RABU, 02-10-2013
11.29 WIB
Ini karena di semeseter 7 (tujuh) terdapat mata kuliah Teknik Evaluasi Kinerja Aparatur dan ini karena saya tertarik dalam pembahasan mengenai DP-3 bagi PNS di birokrasi Indonesia. Maka ini-lah opini terbaru saya.
PNS sampai dengan saat ini masih mendapat kritikan tajam nan pedas dari masyarakat. Masyarakat itu sendiri merupakan “pemilik” (owner) dari organisasi pemerintah. Sehingga wajar dan jelas apabila mereka menuntut sebuah kinerja yang optimal dari para pegawainya.
Lalu kenapa PNS selaku pegawai pemerintah, bawahan dari masyarakat, masih juga dikritik oleh pemiliknya? Bukankah kritikan berarti ada yang salah dengan kinerjanya? Lalu kenapa setelah dikritik bahkan oleh pemiliknya langsung, masih saja belum terdapat perubahan signifikan? Ada apa? Mengapa?
Bila boleh saya melemparkan sebuah wacana untuk pertanyaan itu maka saya akan mengatakan bahwa ada yang salah dengan sistem yang mengatur kepegawaian di dunia birokrasi Indonesia sehingga pada akhirnya sulit untuk mengharapkan kinerja yang optimal dari pegawai pemerintah Indonesia atau PNS.
Sistem yang mana? Mungkin akan ada banyak hal yang saling mempengaruhi akan tetapi satu hal yang ingin saya bahas disini adalah berkenaan dengan cara mengevaluasi kinerja dari PNS di Indonesia.
Evaluasi PNS di Indonesia sampai dengan saat ini menggunakan alat yang bernama DP-3 sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1979 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil. Akan tetapi, DP-3 kini sungguh tidak relevan untuk tetap dilakukan karena DP-3 tidak memiliki standar atau indikator penilaian yang jelas atau spesifik dan hanya berfokus pada perilaku pegawai bukan kinerjanya.
Tak percaya? Coba kita lihat apa yang menjadi indikator penilaian DP-3 sesuai dengan yang tercantum dalam pasal 4 ayat (2) PP No. 10/1979, yakni :
a. Kesetiaan;
b. Prestasi kerja;
c. Tanggungjawab;
d. Ketaatan;
e. Kejujuran;
f. Kerjasama;
g. Prakarsa;dan
h. Kepemimpinan.
Realita yang ada pun menunjukan bahwa DP-3 diberikan lebih banyak berfokus pada penilaian subjektifitas bukan objektifitas. Karena (seperti yang telah disebutkan di atas) tidak ada ukuran atau standar atau alat penilaiannya.
Masih banyak buktik ketidak-relevan-an DP-3 dewasa ini tapi pada tulisan ini, cukup rasanya 2 (dua) bukti diatas.
Akibatnya pegawai yang bekerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dan yang tidak sesuai tupoksi, tidak mampu untuk ter-refleksikan dengan baik dan benar. Sehingga ketika ada pegawai yang bekerja keras, tuntas, dan cerdas sesuai tupoksinya tetap mendapatkan nilai yang sama dengan mereka yang bekerja secara asal.
Implikasi dari sebuah penilaian yang sama adalah pegawai baik dan pegawai buruk tetap mendapatkan penghasilan atau gaji yang sama. sehingga untuk apa bekerja baik?
Okay, bila kemudian kita kaitkan bahwa menjadi PNS itu adalah sebuah pengabdian, sehingga materi (uang) bukan yang utama. Maka saya pun akan bertanya, apakah pegawai itu akan tetap termotivasi untuk selalu mengabdi secara habis-habisan ketika apresiasi yang dia dapatkan sama dengan mereka yang bekerja tidak mengeluarkan keringat?
11.29 WIB
Ini karena di semeseter 7 (tujuh) terdapat mata kuliah Teknik Evaluasi Kinerja Aparatur dan ini karena saya tertarik dalam pembahasan mengenai DP-3 bagi PNS di birokrasi Indonesia. Maka ini-lah opini terbaru saya.
PNS sampai dengan saat ini masih mendapat kritikan tajam nan pedas dari masyarakat. Masyarakat itu sendiri merupakan “pemilik” (owner) dari organisasi pemerintah. Sehingga wajar dan jelas apabila mereka menuntut sebuah kinerja yang optimal dari para pegawainya.
Lalu kenapa PNS selaku pegawai pemerintah, bawahan dari masyarakat, masih juga dikritik oleh pemiliknya? Bukankah kritikan berarti ada yang salah dengan kinerjanya? Lalu kenapa setelah dikritik bahkan oleh pemiliknya langsung, masih saja belum terdapat perubahan signifikan? Ada apa? Mengapa?
Bila boleh saya melemparkan sebuah wacana untuk pertanyaan itu maka saya akan mengatakan bahwa ada yang salah dengan sistem yang mengatur kepegawaian di dunia birokrasi Indonesia sehingga pada akhirnya sulit untuk mengharapkan kinerja yang optimal dari pegawai pemerintah Indonesia atau PNS.
Sistem yang mana? Mungkin akan ada banyak hal yang saling mempengaruhi akan tetapi satu hal yang ingin saya bahas disini adalah berkenaan dengan cara mengevaluasi kinerja dari PNS di Indonesia.
Evaluasi PNS di Indonesia sampai dengan saat ini menggunakan alat yang bernama DP-3 sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1979 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil. Akan tetapi, DP-3 kini sungguh tidak relevan untuk tetap dilakukan karena DP-3 tidak memiliki standar atau indikator penilaian yang jelas atau spesifik dan hanya berfokus pada perilaku pegawai bukan kinerjanya.
Tak percaya? Coba kita lihat apa yang menjadi indikator penilaian DP-3 sesuai dengan yang tercantum dalam pasal 4 ayat (2) PP No. 10/1979, yakni :
a. Kesetiaan;
b. Prestasi kerja;
c. Tanggungjawab;
d. Ketaatan;
e. Kejujuran;
f. Kerjasama;
g. Prakarsa;dan
h. Kepemimpinan.
Realita yang ada pun menunjukan bahwa DP-3 diberikan lebih banyak berfokus pada penilaian subjektifitas bukan objektifitas. Karena (seperti yang telah disebutkan di atas) tidak ada ukuran atau standar atau alat penilaiannya.
Masih banyak buktik ketidak-relevan-an DP-3 dewasa ini tapi pada tulisan ini, cukup rasanya 2 (dua) bukti diatas.
Akibatnya pegawai yang bekerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dan yang tidak sesuai tupoksi, tidak mampu untuk ter-refleksikan dengan baik dan benar. Sehingga ketika ada pegawai yang bekerja keras, tuntas, dan cerdas sesuai tupoksinya tetap mendapatkan nilai yang sama dengan mereka yang bekerja secara asal.
Implikasi dari sebuah penilaian yang sama adalah pegawai baik dan pegawai buruk tetap mendapatkan penghasilan atau gaji yang sama. sehingga untuk apa bekerja baik?
Okay, bila kemudian kita kaitkan bahwa menjadi PNS itu adalah sebuah pengabdian, sehingga materi (uang) bukan yang utama. Maka saya pun akan bertanya, apakah pegawai itu akan tetap termotivasi untuk selalu mengabdi secara habis-habisan ketika apresiasi yang dia dapatkan sama dengan mereka yang bekerja tidak mengeluarkan keringat?
Nama mereka tidak sebaik dan seharum pengabdian yang mereka curahkan, bisakah mereka bertahan?
Kemudian sistem evaluasi PNS yang kini tidak lagi relevan itu membuat sistem penggajian yang digunakan dalam birokrasi Indonesia pun terlihat menjadi sangat tidak relevan!
Kenapa? Ya, karena itu tadi, PNS baik dengan PNS tidak baik toh sama-sama mendapatkan gaji yang sama. Gaji sesuai golongan dan kepangkatan.
Solusinya sungguh jelas dan sangat nyata, sistem kepegawaian di Indonesia khususnya pada sub-sistem evaluasi PNS harus berorientasi pada kinerjanya atau prestasi kerja, tidak lagi bertumpu pada perilaku tanpa indikator jelas!
Lalu setelah mampu untuk dievaluasi sesuai dengan kinerjanya, langkah selanjutnya adalah memberi reward dan punishment yang proporsional. Bila tepat dengan tupoksi atau bahkan melebihi apa yang diharapkan oleh tupoksi dan sangat bermanfaat untuk kepentingan organisasi, ya jelas dia harus mendapatkan uang lebih atau bahasa kekiniannya adalah mendapatkan insentif.
Begitu juga sebaliknya, bagi mereka yang bekerja tidak sesuai tupoksi bahkan menyalahi, jelas harus diberikan punishment berupa pengurangan gaji atau setidaknya tidak mendapatkan uang lebih.
Reward dan punishment seperti itu hanya akan mampu untuk dilakukan dengan sebuah sistem evaluasi yang tepat. Bukan evaluasi yang penuh dengan unsur subjektifitas yang nantinya hanya akan meghadirkan ketidakadilan dan menimbulkan kecemburuan serta sakit hati, tak ada lagi motivasi.
Kabar baiknya adalah, pemerintah Indonesia telah menyadari “kejelekan” DP-3, sehingga terhitung mulai Januari 2014 melalui PP No. 46 tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS, sistem evaluasi PNS di Indonesia akan menggunakan sistem yang baru bernama Sasaran Kerja Pegawai (SKP).
Secara idealnya, SKP lebih menekankan kepada prestasi kerja (60%) dibandingkan dengan perilaku (40%). SKP juga jelas memiliki indikator yang spesifik, tidak lagi abstrak, tidak lagi subjektif, dan semoga saja bisa merubah cepat, tepat, dan tuntas wajah pegawai pemerintah kita!
Kemudian sistem evaluasi PNS yang kini tidak lagi relevan itu membuat sistem penggajian yang digunakan dalam birokrasi Indonesia pun terlihat menjadi sangat tidak relevan!
Kenapa? Ya, karena itu tadi, PNS baik dengan PNS tidak baik toh sama-sama mendapatkan gaji yang sama. Gaji sesuai golongan dan kepangkatan.
Solusinya sungguh jelas dan sangat nyata, sistem kepegawaian di Indonesia khususnya pada sub-sistem evaluasi PNS harus berorientasi pada kinerjanya atau prestasi kerja, tidak lagi bertumpu pada perilaku tanpa indikator jelas!
Lalu setelah mampu untuk dievaluasi sesuai dengan kinerjanya, langkah selanjutnya adalah memberi reward dan punishment yang proporsional. Bila tepat dengan tupoksi atau bahkan melebihi apa yang diharapkan oleh tupoksi dan sangat bermanfaat untuk kepentingan organisasi, ya jelas dia harus mendapatkan uang lebih atau bahasa kekiniannya adalah mendapatkan insentif.
Begitu juga sebaliknya, bagi mereka yang bekerja tidak sesuai tupoksi bahkan menyalahi, jelas harus diberikan punishment berupa pengurangan gaji atau setidaknya tidak mendapatkan uang lebih.
Reward dan punishment seperti itu hanya akan mampu untuk dilakukan dengan sebuah sistem evaluasi yang tepat. Bukan evaluasi yang penuh dengan unsur subjektifitas yang nantinya hanya akan meghadirkan ketidakadilan dan menimbulkan kecemburuan serta sakit hati, tak ada lagi motivasi.
Kabar baiknya adalah, pemerintah Indonesia telah menyadari “kejelekan” DP-3, sehingga terhitung mulai Januari 2014 melalui PP No. 46 tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS, sistem evaluasi PNS di Indonesia akan menggunakan sistem yang baru bernama Sasaran Kerja Pegawai (SKP).
Secara idealnya, SKP lebih menekankan kepada prestasi kerja (60%) dibandingkan dengan perilaku (40%). SKP juga jelas memiliki indikator yang spesifik, tidak lagi abstrak, tidak lagi subjektif, dan semoga saja bisa merubah cepat, tepat, dan tuntas wajah pegawai pemerintah kita!
Amin!
#PMA all day, guys!
DP3 itu menurut saya tidak ada artinya, penilaian yang tidak mungkin turun dan tidak mungkin naik secara drastis walaupun si pegawai secara drastis naik/turun kinerjanya. ironi memang tapi itulah kenyataannya, mungkin ke depan bisa lebih baik lagi.
BalasHapusbtw kapan ke mempawah lagi ?