RABU, 16 SAFAR 1438 H / 16 NOVEMBER 2016
13.05 WIB
“Tidak boleh hasad (ghibtoh) kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia ilmu (Al Qur’an dan As Sunnah), ia menunaikan dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari no. 73 dan Muslim no. 816)
Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan, “Hasad yang dimaksud di sini adalah hasad yang dibolehkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bukan hasad yang tercela.”
Ibnu Baththol mengatakan pula, “Inilah yang dimaksud dengan judul bab yang dibawakan oleh Imam Bukhari yaitu “Bab Ghibthoh dalam Ilmu dan Hikmah”. Karena siapa saja yang berada dalam kondisi seperti ini (memiliki harta lalu dimanfaatkan dalam jalan kebaikan dan ilmu yang dimanfaatkan pula), maka seharusnya seseorang ghibthoh (berniat untuk mendapatkan nikmat seperti itu) dan berlomba-lomba dalam kebaikan tersebut.“ (Syarh Al Bukhori, Ibnu Baththol, Asy Syamilah, 1/153)
"Dan itu juga yang saya perlihatkan, saya tidak segan dan tidak malu untuk berkata, bahwa saya kagum dan salut terhadap seorang sahabat saya disini, seorang teman, seoran panutan di kampus IPDN Kalbar ini, A.O.W. ( suatu saat saya akan menulis sebuah tulisan khusus yang membahas kekaguman saya terhadap sosok manusia satu ini ), dia merupakan contoh nyata dari seseorang yang pintar, cerdas, seorang manusia yang generalis, mampu untuk berproses secara benar dan kemudian mendapatkan hasil yang sepadan. I SALUTE YOU!!" (Dengarkan curhatku)
***
Well, sejujurnya saya tidak tau harus mulai darimana tulisan ini. Saya ingin menata hati dan pikiran yang beberapa hari ini berkecamuk. Saya berharap dengan menuliskannya, maka hal-hal yang ada dalam pikiran dan hati itu akan mereda atau setidak-tidaknya bisa berjalan sesuai dengan semestinya.
Permasalahan kehidupan yang terberat untuk saya adalah permasalahan psikologis. Masalah-masalah yang menyentuh mental. Tak ada kaitan dengan raga, tak juga membahayakan anggota badan. Tapi cukup membuat pikiran dan hati saling bertabrakan. Terus terpikir dan terus berpikir!
Saya yang sebenarnya telah mulai menapaki dan mendapatkan tujuan hidup yang hakiki. Tapi kembali mulai terusik oleh gambaran keindahan kehidupan dunia. Agama yang perlahan mulai jadi sandaran, tetiba saja tergoyahkan oleh isi dunia yang menjanjikan kenyamanan.
Hey! Islam tak menyuruh umatnya bersikap acuh terhadap dunia. Walaupun beberapa orang yang bersemangat "hijrah" kemudian mempunyai konsep zuhud yang sedikit banyaknya keliru. Mereka mengartikan zuhud untuk meninggalkan kehidupan dunia sepenuhnya dan hanya berfokus pada kehidupan akhirat. Tak lagi mereka pedulikan lapar dan hausnya yang mereka rasa atau koyaknya baju yang mereka gunakan. Jadi banyak yang beranggapan bahwa menjadi zuhud itu berarti hidup miskin! Apa memang begitu?
Ustadz Khalid dalam tablig akbar dengan judul Umair bin Sa'ad, Gubernur yang Zuhud, menjelaskan bahwa zuhud secara sederhananya dapat dipahami sebagai sikap yang mengutamakan urusan akhirat daripada urusan dunia. Bukan meninggalkan urusan dunia sepenuhnya.
Melalui situs https://rumaysho.com/ , saya pun mendapati bahwa pengertian yang sangat bagus tentang zuhud adalah yang disampaikan oleh Abu Sulaiman Ad Daroni. Beliau mengatakan, “Para ulama berselisih paham tentang makna zuhud di Irak. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa zuhud adalah enggan bergaul dengan manusia. Ada pula yang mengatakan, “Zuhud adalah meninggalkan berbagai macam syahwat.” Ada pula yang memberikan pengertian, “Zuhud adalah meninggalkan rasa kenyang” Namun definisi-definisi ini saling mendekati. Aku sendiri berpendapat, “Zuhud adalah meninggalkan berbagai hal yang dapat melalaikan dari mengingat Allah.”
Jadi hakikatnya zuhud bukan tentang apa yang terlihat dari segi penampilan secara fisik. Zuhud itu berkenaan dengan amalan hati. Bahkan apabila kita lebih jauh menelisik sejarah, orang paling zuhud di kalangan sahabat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, dan sejarah mengatakan bahwa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu adalah seorang yang kaya. Jadi, beberapa hal tersebut cukup meyakinkan saya bahwa bersikap zuhud bukan artinya menafikan dunia!
Hal itu kemudian memberikan gambaran bagi saya bahwa ketika agama telah kita yakini sepenuhnya sebagai pedoman kehidupan maka dunia tak lantas harus kita tinggalkan. Bahkan cara kita mendapatkan nikmat di akhirat kelak adalah dengan menjalani kehidupan di dunia dengan sebaik-baiknya, bukan justru meninggalkannya.
Menjadikan Islam sebagai pedoman hidup hanya mengharuskan kita untuk mendahulukan urusan akhirat dibandingkan dengan urusan dunia. Bukan bersikap acuh terhadap dunia.
Dan ya, itu-lah permasalahan psikologis/mental yang kini sedang saya hadapi.
Jujur, semangat saya kini dalam mencari ilmu agama sedang berada dalam kondisi prima. Saya sangat bersemangat mengikuti semua nasihat yang ada. Tak banyak bertanya, Sami'na wa athona.
Tapi sesaat setelah saya berbincang dengan salah satu sahabat. Ketika dia datang untuk melaksanakan tugas ke Jakarta. Pertemuan yang sebenarnya tak disengaja. Obrolan yang begitu mengasyikan karena memang kami lama tak bersua. Saling melempar pertanyaan, sesekali menyelipkan banyolan. Dia, orang selalu saya kagumi, dan terlebih kini saya semakin mengaguminya.
Dia mampu menerapkan kehidupan yang menurut saya seimbang. Dia rencanakan segalanya, dengan mempertimbangkan secara matang. Dia pun menjalankan segala apa yang dia rencanakan dengan penuh tanggung jawab. Wow! Saya mendengarkan penuh khidmat, betapa ternyata saya ini masih jauh dari kata baik.
Ilmu yang telah saya dapatkan tidak saya implementasikan nyata di kehidupan. Saya hanya kemudian menjadikan ilmu itu retorika di berbagai media sosial yang saya miliki. Jadi apa gunanya ilmu yang katanya telah saya miliki?
Dia, sahabat saya, hanya satu dari banyak orang lainnya di dunia ini yang telah mampu menerapkan ilmu ke dalam keseharian. Melakukan perubahan nyata untuk kehidupannya sendiri terlebih dahulu. Pilihan hidupnya sangat penuh perhitungan. Tapi dia lakukan dengan kemandirian. Tak ada pilihan hidup yang tanpa perhitungan. Pekara ijin belajar S2, membeli motor, merencanakan membeli rumah, menikah, semuanya dia tentukan dan semuanya dia miliki argumen.
Saya terdiam dalam hati betapa saya tidak lakukan itu dalam kehidupan saya. Saya tak melulu punya rencana, bahkan banyak keputusan dalam menjalani kehidupan saya ambil tanpa perencanaan. Lalu akhirnya saya sesali karena menyalahi aturan. Padahal keputusan itu mengikat kehidupan saya 15 tahun kedepan, dan sangat berdampak pada berbagai keputusan lainnya. Jadi apa gunanya ilmu yang katanya telah saya miliki?
Saya pun kini berada dalam ketidakjelasan. Saya tak hebat dalam hal apapun. Untuk urusan dunia, pekerjaan yang kini saya miliki, banyak hal yang tak bisa saya lakukan. Lalu untuk urusan akhirat yang katanya kini sedang saya dalami, saya pun tak benar-benar alim. Jadi apa gunanya ilmu yang katanya telah saya miliki?
Di titik ini, saya benar-benar berada dalam kondisi untuk bisa menentukan sikap. Saya bukan lagi seorang remaja. Saya harus memaksa diri menjadi dewasa. Mengimplementasikan ilmu yang katanya telah saya miliki. Hal-hal yang telah terlanjur terjadi tentu tak layak disesali apalagi diratapi. Semoga Allah Ta'ala memberikan saya kekuatan. Aamiin.
#PMA
Hal itu kemudian memberikan gambaran bagi saya bahwa ketika agama telah kita yakini sepenuhnya sebagai pedoman kehidupan maka dunia tak lantas harus kita tinggalkan. Bahkan cara kita mendapatkan nikmat di akhirat kelak adalah dengan menjalani kehidupan di dunia dengan sebaik-baiknya, bukan justru meninggalkannya.
Menjadikan Islam sebagai pedoman hidup hanya mengharuskan kita untuk mendahulukan urusan akhirat dibandingkan dengan urusan dunia. Bukan bersikap acuh terhadap dunia.
Dan ya, itu-lah permasalahan psikologis/mental yang kini sedang saya hadapi.
Jujur, semangat saya kini dalam mencari ilmu agama sedang berada dalam kondisi prima. Saya sangat bersemangat mengikuti semua nasihat yang ada. Tak banyak bertanya, Sami'na wa athona.
Tapi sesaat setelah saya berbincang dengan salah satu sahabat. Ketika dia datang untuk melaksanakan tugas ke Jakarta. Pertemuan yang sebenarnya tak disengaja. Obrolan yang begitu mengasyikan karena memang kami lama tak bersua. Saling melempar pertanyaan, sesekali menyelipkan banyolan. Dia, orang selalu saya kagumi, dan terlebih kini saya semakin mengaguminya.
Dia mampu menerapkan kehidupan yang menurut saya seimbang. Dia rencanakan segalanya, dengan mempertimbangkan secara matang. Dia pun menjalankan segala apa yang dia rencanakan dengan penuh tanggung jawab. Wow! Saya mendengarkan penuh khidmat, betapa ternyata saya ini masih jauh dari kata baik.
Ilmu yang telah saya dapatkan tidak saya implementasikan nyata di kehidupan. Saya hanya kemudian menjadikan ilmu itu retorika di berbagai media sosial yang saya miliki. Jadi apa gunanya ilmu yang katanya telah saya miliki?
Dia, sahabat saya, hanya satu dari banyak orang lainnya di dunia ini yang telah mampu menerapkan ilmu ke dalam keseharian. Melakukan perubahan nyata untuk kehidupannya sendiri terlebih dahulu. Pilihan hidupnya sangat penuh perhitungan. Tapi dia lakukan dengan kemandirian. Tak ada pilihan hidup yang tanpa perhitungan. Pekara ijin belajar S2, membeli motor, merencanakan membeli rumah, menikah, semuanya dia tentukan dan semuanya dia miliki argumen.
Saya terdiam dalam hati betapa saya tidak lakukan itu dalam kehidupan saya. Saya tak melulu punya rencana, bahkan banyak keputusan dalam menjalani kehidupan saya ambil tanpa perencanaan. Lalu akhirnya saya sesali karena menyalahi aturan. Padahal keputusan itu mengikat kehidupan saya 15 tahun kedepan, dan sangat berdampak pada berbagai keputusan lainnya. Jadi apa gunanya ilmu yang katanya telah saya miliki?
Saya pun kini berada dalam ketidakjelasan. Saya tak hebat dalam hal apapun. Untuk urusan dunia, pekerjaan yang kini saya miliki, banyak hal yang tak bisa saya lakukan. Lalu untuk urusan akhirat yang katanya kini sedang saya dalami, saya pun tak benar-benar alim. Jadi apa gunanya ilmu yang katanya telah saya miliki?
Di titik ini, saya benar-benar berada dalam kondisi untuk bisa menentukan sikap. Saya bukan lagi seorang remaja. Saya harus memaksa diri menjadi dewasa. Mengimplementasikan ilmu yang katanya telah saya miliki. Hal-hal yang telah terlanjur terjadi tentu tak layak disesali apalagi diratapi. Semoga Allah Ta'ala memberikan saya kekuatan. Aamiin.
#PMA
Halu diks yg lagi dapat badai serotonin. Hahahha
BalasHapusYakin saja, di satu titik di depan sana, di kemudian hari, kmu bakal menghargai semua proses yg terjadi hari ini. Setengah masalah sdh teratasi karena kmunya sudah nemu hole kehidupanmu hari ini, tinggal tekan tombol enter, insya allah bisa jalan. Tidak perlu memusingkan hasilnya, nikmati sja. Qt tidak pernh benar2 tau ujung suatu jalan tanpa memulai berjalan dari pangkalnya.
#numpangnyinyir