Selasa, 3 Syawal 1438 H // 27 Juni 2017
08.56 WIB
Alhamdulillah alladzi bini’matihi
tatimmushalihaat, pernikahan yang dulu baru sebatas wacana, kini telah berada
di depan mata dan akan segara menjadi nyata! Allahuakbar!
Demi Allah, ini bukan
perkara kecil. Tapi sebisa mungkin saya tak menunjukan wajah takut atau segala
bentuk raut muka perasaan negatif. Saya memilih banyak diam. Fokus untuk
meluruskan niat dan belajar serta memahami beberapa sunnah nabi shallallallahu
alaihi wa sallam selepas pernikahan.
Banyak orang, terutama mayoritas keluarga
saya, bertanya tentang bagaimana proses yang saya lakukan. 2 (dua) hal yang
menjadi inti pertanyaan mereka adalah sudah berapa lama saya mengenal dia dan
kenapa harus terburu-buru dalam menentukan tanggal pernikahan.
Kedua hal itu
saling berkaitan satu sama lainnya karena mereka heran dengan keputusan yang
saya ambil. Mereka beranggapan bahwa saya terlampau cepat (tergesa-gesa) dalam
mengambil keputusan. Mereka berada di atas kekhawatiran bahwa saya tidak atau
belum berpikir matang dalam memilih pasangan hidup.
Kekhawatiran mayoritas saudara saya sungguh
dapat saya pahami. Karena saya memang tidak memiliki latar belakang pendidikan
agama yang kuat. Saya bukan lulusan pesantren. Saya pun tidak aktif di
organisasi Islam manapun. Begitu juga dengan keadaan mayoritas saudara saya,
keadaan agama kami tidak jauh berbeda. Jadi, ketika kini saya mulai berusaha
untuk hidup dengan sunnah nabi shallallahu alaihi wa sallam, menerapkannya di
seluruh segi kehidupan. Termasuk dalam hal ini menjadikan tolak ukur dalam
memutuskan urusan pernikahan dengan nasihat-nasihat para ulama, hal itu jelas
menjadi sangat asing di telinga mereka. Karena mayoritas saudara saya belum
berusaha menerapkan sunnah di luar ritual ibadah.
Maka sangat wajar mereka terkejut ketika saya
jelaskan bahwa saya belum pernah “jalan-jalan” atau menghabiskan waktu berdua
dengan dia.
Sangat wajar mereka terkejut ketika saya katakan bahwa saya
mengenal dia kurang lebih hanya 3 (tiga) bulan dan hanya pernah bertemu
langsung dengan dia 2 (dua) kali.
Sangat wajar mereka terkejut ketika saya
memutuskan menikah tidak lama berselang setalah hari raya idul fitri.
Dan
sangat wajar mereka terkejut ketika mengetahui bahwa konsep resepsi yang akan
mereka hadiri akan dipisah antara tamu lelaki dan wanita.
Alhamdulillah, saya telah terbiasa dengan
reaksi-reaksi seperti itu karena ini bukan pertama kali mayoritas saudara saya
menunjukan keanehan atau keterkejutan terhadap keputusan yang saya ambil
sebagai konsekuensi saya untuk senantiasa berusaha hidup dengan sunnah nabi
shallallahu alaihi wa sallam.
Saya hanya berusaha meyakinkan mereka bahwa apa
yang saya yakini dan berusaha saya lakukan saat ini bukan sesuatu hal yang “sesat”
tapi merupakan sesuatu hal yang memiliki landasan ilmu yang jelas dan dapat
dipertanggungjawabkan. Semua sumber rujukan beragama yang saya jadikan hujjah bisa
untuk mereka baca dan kritisi secara gamblang, tidak ada yang ditutupi dan
sangat terbuka ruang untuk saling berdiskusi, saling memberikan masukan.
Insyaallah ta’ala saya telah yakin memilih
dia sebagai pasangan hidup. Ya, saya belum mengetahui detail kehidupannya. Saya
belum mengetahui bagaimana watak/karakternya secara rinci. Tapi itu bukan yang
utama.
Ketika saya telah memilih untuk berusaha hidup dengan sunnah nabi
shallallahu alaihi wa sallam maka hal-hal itu bukan menjadi prioritas bagi
saya. Apa yang menjadi prioritas bagi saya adalah tentang visi dan misi
kehidupannya. Alhamdulillah, saya dan dia memiliki visi dan misi yang sama
dalam memandang kehidupan, terutama kehidupan berumah tangga kedepannya.
Kami
berdua siap taat dan patuh pada firman Allah azza wa jalla dan sabda nabi-Nya
shallallahu alaihi wa sallam sesuai dengan pemahaman salafus shalih. Maka itu
yang utama.
Akan tetapi saya pun tak bisa memungkiri ada
perasaan takut dan kekhawatiran yang masih tersisa dalam hati. Proses ta’aruf
antara dia dan saya tak berjalan mulus begitu saja.
Ada perbedaan yang sangat mencolok. Dan
itu berkenaan dengan prinsip. Sehingga sempat berdiskusi alot. Pada akhirnya
dia mau untuk mengalah, melepaskan apa yang telah dia perjuangkan selama lebih
kurang 5 (lima) tahun. Fakta bahwa dia telah lama berjuang di dalamnya, membuat
saya takut dan khawatir bahwa dia tidak sepenuhnya benar-benar melepaskan semua
itu. Saya takut dan khawatir ini akan menjadi polemik ketika nanti telah
berumah tangga.
Tapi saya pun harus adil, saya harus ber-khusnudzan terhadap apa
yang telah dia putuskan. Jadi, bissmillah, biidznillah.
Akhirnya, semoga Allah ta’ala memudahkan
segala niat baik hamba-hamba-Nya dan semoga Allah ta’ala memberikan keberkahan
pada pernikahan yang insyaalllah akan segera saya laksanakan. Aamiin.
Peace and Cheers!
Assalamualaikum. Alhamdulillah. Lama gak buka blog ternyata sudah ada kabar bahagia. Selamat ya diks. semoga sakinah mawaddah warahmah. kehidupan pernikahan insyaAllah bisa membentuk kamu dan istri menjadi lebih baik lagi.
BalasHapuswaalaikum salam warahmatullahi wabarakatu. siap kak, terima ksh bnyk utk doanya ya kak.
Hapus