Senin, 17 Februari 2025
10.39 WIB
Bissmillah was shallatu was sallam ala rasulillah
Berdasarkan KBBI (https://kbbi.kemdikbud.go.id/), efisiensi memiliki dua makna, yang pertama ketepatan cara (usaha, kerja) dalam menjalankan sesuatu (dengan tidak membuang waktu, tenaga, biaya) dan makna yang kedua adalah kemampuan menjalankan tugas dengan baik dan tepat (dengan tidak membuang waktu, tenaga, biaya).
Definisi di atas memberikan pemahaman bahwa berbicara tentang efisiensi berarti kita sedang berbicara tentang cara (prosedur yang harus ditempuh) dan kemampuan (skill). Idealnya dua makna tersebut mampu kita laksanakan.
Kita siapkan prosedur yang baik dan juga SDM yang handal, sehingga seluruh tugas bisa dijalankan dengan baik dan tepat.
Akhir-akhir ini, di media sosial dan khususnya di kalangan internal birokrasi, tema efisiensi menjadi sebuah perbincangan hangat. Diawali dengan munculnya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun 2025. Kemudian ditindaklanjuti secara teknis operasional oleh Surat Menteri Keuangan Nomor: S-37/MK.02/2025 tanggal 24 Januari 2025 Hal Efisiensi Belanja Kementerian/Lembaga dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2025.
Melalui dua dasar hukum tadi, maka birokrasi di Indonesia, khususnya di Pemerintah Pusat, mulai melakukan penataan ulang terhadap masing-masing anggaran yang dimilikinya. Karena target efisiensi anggaran yang ingin dicapai adalah sebesar Rp 306,6 triliun, dengan rincian efisiensi dari K/L Rp 256,1 triliun, dan efisiensi anggaran transfer ke daerah sebesar Rp 50,5 triliun.
Di dalam Suratnya, Menteri Keuangan menyebutkan secara detail bahwa terdapat 16 item yang harus dilakukan efisiensi, yaitu:
1) ATK (90%),
2) Kegiatan Seremonial (56,9%),
3) Rapat, seminar dan sejenisnya (45%),
4) Kajian dan Analisis (51,1%),
5) Diklat dan Bimtek (29%),
6) Honor Output Kegiatan dan Jasa Profesi (40%),
7) Percetakan dan Souvenir (75,9%),
8) Sewa Gedung, Kendaraan, Peralatan (73,3%),
9) Lisensi Aplikasi (21,6%),
10) Jasa Konsultan (45,7%),
11) Bantuan Pemerintah (16,7%),
12) Pemeliharaan dan Perawatan (10,2%),
13) Perjalanan Dinas (53,9%),
14) Peralatan dan Mesin (28%),
15) Infrastruktur (34,3%), dan
16) Belanja Lainnya (59,1%).
Di dalam artikel berjudul Efisiensi, Momentum Menuju "Smart APBN", yang dimuat pada kolom Opini harian Kompas (17/02/2025), Tri Hidayatno (Mahasiswa Program Doktor Politeknik STIA LAN Jakarta), menyebutkan bahwa tujuan utama dilakukannya efisiensi adalah untuk memastikan bahwa setiap rupiah anggaran digunakan secara optimal, tepat sasaran, dan minim kebocoran.
Oleh karena itu, upaya efisiensi yang dilakukan oleh Presiden Prabowo, apabila dilihat dari sudut pandang yang lain, sebenarnya adalah sebuah upaya Pemerintah menjaga agar APBN tidak mengalami kebocoran.
Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2024 yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan adanya permasalahan ketidakhematan dan ketidakefektifan anggaran sebesar Rp 1,55 triliun dan laporan dengan nada yang sama juga telah disampaikan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada tahun 2023.
BPKP menyampaikan bahwa belanja daerah di tahun 2023 yang tidak efektif dan efisien mencapai Rp 141,33 triliun, khusus di lima sektor, yakni ketahanan pangan, program peningkatan daya saing pariwisata, pemberdayaan UMKM, penurunan angka tengkes (stunting), dan pengentasan rakyat dari kemiskinan (KOMPAS, 17/02/2025).
Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh Menteri Keuangan, dengan langsung menyebutkan secara detail item dan besaran efisiensi yang harus dilakukan oleh masing-masing K/L sepertinya bukan sekadar sembarang menuliskan angka. Sepertinya, angka-angka tersebut muncul berdasarkan kajian dari potensi kebocoran dari masing-masing item yang ada dalam APBN.
Dan yang harus menjadi perhatian adalah efisiensi ini secara tegas tidak boleh dilakukan pada pos Belanja Pegawai dan Belanja Bantuan Sosial. Sehingga seluruh Pegawai ASN tidak perlu risau karena take home pay yang akan mereka dapatkan akan tetap sama.
Yang dilakukan "pemotongan" hanya dari anggaran kegiatan yang akan mereka lakukan. Maka logikanya, seharusnya Pegawai ASN selaku motor penggerak birokrasi tidak usah khawatir terhadap rencana efisiensi ini.
Karena toh semangat efisiensi adalah memastikan bahwa setiap rupiah anggaran digunakan secara optimal, tepat sasaran, dan minim kebocoran, bukankah itu merupakan tujuan mulia yang harus didukung oleh seluruh pihak?
Dan bukankah dengan kebijakan "pemaksaan" seperti ini, akan muncul ide-ide brilian. Ketika musibah Covid yang menimpa di tahun 2019-2021, banyak bermunculan konsep-konsep kerja baru, semisal work from home.
Di awal rencana efisieni ini sudah mulai muncul ide untuk mematangkan konsep work from anywhere bagi pegawai ASN. Hal itu (work from anywhere) akan sangat membantu menekan biaya operasional kantor (Kompas, 13/02/2025).
Ide-ide semisal itu yang sangat diharapkan bisa muncul ke permukaan. Karena yang terpenting adalah pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah tetap bisa dilaksanakan maksimal dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Akan tetapi beberapa pemberitaan justru mencederai tujuan mulia ini. Di tengah gencarnya upaya Presiden Prabowo untuk melakukan efisiensi, beberapa kegiatan justru hadir di saat yang kurang tepat.
Setidaknya terdapat dua kegiatan yang mendapat sorotan tajam dari masyarakat di tengah upaya efisiensi, yaitu Pelantikan Staf Khusus di Kementerian Pertahanan dan Proses pelantikan Kepala Daerah yang dilanjutkan dengan program Pembekalan.
Mungkin, bila kedua kegiatan tersebut di atas dilaksanakan tidak dalam kondisi efisiensi seperti sekarang, pemberitaannya tidak akan terlalu mengundang kontroversi. Karena kedua hal tadi, merupakan "hajat" yang biasa terjadi di dunia birokrasi. Tapi kini menjadi ironi, karena efisiensi sedang menjadi primadona sana-sini.
Counter argument untuk kedua kegiatan itu pun terlampau banyak sehingga semakin menggerogoti kepercayaan publik akan keseriusan upaya efisiensi di dalam tubuh Pemerintahan Indonesia.
Pada saat-saat seperti ini, publik sangat membutuhkan teladan dari masing-masing pimpinan K/L dan juga seluruh Kepala Daerah yang baru saja terpilih dan akan segera dilantik.
Contoh konkret adalah apa yang saat ini dilakukan oleh Bapak Dedi Mulyadi, selaku Gubernur Jawa Barat terpilih. Melalui akun media sosial, khususunya YouTube, beliau rajin mengunggah rapat yang dilaksanakan bersama pegawai ASN di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Bahkan rapat pembahasan tentang anggaran beliau tampilkan secara terbuka di akun media sosialnya. Publik kemudian memuji langkah-langkah efisiensi yang dilakukan Gubernuh Jawa Barat terpilih, karena dimulai terlebih dahulu dari Anggaran Tata Usaha Pimpinan miliknya nanti.
Tentunya kita semua berprasangka baik kepada beliau. Bahwa apa yang beliau tampilkan di media sosial bukan sekadar gimmick tapi memang nyata beliau implementasikan, bila itu yang terjadi, maka beliau merupakan teladan dalam hal menjalankan efisiensi.
Dimulai dari Anggaran Tata Usaha Pimpinan, sehingga selanjutnya seluruh pejabat yang ada di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Barat akan dengan sendirinya mengikuti apa yang telah beliau lakukan selaku pimpinan tertinggi di Provinsi Jawa Barat.
Wallahu'allam.
Selesai ditulis pada hari Rabu, 19 Februari 2025.
Efisiensi hanyak untuk Rakyat Kecil ... esmelon 2 dan 1 apa legowo ? ku rasa tidak :)
BalasHapusyang di korbankan cuma para staff dan honorer , kaum elit mana mau merasakan
Hapus