Langsung ke konten utama

Bila tak lulus TKD

JUMAT, 21 Februari 2014
21.34 WIB


Saya pun tak mau tau aturan apa yang akhirnya memaksa kami harus tetap melaksanakan TKD (tes kemampuan dasar) untuk bisa ditetapkan menjadi seorang Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS).

Sejauh yang saya tau, ketika saya diterima menjadi seorang Praja, masuk melangkahkan kaki dan menempuh pendidikan di kampus ini, maka pada akhirnya saya akan mendapatkan status sebagai seorang CPNS.

Proses panjang juga sulit untuk saya bisa memasuki kampus ini, dalam artian menempuh pendidikan di dalamnya, dan butuh sejuta kesabaran serta kecerdasan bagi saya untuk menyelesaikan segala jenis pendidikan yang disyaratkan di dalamnya. Tidak serta merta negara kemudian memberi kami segala fasilitas dalam menjalani pendidikan di dalamnya.

Uang saku yang saya terima setiap bulan, makanan dan asrama yang juga telah negara persiapkan secara percuma. Itu tentu dengan sebuah harapan dan tujuan untuk mempersiapkan saya menjadi seorang CPNS yang baik.

Lalu bila kini semua itu tetap harus ditentukan oleh sebuah TKD? Untuk apa negara membayar mahal itu semua?

Saya masih belum mengerti dan memahami itu semua.

Saya takut, ya. Bila kemudian ada argumen yang mengatakan bahwa tidak seharusnya saya takut menjalani itu semua toh saya telah dipersiapkan. Maka saya jawab itu dengan sebuah pernyataan, lalu bukankah saya selama 3 (tiga) tahun ini juga telah disiapkan untuk menjadi CPNS? Maaf, tapi saya tidak dipersiapkan untuk menjalani TKD. Tapi kami dipersiakan untuk menjadi CPNS dan nantinya PNS.

Ketika saya menjalani seleksi untuk masuk ke kampus ini maka saya mengikuti seleksi untuk dipersiapkan menjadi CPNS dan ketika saya berhasil melewati serangkaian tes itu, berarti saya telah layak. Lalu untuk mematangkannya saya harus terlebih dahulu menjalani pendidikan selama 4 (empat) tahun.

Bila kini kemudian saya harus kembali menjadi TKD, seolah-olah semua seleksi masuk ke kampus ini dan pendidikan yang saya jalani menjadi percuma, karena toh saya harus ditentukan oleh TKD, tak peduli seberapa baik saya menjalani pendidikan selama ini.

Ketika saya mampu untuk sampai dengan sekarang masih bertahan, apakah itu belum menjadi cukup bukti bahwa saya memang layak menjadi CPNS?

Bila skenario TKD itu hanya untuk dijadikan standar dalam penempatan atau tes terakhir menentukan peringkat saya selama ini di kampus, itu tak masalah. Tapi bila kemudian ternyata TKD itu adalah syarat mutlak saya untuk menjadi CPNS, sekali lagi saya bertanya, untuk apa serangkaian tes panjang masuk ke kampus ini? Untuk apa saya menjalani pendidikan selama ini?

Saya tak mengerti, sangat jauh dari logika yang saya miliki.

Kecuali memang sedari dulu masuk ke lembaga ini tidak ada jaminan sedikit pun untuk menjadi seorang CPNS maka ya saya pun mengerti. Tapi karena memang sedari awal, janji-janji itu telah dihembuskan bahkan tertuang jelas dalam sebuah peraturan, maka wajar bila kemudian saya menuliskan segala keresahan ini.

Sekali lagi, saya belum dan tak akan mnegerti kebijakan ini. Ini sangat menyiksa!

Tapi saya pun tetap optimis dalam ranah pemikiran realistis. Saya pun mulai berpikir apa jadinya ketika saya harus gagal dalam melaksanakan TKD dan keluar dari kampus ini tanpa sebuah status CPNS.

Jadi apa saya?

Segala macam bentuk beban saya sudah bayangkan akan hadir di pundak ini. Terberat tentu cibiran orang tentang ekspektasi yang sedari dulu telah mereka miliki terhadap saya.

Lalu akan jadi apa saya?

Entah, tapi sepertinya saya akan menepi dari segala bentuk pemerintahan, bentuk kekecewaan. Mungkin, ini sekedar mungkin, rencana abstrak dari sebuah pepatah “hope for the best but prepare for the worst”, saya akan mencoba untuk terus menggali kemampuan saya dalam menulis. Apa lagi? Apa lagi kemampuan yang saya punya?

Mendalami ilmu jurnalistik adalah hal paling logis yang bisa saya pikirkan saat ini. Terus menulis dan menulis.

Ahh, tapi itu jelas bukan yang saya harapkan
 
Saat ini, keluhan serta amarah sudah seharusnya saya transformasikan kepada sebuah semangat untuk mempersiapkan diri mengahadapi TKD. Karena itu telah ditetapkan, kebijakan itu telah dikemukakan. Saya rakyat jalata, seorang peserta didik hanya bisa untuk menjalani. Menjalani sebaik mungkin dan berdoa sekhusyu mungkin. Apa lagi?

Saya tau, mereka, para pembuat kebijakan, tidak begitu saja memutuskannya, mereka tentu berharap untuk segala yang terbaik bagi birokrasi negeri ini. Dan mungkin saya hanya berada pada kelompok transisi.

Ya ya ya, demi kebaikan negeri ini, kebaikan negeri ini.

Please, pray for me and the rest of my friends!
#PMA ??

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibadalana uliy ba’sin syadid

Selasa, 22 Juli 2014 22.00 WIB Saya akan menampilkan atau mem- posting tulisan dari Bapak Usep Romli , Pengasuh Pesantren Budaya "Raksa Sarakan" Garut. Tulisan ini merupakan tulisan di kolom Opini , harian Republika yang diterbitkan pada hari Selasa, 22 Juli 2014. Beliau menulis tentang (satu-satunya) cara untuk bisa mengalahkan zionis Israel. sehingga tulisannya pun diberi judul, Mengalahkan Zionis Israel . Berikut ini tulisannya saya tampilkan penuh tanpa ada sedikit pun saya kurangi atau tambahkan. "Mengalahkan Zionis Israel" Hari-hari ini, bangsa Palestina di Jalur Gaza sedang dibombardir pasukan Zionis-Israel. Nyaris tak ada perlawanan sama sekali, karena Palestina tak punya tentara. Hanya ada beberapa kelompok sipil bersenjata yang berusaha bertahan seadanya. Negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab tak berdaya. Begitu pula negara-negara berpenduduk mayoritas Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI), tak da

Hercules dan Moral

The Legend of Hercules Minggu, 9 Februari 2014 10.10 WIB Cukup lama saya tidak menonton sebuah film di bisokop. Untuk sebagian orang, hal ini merupakan sebuah pemborosan karena kondisi yang ada di Indonesia memungkinkan kita untuk bisa menonton sebuah film dengan harga yang jauh lebih murah.  Di Indonesia kita masih bisa untuk mendapatkan sebuah DVD dengan harga yang sangat murah, sekitar 6 (enam) ribu rupiah ( bajakan tentunya tapi dengan kualitas gambar yang cukup baik ), bandingkan dengan harga yang harus dikeluarkan apabila kita menonton sebuah film di bioskop, sekitar 25 ribu – 50 ribu rupiah tergantung bioskop yang kita pilih. Saya pun menyadari hal itu tapi saya tentu juga memiliki alasan. Terlepas dari alasan idealis yang sebenarnya juga masih saya miliki, alasan utama yang ingin saya kemukakan disini adalah bahwa menonton sebuah film di bioskop bagi saya adalah sebuah penyegaran, sebuah hobi untuk melepas penat dan mendapatkan lagi beberapa semangat. Ya, hobi. Mung

Wahana Wyata Praja IPDN

Sejarah Singkat Wahana Wyata Praja Wahana Wyata Praja adalah organisasi internal Praja IPDN yang pada dasarnya mempunyai tugas dan fungsi sama dari tahun ke tahun, namun namanya berubah sesuai situasi dan kondisi pada masa angkatan tersebut. Nama organisasi praja yang terbentuk sejak awal berdirinya STPDN hingga IPDN adalah sebagai berikut: Manggala Corps Praja Angkatan I STPDN sampai dengan angkatan IV STPDN Organisasi ini bernama MANGGALA CORPS PRAJA, yang pimpinannya adalah Manggala Pati dengan tanda jabatan talikur berwarna merah, nama Manggala Corps ini hanya sampai pada angkatan IV saja, karena pada angkatan V organisasi internal Praja ini berubah nama menjadi WAHANA BINA PRAJA. Wahana Bina Praja Angkatan IV STPDN sampai dengan angkatan XVI STPDN Wahana Bina Praja ini pimpinannya bernama Gubernur Praja dengan tanda jabatan talikur berwarna biru lis kuning nestel dua, dari Wahana Bina Praja inilah mulai di bentuk berbagai instansi dan UKP yang di ang