RABU, 13-11-2013
14.20 WIB
Seperti yang telah diketahui bersama, indikator atau ukuran bagi tingkat kesejahteraan masyarakat di dunia ini dapat dilihat dari :
a. Tingkat pendapatan atau daya beli;
b. Tingkat kesehatan;dan
c. Tingkat pendidikan;
Pada perkembangannya, ada juga beberapa pihak yang menambahkan unsur keamanan pada pengukuran tingkat kesejahteraan suatu masyarakat.
Adapun pencantuman tingkat pendapatan atau daya beli masyarakat di urutan pertama jelas bukan tanpa sebuah alasan. Tingkat pendapatan merupakan faktor pertama dan utama yang nantinya akan mempengaruhi pada dua indikator lainnya.
Logikanya adalah tingkat pendapatan atau daya beli yang tinggi maka dengan sendirinya masyarakat akan mampu untuk memiliki tingkat kesehatan dan pendidikan yang tinggi juga.
Walaupun hal ini bisa untuk terus dilakukan argumentasi pembalikan, dalam artian ketiga indikator ini akan selalu bisa untuk menempati urutan pertama atau menjadi skala prioritas utama tapi dalam tulisan ini akan lebih menekankan kepada faktor tingkat pendapatan.
Kenapa tingkat pendapatan atau daya beli dalam tulisan ini menempati urutan pertama? Karena kaitannya dengan tingkat pendapatan atau daya beli, suatu daerah perlu untuk mengelola asetnya dengan baik.
Kenapa aset? Karena asset adalah sumber pendapatan bagi suatu daerah.
Sedangkan pendapatan itu sendiri merupakan nyawa bagi suatu daerah untuk mampu menjalankan segala program kerja untuk melakukan tiga fungsi utama mereka sebagai pemerintah yakni pembangunan, pemberdayaan, dan pelayanan kepada masyarakat.
Tiga fungsi itu jelas bermuara pada perwujudan kesejahteraan bagi masyakarakat. Hal ini apabila kita urut mundur kebelakang maka akan kembali pada seberapa banyak asset yang dimiliki oleh suatu daerah tersebut.
Semakin banyak, semakin produktif, dan semakin baik pengelolaan aset suatu daerah maka akan semakin besar pendapatan yang diterima oleh daerah tersebut.
Asset terletak di suatu tempat. Sehingga dibutuhkan sebuah legalitas bagi suatu daerah untuk dapat meng-klaim bahwa sebuah asset merupakan milik mereka.
Hal itu jelas berkenaan dengan batas daerah yang dimiliki oleh suatu daerah dengan daerah lainnya. Dengan batas daerah yang jelas juga tegas maka bukan sebuah persoalan bagi suatu daerah untuk bisa meng-klaim sebuah asset.
Akan tetapi menjadi sebuah persoalan, ketika tidak ada batas yang jelas antara satu daerah dengan daerah lainnya dalam hal batas daerah, sehingga suatu asset menjadi tidak jelas berada di wilayah mana.
Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa ada perbedaan mendasar antara penentuan dan penegasan batas daerah. Penentuan mengacu kepada penetapan batas di atas peta, sedangkan penegasan adalah penetapan titik-titik batas di lapangan.
Dengan kata lain, penegasan adalah tindak lanjut dari penentuan batas. Hal ini ditegaskan dalam Permendagri yang menyebutkan bahwa “penegasan batas daerah dititikberatkan pada upaya mewujudkan batas daerah yang jelas dan pasti baik aspek yuridis maupun fisik di lapangan” (Pasal 2 ayat 1).
Penegasan batas darat meliputi beberapa langkah yaitu penelitian dokumen, pelacakan batas, pemasangan pilar batas, pengukuran dan penentuan posisi pilar batas, dan pembuatan peta batas. Dalam penegasan batas ini, seperti yang secara eksplisit disebutkan dalam Permendagri pasal 4 ayat 2, wajib diterapkan prinsip geodesi. Jelas terlihat dalam hal ini bahwa peran surveyor geodesi sangat penting dalam penegasan batas daerah.
Apa yang terjadi di banyak wilayah Indonesia adalah masih sebatas penentuan batas daerah belum terwujud penegasan batas daerah sehingga masih banyak konflik yang terjadi yang menyebabkan banyak asset yang menjadi sengketa atau bahkan asset yang terbengkalai begitu saja sehingga akhirnya kesejahteraan masyarakat belum mampu untuk tercapai dengan baik.
Tulisan ini tidak saya buat begitu saja dan saya pun tidak benar-benar tertarik terhadap tema perbatasan daerah. Tulisan ini saya buat mulanya untuk saya ajukan sebagai sebuah tugas dalam Mata Pelatihan Penegasan Batas Daerah.
Tapi kemudian, secara mendadak permasalahan batas daerah memang cukup menganggu otak saya.
Hal ini sepertinya cukup sederhana tapi ternyata sangat kompleks terlebih apabila telah menjadi sebuah perselisihan antara daerah.
Secara makronya, ini merupakan wujud dari adanya celah dalam sebuah aturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah Indonesia.
Hal ini membuktikan bahwa negara kita masih sangat kurang para negarawan, negara kita masih sangat disesaki oleh para politisi.
Sehingga apa yang menjadi sebuah kebijakan hanya mampu bertahan beberapa waktu kedepan dengan banyaknya cacat di sana-sini.
Terlalu pragmatis, tidak visioner serta tidak mampu untuk mengantisipasi permasalahan.
Komentar
Posting Komentar