun tak setuju apabila pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh DPRD adalah sebuah kemunduran bagi pelaksanaan demokrasi di Indonesia atau bahkan secara ekstrem menyatakan bahwa ini adalah sebuah upaya untuk mengembalikan lagi pada sebuah rezim otoriter, orde baru.
Apa yang ingin saya katakan, alternatif ini adalah hasil sebuah pemikiran para ahli pemerintahan dan juga hasil mengumpulkan pendapat banyak orang. Maka ketika kita tidak setuju, maka kemukakan ketidaksetujuan itu melalui sebuah penelitian dan argumen yang lebih kuat, bukan dengan kengototan memanfaatkan banyak suara rakyat. Atau dengan fanatisme kebencian.
Hal itu bisa dengan mudah terlihat karena banyak argumen orang-orang yang tak setuju dengan pemilihan kepala daerah melalui DPRD hanya dengan sebuah argumen ketidaksukaan mereka terhadap orde baru. Itu sungguh tidak ilmiah dan berdasar.
Ketika orde baru memiliki sesuatu yang baik kenapa tidak kita gunanakan di masa kini? Apakah karena hal itu berbau orde baru maka segala sesuatunya menjadi salah? Saya pikir tidak demikian adanya.
Jadi, saya mohon kepada segala pihak yang tidak menyetujui sebuah pendapat. Tolong kemukakan pendapat anda dengan sebuah argumen yang kuat. Tidak hanya sekedar menggunakan kemampuan anda menarik jutaan orang untuk mendukung. Itu sangat tidak mencerdaskan.
#PMA, guys!
Komentar
Posting Komentar