RABU,
26 RABIUL AKHIR 1440 H // 2 JANUARI 2019
20.55
WIB
Bissmillah
wal hamdulillah wa shollatu wa sallam ala rasulillah.
“Hendaklah
engkau tahu bahwa sesuatu yang ditakdirkan akan menimpamu, tidak mungkin luput
darimu. Dan segala sesuatu yang ditakdirkan luput darimu, pasti tidak akan
menimpamu.”
HR.
Ahmad 5/185.
Syaikh
Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini qowiy (kuat)
Proses
dan hasil adalah dua hal yang selalu menjadi perbincangan hangat dalam diri
setiap manusia. Sebagian orang sangat percaya bahwa hasil yang baik hanya akan
didapatkan dari sebuah proses yang maksimal tapi sebagian yang lainnya mampu
mendapatkan hasil yang sangat baik hanya dengan melakukan proses yang minimal.
Saya
pribadi ketika dulu belum meniti dan belajar beragama di jalan sunnah sesuai
dengan pemahaman salafus shalih, terlebih ketika masih berada di bangku kuliah,
seringkali terjebak dalam emosi akibat hasil yang didapat tidak sesuai dengan
apa yang telah saya usahakan.
Beberapa
tulisan yang secara gamblang mencerminkan perasaan saya waktu itu adalah :
2.
Awake
Alhamdulillah,
berkat taufik dan hidayah yang telah Allah ta’ala berikan, saya mulai merubah
pola pikir dalam menyikapi proses dan hasil dalam kehidupan ini.
Secara umum Islam
hanya mewajibkan manusia untuk berusaha semaksimal mungkin dan selanjutnya
menyerahkan apapun hasil yang akan di dapatkan kepada Allah, rabbul alamin.
Hal
itu sesuai dengan apa yang disebutkan oleh penyair, “Seseorang seharusnya
berusaha sekuat tenaganya mendapatkan kebaikan. Tetapi, ia tidak akan bisa
menetapkan keberhasilannya”. (Ketetapan Allah adalah yang Terbaik)
“Kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah,
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal (kepada-Nya)”
(QS Ali ‘Imraan:159)
Imam
Ibnu Rajab al-Hambali di dalam Kitab Jaami’ul ‘uluumi wal hikam (2/497) berkata,
“Tawakkal yang hakiki adalah penyandaran hati yang sebenarnya kepada Allah
Ta’ala dalam meraih berbagai kemaslahatan (kebaikan) dan menghindari semua
bahaya, dalam semua urusan dunia maupun akhirat, menyerahkan semua urusan
kepada-Nya dan meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa tidak ada yang dapat
memberi, menghalangi, mendatangkan bahaya serta memberikan manfaat kecuali
Allah (semata)”. (Antara Tawakkal dan Usaha)
Berdasarkan
ayat dan penjelasan ulama di atas, maka Islam mengajarkan bahwa hanya Allah
ta’ala yang menentukan hasil dari segala proses yang kita lakukan. Manusia
hanya diberi beban untuk melakukan usaha yang maksimal dengan menempuh segala
sebab yang tidak menyelisihi syariat.
Adapun ketika nanti hasil yang diperoleh
tidak sesuai harapan dan tidak sesuai dengan proses yang telah dilakukan, maka
sungguh itu adalah ketetapan yang terbaik dari Allah ta’ala.
“Boleh
jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula)
kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang
kamu tidak mengetahui.”
(QS.
Al-Baqarah: 216).
“Mungkin
kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang
banyak.”
(QS.
An-Nisa’: 19)
Ayat
ini merupakan kaidah yang agung, kaidah yang memiliki hubungan erat dengan
salah satu prinsip keimanan, yaitu iman kepada qadha dan qadar. Musibah-musibah
yang menimpa manusia semuanya telah dicatat oleh Allah lima puluh ribu tahun
sebelum Dia menciptakan langit dan bumi. Meletakkan ayat di atas sebagai pedoman
hidup akan membuat hati ini tenang, nyaman dan jauh dari keresahan. (KetetapanAllah adalah yang Terbaik)
PROSES
YANG BAIK
Islam
sendiri sangat fokus pada proses yang baik dan di waktu yang bersamaan Islam
pun tetap memperhitungkan hasil akhir yang diperoleh oleh seorang manusia. Jadi
proses dan hasil tetap diperhatikan walaupun penekanan utama tetap pada proses.
Sahl
bin Sa’ad As-Sa’idi berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
melihat ada yang membunuh orang-orang musyrik dan ia merupakan salah seorang
prajurit muslimin yang gagah berani. Namun anehnya beliau malah berujar, “Siapa
yang ingin melihat seorang penduduk neraka, silakan lihat orang ini.”
Kontan
seseorang menguntitnya, dan terus ia kuntit hingga prajurit tadi terluka dan ia
sendiri ingin segera mati (tak kuat menahan sakit). Lalu serta merta, ia ambil
ujung pedangnya dan ia letakkan di dadanya, lantas ia hujamkan hingga menembus
di antara kedua lengannya.
Selanjutnya
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh ada seorang hamba yang
menurut pandangan orang banyak mengamalkan amalan penghuni surga, namun
berakhir menjadi penghuni neraka. Sebaliknya ada seorang hamba yang menurut
pandangan orang melakukan amalan-amalan penduduk neraka, namun berakhir dengan
menjadi penghuni surga. Sungguh amalan itu dilihat dari akhirnya.”
(HR.
Bukhari, no. 6493)
Dalam
riwayat lain disebutkan,
“Sesungguhnya
setiap amalan tergantung pada akhirnya.” (HR. Bukhari, no. 6607)
Dijelaskan
oleh Ibnu Rajab Al-Hambali dalam Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam (1:173), mengenai
hadits Sahl bin Sa’ad di atas pada kalimat “ia beramal yang dilihat oleh
orang”, maksudnya adalah batinnya berbeda dengan lahiriyahnya. Maksudnya,
seseorang bisa mendapatkan akhir hidup yang jelek karena masalah batinnya yang
di mana perkara batin tidaklah nampak oleh orang-orang. Inilah sebab yang
mengakibatkan seseorang mendapatkan suul khatimah.
Bisa
jadi pula seseorang beramal seperti amalan penduduk neraka. Namun dalam
batinnya, masih ada benih kebaikan. Ternyata benih kebaikan tersebut tumbuh
pesat di akhir hidupnya, hingga ia meraih husnul khatimah.
Kata
Ibnu Rajab, dari sinilah para ulama khawatir dengan keadan suul khatimah, atau
keadaan akhir hidup yang jelek. (Amal tergantung Akhirnya)
Oleh karena itu pusat perhatian dan fokus utama kita
adalah memperbagus proses yang akan kita lakukan. Kita jangan menjadi manusia
yang hanya berorientasi pada hasil tapi menomor duakan proses. Sehingga pada
akhirnya kita akan menempuh segala sebab tanpa peduli aturan syariat.
Pola pikir ideal yang harusnya tertanam dan
diimplementasikan oleh setiap manusia, terkhusus umat Islam adalah menetapkan
cita-cita atau harapan, kemudian menempuh segala sebab dengan berusaha maksimal
dan profesional dengan diiringi do’a kepada Allah ta’ala untuk mewujudkan
cita-cita yang telah kita tentukan. Dan apa yang akan terjadi selanjutnya
jangan lantas terlalu kita pikirkan atau khawatirkan karena itu bukan lagi
ranah kita sebagai seorang manusia.
Walaupun terkadang atau bahkan seringnya di dalam
urusan duniawi, proses yang baik tidak akan serta merta menghasilkan hasil yang
juga baik, tapi sungguh bila kita mampu ikhlas di dalam melaksanakan setiap
prosesnya (ikhlas bukan dalam makna tidak pamrih, tapi ikhlas dalam makna
mengharap balasan hanya dari Allah ta’ala) maka hal itu akan memberikan manfaat
bagi kehidupan akhirat.
Hasil akhir adalah rezeki yang telah Allah ta’ala
tetapkan kepada setiap makhluknya, baik yang beriman atau yang kafir sekalipun.
Allah ta’ala telah secara tegas mengatakan dan menjamin berkenaan dengan rezeki
masing-masing makhluk yang ada di muka bumi.
Sebaliknya, Allah ta’ala tidak memberikan
jaminan bahwa setiap manusia akan mampu
melaksanakan proses (amal) dengan baik bahkan Allah ta’ala memerintahkan setiap
manusia agar bersemangat di dalam melakukan amal kebaikan.
Para ulama sebagai pewaris para nabi dan hamba Allah
ta’ala yang paling takut kepada-Nya sangat memahami akan hal ini sehingga
nasihat indah pun keluar dari salah satu ulama Islam berkenaan dengan rezeki
atau hasil akhir yang akan di dapatkan oleh manusia.
Ibnul
Qayyim di dalam kitab Al Fawaid, hal. 94, terbitan Maktabah Ar Rusyd, tahqiq Salim
bin ‘Ied Al Hilali, berkata,
“Fokuskanlah
pikiranmu untuk memikirkan apapun yang diperintahkan Allah kepadamu. Jangan
menyibukkannya dengan rezeki yang sudah dijamin untukmu. Karena rezeki dan ajal
adalah dua hal yang sudah dijamin, selama masih ada sisa ajal, rezeki pasti
datang. Jika Allah, dengan hikmah-Nya, berkehendak menutup salah satu jalan
rezekimu, Dia pasti, dengan rahmat-Nya, membukan jalan lain yang lebih
bermanfaat bagimu.
Renungkanlah
keadaan janin, makanan datang kepadanya, berupa darah dari satu jalan, yaitu
pusar.
Lalu
ketika dia keluar dari perut ibunya dan terputus jalan rezeki itu, Allah
membuka untuknya dua jalan rezeki yang lain (yakni dua puting susu ibunya), dan
Allah mengalirkan untuknya di dua jalan itu, rezeki yang lebih baik dan lebih
lezat dari rezeki yang pertama, itulah rezeki susu murni yang lezat.
Lalu
ketika masa menyusui habis, dan terputus dua jalan rezeki itu dengan sapihan,
Allah membuka empat jalan rezeki lain yang lebih sempurna dari yang sebelumnya,
yaitu dua makanan dan dua minuman. Dua makanan, dari hewan dan tumbuhan. Dan
dua minuman, dari air dan susu serta segala manfaat dan kelezatan yang
ditambahkan kepadanya.
Lalu
ketika dia meninggal, terputuslah empat jalan rezeki ini, Namun Allah Ta’ala
membuka baginya, jika dia hamba yang beruntung, delapan jalan rezeki. Itulah
pintu-pintu surga yang berjumlah delapan, dia boleh masuk surga dari mana saja
yang dia kehendaki.
Dan
begitulah Allah Ta’ala, Dia tidak menghalangi hamba-Nya untuk mendapatkan
sesuatu, kecuali Dia berikan sesuatu yang lebih afdhol dan lebih bermanfaat baginya.
Dan itu tidak diberikan kepada selain orang mukmin, karenanya Dia
menghalanginya dari bagian yang rendahan dan murah, dan Dia tidak rela hal
tersebut untuknya, untuk memberinya bagian yang mulia dan berharga.” (Tak PerluKhawatir akan Rezeki)
Subhanallah,
betapa indah rangkaian nasihat dari seseorang yang telah memahami dengan utuh
hikmah di balik setiap ketetapan Allah ta’ala. Sungguh konsep kehidupan yang
ditawarkan Islam adalah sebaik-baik konsep yang bisa kita terapkan, terlebih di
akhir zaman dewasa ini. Ketika berbagai macam fitnah bertubi-tubi datang
menghantam umat manusia.
Islam
yang mengajarkan untuk tidak fokus pada hasil akan mengalihkan setiap orang
dari emosi negatif yang kemungkinan besar muncul akibat dari hasil akhir yang
tidak sesuai dengan cita-cita awal.
Islam mengajarkan kita untuk senantiasa
berpikir dengan kacamata yang luas dalam menyikapi setiap keadaan, terutama
keadaan yang secara lahiriah tidak kita senangi. Selalu ada hikmah di balik itu
dan selalu ada pahala di dalamnya.
Dari
Shuhaib, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sungguh
menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruhnya urusannya itu baik. Ini tidaklah
didapati kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia
bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu
pun baik baginya.”
(HR. Muslim, no. 2999)
Imam
Al-Munawi berkata dalam Faidhul Qadir, “Keadaan seorang mukmin semuanya itu
baik. Hanya didapati hal ini pada seorang mukmin. Seperti itu tidak ditemukan
pada orang kafir maupun munafik. Keajaibannya adalah ketika ia diberi
kesenangan berupa sehat, keselamatan, harta dan kedudukan, maka ia bersyukur
pada Allah atas karunia tersebut. Ia akan dicatat termasuk orang yang
bersyukur. Ketika ia ditimpa musibah, ia bersabar. Ia akan dicatat termasuk
orang yang bersabar.
Oleh
karenanya, selama seseorang itu dibebani syari’at, maka jalan kebaikan selalu
terbuka untuknya. Sehingga seorang hamba yang beriman itu berada di antara
mendapatkan nikmat yang ia diperintahkan untuk mensyukurinya dan musibah yang
ia diperintahkan untuk bersabar.” (Keadaan seorang Mukmin)
Maka
bersemangatlah dalam memperindah proses sesuai dengan apa yang syariat
perintahkan dan serahkan segala hasilnya kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Karena Allah ta’ala hanya akan memberikan ganjaran pahala dari proses atau usaha
yang kita lakukan, adapun hasil akhir (rezeki) tidak akan serta merta
memberikan manfaat (pahala) dari Allah ta’ala.
Bila memang hasil akhir (rezeki)
adalah ukuran besar kecilnya pahala maka tidak akan mungkin masuk surga orang-orang
miskin dan surga hanya akan diisi oleh para pejabat semata, tapi demi Allah
tidak!
Wallahu’alam.
Komentar
Posting Komentar