Langsung ke konten utama

Penataan Pegawai non-ASN di Instansi Pemerintah

Kamis, 16 Januari 2025

11.47 WIB


Bissmillah was shallatu was sallam ala rasulillah


Di dalam Pasal 5 UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), disebutkan bahwa Pegawai ASN terdiri atas PNS dan PPPK. Sehingga ketika kemudian pada Pasal 66 UU Nomor 20 Tahun 2023 ditegaskan bahwa Pegawai non-ASN atau nama lainnya wajib diselesaikan penataannya paling lambat Desember 2024 dan sejak UU Nomor 20 Tahun 2023 mulai berlaku, yaitu pada tanggal 31 Oktober 2023, Instansi Pemerintah dilarang mengangkat pegawai non-ASN atau nama lainnya selain Pegawai ASN, dapat dipahami bahwa Pemerintah, dalam hal ini adalah Kemenpan RB, akan membuat sebuah grand design tentang penataan jabatan ASN yang diisi oleh pegawai di luar Pegawai ASN (honorer, PPNPN, tenaga lepas, atau berbagai istilah lainnya).


Pada pasal 66 UU Nomor 20 Tahun 2023 tidak disebutkan secara spesifik bentuk atau landasan hukum dari proses penataan dimaksud. Sehingga Kemenpan RB sebagai Instansi yang mendapat amanah khusus dalam perumusan dan penetapan kebijakan strategis serta koordinasi, sinkronisasi dan pengendalian kebijakan Manajemen ASN, memiliki ruang gerak yang cukup bebas untuk bisa merumuskan bentuk dari penataan dimaksud. Semangat utama yang dibawa oleh Pasal 66 UU nomor 20 Tahun 2023 adalah semua orang yang bekerja di dalam instansi Pemerintah dan menduduki jabatan ASN hanya boleh diisi oleh Pegawai ASN, yaitu PNS dan/atau PPPK.


Jabatan ASN, sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU Nomor 20 Tahun 2023, terdiri atas Jabatan Manajerial dan Jabatan Nonmanajerial. Jabatan Manajerial adalah JPT Utama, JPT Madya, JPT Pratama, Jabatan Administrator, dan Jabatan Pengawas. Adapun Jabatan Nonmanajerial terdiri dari Jabatan Fungsional dan Jabatan Pelaksana.


Berdasarkan ketentuan tersebut, maka kondisi eksisting pegawai non-ASN yang ada di Instansi Pemerintah saat ini mayoritasnya berada di jabatan nonmanajerial, yaitu jabatan pelaksana. Sehingga fokus Kemenpan RB dalam melaksanakan penataan pegawai non-ASN "hanya tinggal" menyiapkan grand design tata kelola jabatan pelaksana di Instansi Pemerintah. Kemenpan RB juga mempunyai modal berupa data Pegawai yang Terdaftar dalam Pangkalan data (database) tenaga non-ASN pada BKN. 


Selanjutnya, Kemenpan RB dihadapkan pada pilihan, penataan melalui mekanisme pengangkatan atau penataan melalui mekanisme seleksi. Penataan melalui mekanisme pengangkatan berarti seluruh pegawai non-ASN langsung diangkat menjadi Pegawai ASN. Sedangkan penataan melalui mekanisme seleksi, maka konsekuensinya akan ada pegawai non-ASN yang tersisih.


Itu konsep yang terlintas dalam benak kami ketika dihadapkan oleh sejumlah fakta seperti yang telah kami kemukakan di atas.


Pada tanggal 19 Agustus 2024, Kemenpan RB mengeluarkan Kepmenpan RB Nomor 347 Tahun 2024 tentang Mekanisme Seleksi PPPK Tahun Anggaran 2024. Berdasarkan Kepmenpan RB dimaksud, kami melihat bahwa Kemenpan RB memilih cara penataan melalui mekanisme seleksi, sehingga pada akhirnya akan ada pegawai non-ASN yang tersisih. 


Akan tetapi, dinamika yang terjadi selanjutnya justru membuat kami bingung, berdasarkan Surat Menpan RB Nomor: B/239/M.SM.01.00/2025 tanggal 14 Januari 2025 Hal Penjelasan Pengadaan PPPK, dan sehari sebelumnya pada tanggal 13 Januari 2024 Kemenpan RB terlebih dahulu menerbitkan Kepmenpan RB Nomor 15 Tahun 2025 tentang Kriteria Pelamar Tambahan pada Seleksi PPPK bagi Pegawai Non-ASN yang Terdaftar dalam Pangkalan Data BKN dan Mekanisme Pengolahan Nilai Hasil Pengadaan PPPK Tahun Anggaran 2024, dijelaskan bahwa sepertinya Kemenpan RB ingin mengangkat semua pegawai non-ASN yang telah terdaftar dalam database BKN menjadi PPPK.


Bahkan Kemenpan RB mengeluarkan istilah baru yaitu PPPK Paruh Waktu melalui Kepmenpan RB Nomor 16 Tahun 2025 tanggal 13 Januari 2025 tentang PPPK Paruh Waktu. Sebelumnya, kami harus secara adil mengakui dan mengapresiasi gerak cepat Kemenpan RB dalam merespon setiap dinamika yang terjadi. Akan tetapi di sisi lain, kami juga harus mengkritisi bahwa penataan pegawai non-ASN ini tidak dilakukan berdasarkan sebuah grand design bersifat jangka panjang. Kemenpan RB hanya bersifat reaktif sehingga solusi yang ditawarkan bersifat jangka pendek dan berpotensi justru menimbulkan masalah baru di depannya.


Idealnya, Kemenpan RB harus terlebih dahulu menyepakati bahwa penataan pegawai non-ASN ini akan dilakukan dengan skema seperti apa? apakah skema pengangkatan, seleksi, atau menggabungkan antara keduanya. Setelahnya, barulah dirumuskan formulasi teknis kebijakan.


Berdasarkan runtutan kebijakan yang saat ini telah dikeluarkan oleh Kemenpan RB, maka kami melihat bahwa awalnya semangat Kemenpan RB adalah ingin melakukan penataan melalui skema seleksi sehingga akan ada yang tersisih. Itu dibuktikan dengan terlebih dahulu ditetapkan jumlah formasi di masing-masing Instansi, dan jumlah formasi tersebut ternyata memang tidak sesuai dengan jumlah eksisting pegawai non-ASN yang ada di masing-masing Instansi, kemudian pegawai-ASN tersebut juga diharuskan untuk mengikuti serangkaian tes, sehingga jelas bahwa Kemenpan RB ingin melaksanakan penataan dengan seleksi sehingga akan ada pegawai non-ASN yang tidak akan diangkat menjadi PPPK.


Bila memang ingin tegas dan konsisten, maka Kemenpan RB harus gencar melakukan sosialisasi terhadap kebijakan tersebut. Dan juga menyiapkan back-up plan atau solusi kepada pegawai non-ASN yang nantinya tidak bisa diangkat menjadi PPPK. Tapi faktanya, hal tersebut luput dari perhatian Kemenpan RB sehingga ketika kini telah dilaksanakan seleksi Tahap I PPPK, Kemenpan RB kemudian mengeluarkan beberapa kebijakan lanjutan yang isinya seperti ingin merevisi kebijakan sebelumnya.


Karena kini semua pegawai non-ASN "dipaksa" untuk diangkat menjadi PPPK, dan apabila ternyata tidak ada formasinya, maka mereka diangkat terlebih dahulu menjadi PPPK Paruh Waktu.


Inilah yang terjadi ketika kita tidak menyiapkan kebijakan secara utuh dan tidak melaksanakan komunikasi publik dengan baik dan intens.


Hemat kami, seharusnya memang sedari awal, Kemenpan RB memilih melakukan kompromi antara penataan dengan mekanisme seleksi dan pengangkatan. Semangat yang dimunculkan di dalam Pasal 66 UU Nomor 20 Tahun 2023 adalah semangat menyelesaikan masalah sehingga kebijakan yang diambil memang harus populis, kompromistis, dan afirmatif.


Pun Kemenpan RB sudah mempunyai modal berupa database BKN. Berangkat dari database tersebut, maka Kemenpan RB bisa untuk kemudian melakukan klasifikasi masa kerja pegawai non-ASN, misalnya bagi meraka dengan masa kerja 15 s.d. 20 tahun dipertimbangkan untuk diangkat langsung menjadi PNS, kemudian mereka dengan masa kerja 10 s.d. 15 tahun diangkat langsung menjadi PPPK, dan bagi yang memiliki masa kerja di bawah 10 tahun maka harus mengikuti seleksi untuk diangkat menjadi PPPK.


Jangan dulu tetapkan formasi di awal, tapi formasi mengikuti sesuai dengan jumlah pegawai non-ASN yang ada di dalam database BKN. Bagi mereka yang mengikuti seleksi, maka ditetapkan batas passing grade, setelahnya berdasarkan jumlah pegawai yang melewati passing grade tersebut maka formasi langsung otomatis menyesuaikan. Dan bagi mereka yang tidak berhasil lulus seleksi, bisa untuk tetap diangkat menjadi pegawai kontrak dengan maksimal kontrak 2 tahun dan mendapatkan gaji minimal sama dengan nominal gaji yang didapatkan saat ini.


Di dalam waktu kontrak tersebut, mereka diberikan keleluasaan dalam hal jam kerja, tujuannya adalah agar mereka menyiapkan diri untuk bisa memilih karir selanjutnya. Kemudian kebijakan ini disosialisakan dan dikomunikasan secara massif sehingga tidak ada lagi resistensi ketika nanti diimplementasi.


Tahapan-tahapan seperti dimaksud apabila dilaksanakan maka akan terlihat bahwa Pemerintah serius dan memiliki rencana matang dalam menyelesaikan penataan pegawai non-ASN di Instansi Pemerintah.


Sebelum kami menutup rangkaian tulisan ini, izinkan kami juga menuliskan rasa heran kami terhadap kebijakan PPPK Paruh Waktu yang kemudian muncul hanya dengan Kepmenpan RB. Hal ini menjadi bukti paling konkrit bahwa kebijakan yang diambil hanya bersifat reaktif tanpa adanya grand design. Kenapa? karena istilah PPPK Paruh Waktu tidak muncul di dalam UU Nomor 20 Tahun 2023, bila saja istilah tersbut muncul minimalnya dalam aturan berbentuk Peraturan Pemerintah, maka mungkin hal itu masih bisa dipahami sebagai sebuah kebijakan lanjutan dari pengaturan PPPK.


Tapi apapun itu, sekali lagi kami sangat mengapresiasi dalam kesungguhan dan kecepatan respon yang dilakukan oleh Kemenpan RB dalam menghadapi segala bentuk dinamika dalam penataan pegawai non-ASN di Instansi Pemerintah, semoga penataan ini bisa selesai dengan baik dan tidak menjadi tabungan masalah di kemudian hari.


Wallahu'allam.

Selesai ditulis pada hari Jumat, 17 Januari 2025 pukul 09.17 WIB.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibadalana uliy ba’sin syadid

Selasa, 22 Juli 2014 22.00 WIB Saya akan menampilkan atau mem- posting tulisan dari Bapak Usep Romli , Pengasuh Pesantren Budaya "Raksa Sarakan" Garut. Tulisan ini merupakan tulisan di kolom Opini , harian Republika yang diterbitkan pada hari Selasa, 22 Juli 2014. Beliau menulis tentang (satu-satunya) cara untuk bisa mengalahkan zionis Israel. sehingga tulisannya pun diberi judul, Mengalahkan Zionis Israel . Berikut ini tulisannya saya tampilkan penuh tanpa ada sedikit pun saya kurangi atau tambahkan. "Mengalahkan Zionis Israel" Hari-hari ini, bangsa Palestina di Jalur Gaza sedang dibombardir pasukan Zionis-Israel. Nyaris tak ada perlawanan sama sekali, karena Palestina tak punya tentara. Hanya ada beberapa kelompok sipil bersenjata yang berusaha bertahan seadanya. Negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab tak berdaya. Begitu pula negara-negara berpenduduk mayoritas Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI), tak da...

D-IV atau S1 ?

Suatu malam pada hari Sabtu , tanggal 14, bulan Januari , tahun 2012, berlatar tempatkan teras masjid Al-Ilmi IPDN Kampus Kalimantan Barat, terjadi satu percakapan ringan sangat sederhana tapi kemudian mampu untuk membuat otak ini menjadi rumit karena terus memikirkan substansi dari apa yang diperbincangkan itu, terlalu rumit sehingga saya pikir perlu untuk dituangkan dalam sebuah narasi penuh kata, tidak berpetuah dan tidak juga indah. Tapi cukup-lah untuk sekedar berbagi ide dan informasi yang pastinya tidak sesat. Dan ini-lah percakapan singkat itu : HP ( inisial teman saya ) : “Dim, kamu lebih milih mana, S.IP atau S.STP ?” Saya : “mmm….pengennya sih S.IP” HP : “Kenapa, Dim? Kata orang kan kalo S.STP tuh lebih baik buat karir dan kata orang juga S.IP tuh lebih condong buat jadi dosen.” Saya : “Wah gak tau sih kalo masalah yang kayak gitunya, tapi saya ingin S.IP karena yang saya tau S.IP itu lebih mudah untuk nantinya kita mau nerusin ke S2, nah kalo S.STP itu gak semua unive...

Hercules dan Moral

The Legend of Hercules Minggu, 9 Februari 2014 10.10 WIB Cukup lama saya tidak menonton sebuah film di bisokop. Untuk sebagian orang, hal ini merupakan sebuah pemborosan karena kondisi yang ada di Indonesia memungkinkan kita untuk bisa menonton sebuah film dengan harga yang jauh lebih murah.  Di Indonesia kita masih bisa untuk mendapatkan sebuah DVD dengan harga yang sangat murah, sekitar 6 (enam) ribu rupiah ( bajakan tentunya tapi dengan kualitas gambar yang cukup baik ), bandingkan dengan harga yang harus dikeluarkan apabila kita menonton sebuah film di bioskop, sekitar 25 ribu – 50 ribu rupiah tergantung bioskop yang kita pilih. Saya pun menyadari hal itu tapi saya tentu juga memiliki alasan. Terlepas dari alasan idealis yang sebenarnya juga masih saya miliki, alasan utama yang ingin saya kemukakan disini adalah bahwa menonton sebuah film di bioskop bagi saya adalah sebuah penyegaran, sebuah hobi untuk melepas penat dan mendapatkan lagi beberapa semangat. Ya, hobi. ...