Langsung ke konten utama

"Jika Negara Terlalu Banyak Mengurus Kasus"

Rabu, 9 April 2025

09.27 WIB


Bissmillah wa shallatu wa sallam ala rasulillah.


”Memecahkan suatu kasus memang penting. Namun, lebih penting lagi membuat kebijakan publik yang akan mencegah terjadinya seribu kasus.” 

(KOMPAS, 07/03/2025)


Kolom opini pada harian KOMPAS (07/03/2025) dengan judul "Jika Negara Terlalu Banyak Mengurus Kasus", menjadi sebuah tulisan yang mampu merangkum secara ilmiah fenomena politisi yang ada di Indonesia akhir-akhir ini. Tulisan tersebut ditulis oleh Adrianus Meliala, seorang Kriminolog dan Guru Besar UI.


Secara garis besar, tulisan tersebut menjelaskan beberapa hal:


Pertama, fenomena "menyimpulkan sesuatu berdasarkan beberapa kasus"

Penulis (Adrianus Meliala) mengatakan bahwa ketika sebuah kalimat kesimpulan semisal ”Program Makan Bergizi Gratis Kacau Balau”, merupakan sebuah produk akhir dari sebuah kajian akademis, yaitu dilakukan dengan cara pengambilan data yang benar atas data yang juga berjumlah atau berkualitas cukup. Maka kesimpulan di atas bisa diterima. 


Tapi ketika kalimat kesimpulan di atas hanya keluar dari media massa berdasarkan tiga atau empat kasus di sejumlah tempat dalam kurun waktu berdekatan. Maka hal itu hanya layak untuk dijadikan sebagai sebuah topik pemberitaan dan jangan dijadikan sebagai sebuah karya akademik atau dokumen kebijakan publik.


Kedua, fenomena "Budaya politik dewasa ini lebih mendorong politisi melakukan kinerja yang segera menghasilkan efek pada penambahan konstituen"

Konsekuensi dari diterapkannya demokrasi secara langsung, maka setiap aktor politik harus bisa memastikan dirinya dikenal secara luas oleh masyarakat. 


Saat ini, agar bisa dikenal luas oleh masyarakat, menjadi hal yang tidak lagi terlalu sulit untuk dilakukan. Karena sudah masifnya penggunaan media sosial oleh seluruh kalangan masyarakat. Sehingga masing-masing aktor politik hanya tinggal mencari "bahan" untuk dijadikan "content" pada setiap akun media sosial yang dimilikinya.


Masalahnya adalah, mayoritas kita sebagai masyarakat umum, dan mayoritas mereka, sebagai aktor politik, masih jauh dari hal-hal ideal yang diharapkan muncul dalam sebuah negara yang menganut sistem politik demokrasi secara langsung. 


Si aktor politik hanya bernafsu memoles citra sebagai prorakyat dan populis sehingga enggan untuk melakukan hal-hal yang bersifta substantif dan kita pun selaku masyarakat umum, masih malas untuk melihat content yang bersifat edukatif dan penuh dengan argumentasi ilmiah.


Paduan seperti itu akhirnya membuat, mayoritas aktor politik menjadi "sibuk" untuk mengurusi "kasus viral" daripada melakukan pencarian tentang apa yang bisa dipelajari dan apa yang menjadi hal baik dari suatu kasus tersebu dalam rangka upscaling (lessons learnt atau best practice).


Karena apabila kita ingin melakukan upscaling maka dibutuhkan proses formulasi kebijakan yang rumit, biaya besar, dan baru dirasakan manfaatnya dalam jangka panjang. Pun saat nantinya sudah menjadi sebuah kebijakan publik, maka tak ada lagi pihak yang bisa mengklaim sebagai satu-satunya pihak yang berjasa. Dan hal itu, jelas "merugikan" bagi politisi. Kenapa? Karena dia kehilangan "jargon kampanye" dan alat untuk mendongkrak popularitasnya.


Dua fenomena di atas, menjadi sebab utama kenapa kini banyak politisi, baik yang duduk di parlemen ataupun yang menjabat sebagai Menteri, dan Kepala Daerah, berlomba untuk aktif di dunia media sosial dan mengisi setiap akun media sosialnya dengan menjadi seseorang yang bergerak cepat dan tanggap dalam merespon setiap "kasus", utamanya yang telah menjadi "viral". 


Walhamdulillah, hal itu memang bisa menjadi sebab untuk terselesaikannya kasus-kasus atau masalah-masalah yang ada di masyarakat. 

Tapi lebih dari itu, kita tentu berharap para politisi yang kini duduk dan menjabat sebagai Menteri, Kepala Daerah dan/atau yang duduk di parlemen, bisa menyelesaikan permasalahan dari akarnya. 

Menyelesaikan masalah secara makro, sehingga tidak lagi hanya berperan sebagai "pemadam kebakaran", tapi idealnya mereka mampu mengeluarkan kebijakan yang bisa melakukan pencegahan terhadap permasalahan-permasalahan yang akan muncul di kemudian hari.


Semoga Allah mudahkan.

Wallahu'allam


Selesai ditulis pada tanggal 9 April 2025 pukul 10.40 WIB.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibadalana uliy ba’sin syadid

Selasa, 22 Juli 2014 22.00 WIB Saya akan menampilkan atau mem- posting tulisan dari Bapak Usep Romli , Pengasuh Pesantren Budaya "Raksa Sarakan" Garut. Tulisan ini merupakan tulisan di kolom Opini , harian Republika yang diterbitkan pada hari Selasa, 22 Juli 2014. Beliau menulis tentang (satu-satunya) cara untuk bisa mengalahkan zionis Israel. sehingga tulisannya pun diberi judul, Mengalahkan Zionis Israel . Berikut ini tulisannya saya tampilkan penuh tanpa ada sedikit pun saya kurangi atau tambahkan. "Mengalahkan Zionis Israel" Hari-hari ini, bangsa Palestina di Jalur Gaza sedang dibombardir pasukan Zionis-Israel. Nyaris tak ada perlawanan sama sekali, karena Palestina tak punya tentara. Hanya ada beberapa kelompok sipil bersenjata yang berusaha bertahan seadanya. Negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab tak berdaya. Begitu pula negara-negara berpenduduk mayoritas Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI), tak da...

D-IV atau S1 ?

Suatu malam pada hari Sabtu , tanggal 14, bulan Januari , tahun 2012, berlatar tempatkan teras masjid Al-Ilmi IPDN Kampus Kalimantan Barat, terjadi satu percakapan ringan sangat sederhana tapi kemudian mampu untuk membuat otak ini menjadi rumit karena terus memikirkan substansi dari apa yang diperbincangkan itu, terlalu rumit sehingga saya pikir perlu untuk dituangkan dalam sebuah narasi penuh kata, tidak berpetuah dan tidak juga indah. Tapi cukup-lah untuk sekedar berbagi ide dan informasi yang pastinya tidak sesat. Dan ini-lah percakapan singkat itu : HP ( inisial teman saya ) : “Dim, kamu lebih milih mana, S.IP atau S.STP ?” Saya : “mmm….pengennya sih S.IP” HP : “Kenapa, Dim? Kata orang kan kalo S.STP tuh lebih baik buat karir dan kata orang juga S.IP tuh lebih condong buat jadi dosen.” Saya : “Wah gak tau sih kalo masalah yang kayak gitunya, tapi saya ingin S.IP karena yang saya tau S.IP itu lebih mudah untuk nantinya kita mau nerusin ke S2, nah kalo S.STP itu gak semua unive...

Wahana Wyata Praja IPDN

Sejarah Singkat Wahana Wyata Praja Wahana Wyata Praja adalah organisasi internal Praja IPDN yang pada dasarnya mempunyai tugas dan fungsi sama dari tahun ke tahun, namun namanya berubah sesuai situasi dan kondisi pada masa angkatan tersebut. Nama organisasi praja yang terbentuk sejak awal berdirinya STPDN hingga IPDN adalah sebagai berikut: Manggala Corps Praja Angkatan I STPDN sampai dengan angkatan IV STPDN Organisasi ini bernama MANGGALA CORPS PRAJA, yang pimpinannya adalah Manggala Pati dengan tanda jabatan talikur berwarna merah, nama Manggala Corps ini hanya sampai pada angkatan IV saja, karena pada angkatan V organisasi internal Praja ini berubah nama menjadi WAHANA BINA PRAJA. Wahana Bina Praja Angkatan IV STPDN sampai dengan angkatan XVI STPDN Wahana Bina Praja ini pimpinannya bernama Gubernur Praja dengan tanda jabatan talikur berwarna biru lis kuning nestel dua, dari Wahana Bina Praja inilah mulai di bentuk berbagai instansi dan UKP yang di ang...