RABU, 5 NOVEMBER 2014
09.50 WIB
Pada tulisan saya sebelumnya, http://noorzandhislife.blogspot.com/2014/11/berubah-apa.html, salah seorang sahabat saya berbaik hati untuk menyempatkan membacanya dan meninggalkan jejak berupa komentar.
Secara garis besar, dia menyarankan agar saya terlebih dahulu membaca secara seksama lampiran UU 23/2014. Dia mengatakan bahwa di dalam lampiran tersebut sudah termuat secara jelas pembagian kewenangan antara Pusat dan daerah otonom.
Hal itu dia sampaikan untuk mematahkan opini bahwa pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia yang kini diatur dalam UU 23/2014 masih sangat rumit.
Membaca komentar sekaligus kritikannya, saya pun sesegera untuk membaca terlebih dahulu lampiran UU 23/2014. Hal itu penting untuk saya lakukan karena saya tetap berkeyakinan bahwa pada pelaksanaanya, otonomi daerah di Indonesia masih terlampau rumit.
Saya kemudian akan memberikan ilustrasi secara nyata melalui kasus dari diluncurkannya program nasional Kartu Indonesia Pintar, dan Kartu Indonesia Sehat. (koreksi jika saya salah dalam penyebutan istilah tersebut)
Berkaitan dengan kasus yang akan saya bicarakan maka saya pun memfokuskan membaca lampiran UU 23/2014 mengenai pendidikan dan kesehatan. Karena Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Indonesia Sehat merupakan bagian dari pendidikan dan kesehatan. Akan tetapi terlebih dahulu saya akan menguraikan secara singkat bagaiamana pembagian urusan antara Pusat dan daerah otonom berdasarkan UU 23/2014.
Di dalam UU 23/2014 urusan pemerintahan diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) macam, yakni urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Hal tersebut disebutkan di dalam pasal 9 ayat (1) UU 23/2014.
Adapun pendidikan dan kesehatan masuk ke dalam urusan pemerintahan konkuren. Urusan pemerintahan konkuren pun terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemeritahan Pilihan.
Untuk Urusan Pemerintahan Wajib dibagi lagi kedalam urusan pemerintahan yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan urusan pemerintahan yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar.
Pendidikan dan kesehatan merupakan urusan pemerintahan konkuren wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar.
Di dalam UU 23/2014, disebutkan secara jelas bahwa urusan pemerintahan konkuren merupakan urusan pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota.
Hal tersebut masih sama dengan apa yang diatur dalam UU 32/2004, urusan yang seharusnya menurut logika penerapan otonomi daerah harus sepenuhnya dilaksanakan oleh daerah otonom akan tetapi Pusat masih terus merecokinya.
Benar bahwa pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia harus dilaksanakan dalam bingkai Negara Kesatuan dan kalimat itu seakan menjadi pembenaran bahwa dalam praktiknya Pusat memang harus selalu melakukan “intervensi”.
Tetapi saya pikir, dengan telah ditetapkannya, urusan absolut yang mutlak menjadi kewenangan Pusat, dan 6 (enam) urusan tersebut merupakan urusan krusial sehingga kecil kemungkinan bagi daerah otonom untuk bisa melepaskan diri dari bingkai Negara Kesatuan. Jadi urusan lainnya sudah sangat pantas untuk sepenuhnya diberikan pada daerah otonom.
Sebelum lebih lanjut saya membahasnya lalu mengaitkannya dengan program Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Indonesia Sehat, saya akan melanjutkan untuk menuliskan ketentuan yang tertuang di dalam UU 23/2014.
Lalu bagaimana pembagian pelaksanaan tugas antara Pusat, provinsi, serta kabupaten/kota dalam melaksanaan urusan pemerintaha konkuren wajib?
Dalam Pasal 13 ayat (1) UU 23/2014 disebutkan bahwa pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pusat dan Daerah provinsi serta Daerah kabupaten/kota didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional.
Lalu pada Pasal 15 ayat (1) disebutkan bahwa pembagian tersebut tercantum di dalam Lampiran UU 23/2014. Pada ayat selanjutnya, yakni ayat (2) dan (3) disampaikan bahwa untuk urusan pemerintahan konkuren yang tidak tercantum dalam Lampiran UU 23/2014 akan ditetapkan kemudian dengan Peraturan Presiden.
Pada ketentuan selanjutnya, tepatnya di dalam Pasal 16 ayat (1), di dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan konkuren, Pusat berwenang untuk :
a) Menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan;dan
b) Melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.
Sampai dengan titik itu, dalam artian substansi yang jelas tertuang dalam aturan, maka pelaksanaan otonomi daerah sungguh sangat bisa untuk dilakukan secara maksimal.
Walaupun pada awalnya Pusat seperti memberikan intervensi pada urusan di luar urusan absolut, tapi merujuk pada ketentuan Pasal 16 ayat (1), maka intervensi Pusat itu sungguh sangat bisa dipahami. Karena Pusat hanya menetapkan norma, standar, prosedur, kriteria dan memberikan pembinaan serta pengawasan. Tidak ada ketentuan untuk juga melakukan kegiatan yang bersifat teknis.
Setelah itu, saya membaca ketentuan yang terdapat dalam lampiran UU 23/2014. Lampiran tersebut berupa matriks pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota.
Saya langsung memberikan fokus utama pada urusan pendidikan dan kesehatan, yang secara kebetulan berada di urutan pertama dan kedua lampiran tersebut.
Untuk urusan pemerintahan bidang pendidikan memiliki 6 (enam) sub urusan, yakni manajemen pendidikan, kurikulum, akreditasi, pendidikan dan tenaga kependidikan, perizinan pendidikan, dan bahasa dan sastra.
Adapun untuk urusan pemerintahan bidang kesehatan terdapat 4 (empat) sub urusan, yaitu upaya kesehatan, SDM Kesehatan, Sediaan Farmasi, alat kesehatan, dan makanan minuman, dan Pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan.
Kaitannya dengan program Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS), hal itu berhubungan dengan bantuan penyaluran dana kepada masyarakat miskin. Maka secara sederhana kita bisa menyebutnya sebagai sebuah kebijakan berupa bantuan dalam hal anggaran pendidikan dan kesehatan, dan tidak masuk ke dalam sub urusan yang tercantum dalam lampiran ataupun penjelasan dalam penjabaran kewenangan antara Pusat dan daerah otonom.
Sehingga hemat saya, ketika Pusat akan mengeluarkan kebijakan yang diluar hal-hal yang telah spesifik diatur dalam UU 23/2014, Pusat tetap harus berpedoman bahwa mereka hanya berwenang untuk mengeluarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria, bukan lantas juga merumuskan program hingga ke tataran teknis.
Maka salahkah bila kemudian saya katakan bahwa pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia masih sangat rumit? Pusat masih memegang teguh segala kebijakan secara teknis, sehingga daerah otonom kesulitan untuk melangkah.
Pada artikel dalam harian Pikiran Rakyat, yang berjudul Data Penerima KIP Diragukan, disebutkan bahwa keabsahan data penerima KIP yang diluncurkan Presiden Jokowi diragukan berbagai pihak. Belum lagi dengan berbagai program pendidikan dari pemerintah daerah dikhawatirkan akan terjadi tumpang tindih dan justru dinikmati oleh pihak yang tidak seharusnya menerima.
Belum lagi kritikan yang juga dilayangkan oleh DPR, karena program KIP dan KIS tidak termuat dalam struktur APBN 2014, sehingga menimbukan banyak pertanyaan darimana sumber dana program tersebut.
Tapi itu bukan titik berat kritikan yang akan saya layangkan, saya tetap menyoroti fakta bahwa Pusat sampai dengan saat ini, di era pemimpin baru dengan latar belakang karir pernah menjabat sebagai Walikota dan Gubernur, serta dengan situasi UU Pemerintahan Daerah yang baru, masih tetap mengeluarkan kebijakan yang bersifat teknis.
Sehingga rawan untuk terjadi tumpang tindih kebijakan dan kebijakan yang tidak tepat sasaran karena rentang kendali yang terlampau jauh. Daerah otonom tentu lebih mengetahui kebutuhan mereka seperti dari apa karena bersentuhan langsung dengan masyarakat. Berbeda halnya dengan Pusat.
Saya sungguh tidak anti dengan kebijakan yang dibuat oleh Pusat, saya hanya menginginkan kita semua untuk konsisten dengan kebijakan yang telah ditetapkan. Ketika kita telah menetapkan untuk menggunakan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi, maka ayo berikan kepercayaan penuh pada daerah.
Tapi apabila memang tetap menginginkan Pusat untuk yang memegang kendali maka jelaskan semua dalam sebentuk kebijakan sentralisasi!
#PMA
menyambung dari komentar sebelumnya .. jika mengacau pada pada pasal 16 UU 23/2014 ini maka substansi urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan pusat sudah sangat jelas dsana tidak menyentuh urusan tekhnis, sebagaimana telah disebutkan di atas .. secara normatif format otonomi daerah menurut saya sudah diatur sedetaail mungkin, terutama dalam hal pembagian urusan pemerintahan .. namun secara implementatif sebagaimana contoh di atas, bisa dikatakan masih sangat jauh dari hakiki otonomi daerah yang senyatanya :)
BalasHapusnah paham juga pak hakim dgn maksud saya hehehe
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusiyaa pak dima .. jika berandai dan dikaitkan dengan siapa yang harus bertanggung jawab dan memulai perubahan di tataran Pemerintah Pusat, menurut saya secara khusus hal ini menjadi tugas dan peran strategis dari Kementerian dalam Negeri, Bappenas, Kementerian Keuangan untuk mengawal program-program Kementerian Lembaga dalam Koridor UU 23/2014 .
BalasHapusini bisa menambah referensi terkait pembahasan di atas ..
BalasHapushttp://www.dakwatuna.com/2014/11/06/59581/tentang-tiga-kartu-sakti-jokowi-yusril-mensesneg-sutikno-jangan-asbun-seperti-puan/#axzz3ILh9xrGg