Selasa, 14 Mei 2013
16.07 WIB
![]() |
http://www.themuslimtimes.org/wp-content/uploads/2012/01/Teks-pancasila-.jpg |
Di dalam Bab I pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. Hal ini menegaskan bahwa Indonesia bukan merupakan Negara kekuasaan (Machstaat).
Konsep Negara hukum atau Negara yang berdasarkan hukum berawal dari ungkapan yang dilontarkan oleh Cicero yang berbunyi “Ubi Societas Ibi Ius” atau secara sederhananya dapat kita artikan sebagai dimana ada masyarakat disitu ada hukum.
Pernyataan Cicero itu bermakna bahwa ketika manusia hidup secara bermasyarakat maka mau tidak mau, disadari atau tidak, maka akan selalu tercipta sebuah hukum diantara mereka.
Berawal mula dari sebuah pernyataan sederhana, konsep Negara hukum mengalami perkembangan yang signifikan terutama setelah munculnya juga pendapat dari Plato dan Aristoteles. Plato dalam karyanya yang berjudul “Nomoi” (The Law), mengatakan bahwa suatu Negara sebaiknya berdasarkan atas hukum dalam segala hal.
Sedangkan Aristoteles mengungkapkan bahwa suatu Negara yang baik adalah Negara yang diperintahkan oleh konstitusi dan berkedaulatan hukum.
Pada intinya apa yang bisa saya pahami dari konsep Negara hukum adalah suatu Negara yang berusaha menjalankan segala kekuasaan yang dimilikinya berdasarkan asas legalitas atau segala sesuatunya jelas tertulis sehingga tidak ada penyalahgunaan kekuasaan.
Karena seperti apa yang telah diungkapkan oleh Lord Acton bahwa kekuasaan itu cenderung untuk disalahgunakan dan kekuasaan mutlak pasti akan disalahgunakan (Power tends to corrupt but absolute power corrupts absolutely).
Jadi ketika suatu Negara dijalankan berdasarkan kekuasaan maka dikhawatirkan penguasa yang sedang memegang atau memiliki kekuasaan itu akan menjadi sewenang-wenang. Dia berada di atas segalanya sehingga akan muncul istilah The King Can Do No Wrong.
Indonesia pun pernah terjebak pada situasi seperti itu ketika hukum tak berdaya dan berada di bawah ketiak penguasa. Sehingga di dalam amandemen ketiga, di dalam UUD 1945, konsitusi kita, dicantumkan salah satu ayat yang berbunyi bahwa negera Indonesia adalah Negara hukum.
Permasalahan yang ada kini, yang ingin saya soroti di sini adalah berkenaan dengan Negara hukum seperti apa sebenarnya Indonesia itu.
Secara teori, ada tiga pendapat mengenai unsur-unsur suatu Negara hukum yang ada di dunia.
Pertama Negara hukum berdasarkan Rechtstaat (Frederich Yulius Stahl), yaitu terdiri dari : 1) pengakuan dan perlindungan HAM; 2) pembatasan kekuasaan; 3) Pemerintahan berdasarkan aturan hukum; dan 4) Peradilan administrasi.
Kedua, unsur-unsur Negara hukum dalam The Rule of Law, yaitu : 1) Supremacy of Law; 2) Equality Before the law;dan 3) Individual Rights.
Dan yang ketiga adalah unsur-unsur Negara hukum berdasarkan socialist Legality, yakni : 1) Manifestation of Socialism; 2) The law as a tool of socialism;dan 3) Push on social right than individual right.
Dari ketiga teori diatas, teori kedua terlihat sangat dekat dengan unsur-unsur Negara hukum yang ada di Negara liberal dan teori ketiga sangat dekat Negara yang menggunakan sistem komunisme.
Sedangkan pada teori yang pertama merupakan ciri-ciri atau unsur-unsur Negara hukum yang lebih bersifat universal.
Indonesia sendiri yang di dalam UUD 1945 disebutkan bahwa kedaulatan itu berada di tangan rakyat jelas amat dekat dengan sistem demokrasi dalam melaksanakan sistem politiknya. Terlebih lagi dengan adanya pemilihan pemimpin politik yang langsung dilaksanakan oleh rakyat sebagai wujud nyata kedaulatan rakyat maka jelas Indonesia memang menggunakan sistem politik demokrasi.
Lalu Negara hukum seperti apa Indonesia itu? Apakah liberal?atau sosialis?
Tentu Indonesia bukan merupakan Negara Liberal, bukan juga Negara sosialis, Indonesia adalah Negara Pancasila seperti yang telah disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat.
Indonesia tidak berada di sisi Liberal ataupun Sosial, Indonesia dengan gagahnya berani berdiri di kaki ideologinya sendiri. Ideologi terbuka yang memang benar-benar digali dari masyarakat Indonesia itu sendiri. Dan ideologi itu kemudian dirumuskan ke dalam 5 (lima) sila yang disebut dengan Pancasila.
Konsekuensinya adalah Indonesia sebagai Negara hukum jelas memiliki unsur-unsur yang berbeda dari Negara hukum yang lainnya karena memang menggunakan ideologi yang juga berbeda serta memiliki karakteristik tersendiri.
Menurut F.M. Hadjon Negara Hukum Pancasila itu adalah : 1) keserasian hubungan antara rakyat dan pemerintah berdasarkan kerukunan; 2) Hubungan fungsional yang proporsional antar kekuasaan Negara; 3) penyelesaian sengketa melalui musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir;dan 4) keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Lalu M. Tahir Azhary memberikan pendapat lain atau menurut hemat saya, justru pendapat ini melengkapi dari apa yang telah disebutkan oleh F.M Hadjon, yakni : 1) adanya hubungan erat antara agama dan Negara; 2) bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa; 3) kebebasan beragama dalam artian positif; 4) atheism tidak dibenarkan dan komunisme tidak diprkenankan;dan 5) berdasarkan asas kekeluargaan dan kerukunan.
Intisari dari dua pendapat tadi adalah bahwa Negara hukum Pancasila atau sesuai dengan apa yang Indonesia pegang saat ini berarti merupakan sebuah Negara hukum yang mengutamakan atau didasari oleh Ketuhahan Yang Maha Esa serta keseimbanagan antara Hak dan Kewajiban yang mendahulukan musyawarah mufakat berdasrkan asas kekeluargaan, kerukunan yang proporsional.
Hal yang ingin saya garis bawahi di sini adalah berarti sebagai Negara Hukum Pancasila, Indonesia juga dengan sangat tegas bukan merupakan sebuh Negara sekuler atau Negara yang memisahkan urusan agama dan urusan penyelenggaraan Negara.
Saya menjadi sangat ingin membahas hal ini karena saya meihat sekulerisme telah sedikit demi sedikit masuk kedalam pemikiran dari banyak rakyat Indonesia. Kemudian semua ini menjadi bertambah parah karena setiap kali ada orang yang ingin meluruskan pemikiran sekuler justru kemudian dicap sebagai orang yang tidak Pancasilais. What?!
Ini semua mengingatkan saya pada sebuah pepatah lama dari seorang diktator di zamanya yaitu Adolf Hitler. Dia berkata bahwa kebohongan yang diucapkan berulang kali akan menjadi sebuah kebenaran.
Kaitanya dengan ini adalah sebuah kebohongan bahwa Indonesia sebagai Negara Pancasila tidak memperkenankan Negara untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, tapi karena ini terus diucapkan maka seakan hal itu menjadi benar.
Dan dengan argumen seperti yang telah saya sebutkan di atas, masihkah ada yang berpendapat Negara hukum Pancasila itu adalah sebuah Negara sekuler?
Maka salah dan tidak Pancasilais ketika ada orang yang berkata dan berpendapat bahwa urusan agama itu adalah urusan pribadi setiap manusia dengan Tuhan maka tak perlu Negara mengintervensi di dalamnya. Sekali lagi ini salah, dan teramat sangat salah!
Apabila kita ingin konsekuen sebagai Negara Pancasila maka mari kita amalkan setiap sila dalam Pancasila dan dalam sila tersebut terdapat sila Ketuhanan Yang Maha Esa sehingga menjadi kewajiban bagi Negara untuk mengatur urusan agama setiap masyarakatnya, tanpa terkecuali, apakah itu Muslim, Nasrani, Hindu, Budha atau Katolik. Semua harus negara atur dan perhatikan.
Tapi dewasa ini, entah karena euphoria demokrasi atau Hak Asasi, Negara seperti enggan untuk terlibat dalam urusan agama. Negara seperti acuh tak acuh terhadap segala bentuk penyimpangan rakyatnya terhadap agama yang mereka anut.
Lalu permasalahan lain muncul dengan adanya phobia terhadap agama Islam. Karena pada dasarnya Muslim yang taat akan selalu mencampuri urusan agama setiap saudaranya maka banyak diantara rekan-rekan muslim yang kemudian dicap sebagai ekstrimis.
Satu kesalahan yang kemudian merambat pada kesalahan yang lainnya. Dan hal ini jelas harus segera untuk dibenahi.
Bagaimana caranya? caranya adalah pertama dan yang utama, pola pikir masyarakat terhadap apa itu Negara Pancasila tentu harus mendapat penyegaran dan kembali pada hakikat utamanya. Paham tentang demokrasi dan Hak Asasi juga harus diselaraskan dengan kondisi Indonesia. Tidak dan bukan justru mengikuti penuh seperti apa yang telah diterapkan di dunia Barat karena jelas secara kultur dan ideologi sangat berbeda.
Paham, sistem, dan prosedur Demokrasi serta Hak Asasi haru disesuaikan dengan Konsep Negara Pancasila karena memang idelogi kita adalah Pancasila.
Upaya yang memang tidak akan bisa dilakukan dalam waktu sekejap apalagi dengan globalisasi seperti dewasa ini. Tapi sekali lagi, hal ini perlu untuk diluruskan agar perkembangan politik bangsa Indonesia bisa berjalan seiring dengan perkembangan ekonomi juga kehidupan beragama sehingga kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia tidak lagi hanya menjadi sebuah impian semata.
Karena tak cukup cerdas secara knowledge, ataupun skill, kita pun harus mampu cerdas secara attitude.
Stay #PMA :)
itu adalah salah satu contoh "pergeseran moral" masyarakat. banyak orang yang tidak mau berdosa lantas berupaya "meciptakan" agamanya sendiri, artinya mereka lebih mencari "jalan mudah" untuk tidak berdosa... asek dapet inspirasi nih saya berkat adima... hehe
BalasHapusdan ke"salahkaprah"an yang sering terjadi adalah perintah bahwa, "silakan berdo'a menurut agama masing-masing". coba deh diganti, silahkan berdoa menurut agama yang disahkan negara atau apalah... :)
ah tau ah... bingung
@bang harri : hehe betul bang, abang nih komentarnya nyeleneh tapi maknan nya dalem :)
BalasHapusitulah masalahku dim, terkadang aku berusaha menyampaikannya, tapi karena nyeleneh dan didukung pula dengan wajah yang imut, kadang gak ditanggepin... heheheh
BalasHapus