Langsung ke konten utama

Hercules dan Moral

The Legend of Hercules

Minggu, 9 Februari 2014
10.10 WIB


Cukup lama saya tidak menonton sebuah film di bisokop. Untuk sebagian orang, hal ini merupakan sebuah pemborosan karena kondisi yang ada di Indonesia memungkinkan kita untuk bisa menonton sebuah film dengan harga yang jauh lebih murah. 

Di Indonesia kita masih bisa untuk mendapatkan sebuah DVD dengan harga yang sangat murah, sekitar 6 (enam) ribu rupiah (bajakan tentunya tapi dengan kualitas gambar yang cukup baik), bandingkan dengan harga yang harus dikeluarkan apabila kita menonton sebuah film di bioskop, sekitar 25 ribu – 50 ribu rupiah tergantung bioskop yang kita pilih.

Saya pun menyadari hal itu tapi saya tentu juga memiliki alasan. Terlepas dari alasan idealis yang sebenarnya juga masih saya miliki, alasan utama yang ingin saya kemukakan disini adalah bahwa menonton sebuah film di bioskop bagi saya adalah sebuah penyegaran, sebuah hobi untuk melepas penat dan mendapatkan lagi beberapa semangat.

Ya, hobi. Mungkin itu adalah kata yang tepat kenapa akhirnya saya rela untuk mengeluarkan uang lebih untuk menonton sebuah film di bioskop.

Dan film pertama yang saya tonton di bioskop pada tahun 2014 ini adalah The Legend of Hercules

Pada dasarnya, saya menyukai semua jenis film. Saya tipikal orang yang tidak terlalu saklek  pada sebuah selera. Terkadang tanpa ada alasan jelas, bahkan bertentangan dengan prinsip yang saya yakini, saya bisa begitu saja menyukai sesuatu dan begitu juga sebalinya. Pragmatis tapi bisa juga menjadi sangat idealis. Well, that is me! So damn moody!
 
Tapi itu setidaknya membuktikan bahwa rasa suka, cinta, dan sayang itu memang sangat relatif, tidak pernah mempunyai ukuran yang pasti.

Di samping itu, saya memang menyukai film-film yang diangkat dari komik atau cerita kartun. Ini erat kaitannya dengan masa kecil saya, yang sejauh saya ingat, tumbuh besar bersama banyak cerita kartun Walt Disney, semisal Beauty and The Beast, Cinderalla, Pinochio, Peter Pan, Lion King, Anatasia, Mulan, Hercules, dan masih banyak kartun lainnya. Saya ingat betul film-film itu sangat menarik bagi saya, sangat cocok dengan karakter saya sebagai anak kecil dan juga diselingi dengan lagu-lagu yang juga sangat indah terdengar. Ahh, masa kecil yang menyenangkan!

Dan mungkin itu juga penyebab ketika saya melihat film The Legend of Hercules, atau Hercules dalam penggambaran masa kekinian versi asli, sangat jauh dari bayangan yang ada dalam benak saya.

Inti cerita dari Hercules itu memang masih sama dan tidak mungkin untuk berubah, yakni Hercules yang merupakan anak Zeus dan diasuh oleh manusia biasa. Tapi perwujudan Hercules sebagai seorang anak Zeus dan untuk apa dia ada dunia ditampilkan dengan sangat berbeda. Dan jujur saya menyukai versi yang ada dalam kartun.

Satu hal yang pasti Hercules ketika saya masih kecil dan Hercules dalam bentuk The Legend of Hercules diciptakan dalam masa yang sangat berbeda. Dan alasan kenapa The Legend of Hercules ditampilkan dalam wujud manusia asli menandakan bahwa The Legend of Hercules tidak semata-mata diperuntukan bagi anak kecil. Bahkan dengan melihat setiap adegan yang ada dalam film tersebut, saya pikir film itu pun bukan untuk konsumsi semua umur, film itu untuk dewasa, dengan adegan perkelahian dan percintaan yang bertaburan di sana-sini.

Saya ingat betul ketika saya menontonya di bioskop, saya melihat orang tua yang membawa anaknya menonton film tersebut sibuk untuk menutup mata anak mereka ketika harus ditampilkan adegan perkelahian yang cukup sadis dan beberapa adegan antara pria dan wanita dewasa.

Saya pun tak menyalahkan sepenuhnya orang tua yang membawa anaknya menonton film itu karena superhero atau orang-orang dengan kemampuan hebat terlebih sebuah karakter yang berawal dari film kartun amat dekat dengan imajinasi anak kecil. Jadi siapa yang menyangka bahwa The Legend of Hercules akan bertranformasi menjadi film yang sebenarnya tidak cocok dengan karakter anak kecil, terutama anak kecil yang hidup di budaya Timur seperti Indonesia.

Hal itu yang kemudian menjadi sedikit mengusik pribadi saya dan mulai melihatnya dalam skala yang cukup jauh.

Kehidupan anak kecil sekarang dengan ketika saya masih kecil dulu sangat berbeda. Ya, zama memang berubah tapi haruskah nilai-nilai baik itu juga ikut berubah?

Yang perlu saya tegaskan disini, negara-negara yang sekarang mampu untuk menjadi negara maju adalah mereka dengan masyarakat yang mampu konsisten dengan moral. Moral itu berkaitan dengan nilai. Negara-negara Barat (sebagai indikator negara maju) sangat kuat dengan hal ini, itu-lah kenapa penyimpangan jarang terjadi di sana dan negara bisa berkembang dengan leluasa.

Karena penerapan nilai di negara mereka telah berjalan optimal sehingga moral bergerak dengan sangat baik.

Kembali ke Indonesia, nilai-nilai kehidupan kita didasarkan pada adat ketimuran yang dipenuhi dengan nilai yang terkandung dalam agama. Itu-lah kita, masyarakat yang beragama. Tapi sayangnya penerapan nilai itu belum berjalan optimal sehingga moral masyarakatnya pun belum baik.

Buktinya apa? Berapa banyak aturan yang dimililiki Indonesia tapi berapa banyak juga yang melanggarnya.

Lalu kaitannya dengan masa kecil adalah karena di dalam masa kecil-lah penerapan nilai itu paling bisa dilakukan dengan baik dan bisa berjalan dibandingkan dengan setelah manusia itu dewasa.

Lalu saya pun yang hidup di masa kecil yang saya pikir masih sangat kondusif. Saya masih bisa bermain di luar rumah, bersosialisasi nyata dengan teman-teman, memupuk kerja sama dengan banyaknya permainan tradisional dan bahkan menonton film yang memang sesuai dengan kondisi anak kecil, pun masih belum bisa menjadi generasi yang baik. Moral itu belum maksimal terlaksana.

Lalu apa jadinya dengan kondisi masa kecil anak zaman sekarang? Ketika sosialisasi mereka kini sudah terbatas pada dunia maya. Anak-anak kecil sudah berpikiran praktis dengan segala bantuan teknologi. Tak lagi tau rasanya hidup di luar, di bawah terik matahari, bermain bersama dengan teman memupuk kerja sama. Sekarang mereka hidup di lingkungan individualis.

Dan kaitannya dengan film, kini mereka “dipaksakan” juga untuk tumbuh besar dengan film-film yang sebenarnya tidak sesuai dengan perkembangan psikis mereka. Film dengan penuh adegan sadisme, percintaan, dan hal-hal dewasa lainnya.

Bila begitu moral apa yang akan mereka miliki?

Saya menulis seperti ini karena berkeyakinan bahwa nilai-nilai yang harus tertanam dan terinternalisasi dalam setiap masyarakat Indonesia adalah nilai-nilai Ketuhanan, Persatuan, Kemanusiaan, Musyawarah Mufakat, dan Keadilan bukan nilai-nilai liberal.

Tapi saya pun sadar bahwa hal-hal seperti ini tidak cukup hanya sekedar menulis opini, butuh tindakan nyata, tindakan perubahan. 

Dan pembelaan yang saya kemukakan, ini merupakan tindakan yang bisa saya lakukan, menulis berharap mampu menggugah melalui kata.

Stay #PMA

Komentar

  1. saya masih dalam pendirian, bahwa film-film speerti ini adalah sebuah proaganda yang dibuat dengan sengaja tanpa kita sadari, <---- aku ngomong apa sih, wkkwkwk

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibadalana uliy ba’sin syadid

Selasa, 22 Juli 2014 22.00 WIB Saya akan menampilkan atau mem- posting tulisan dari Bapak Usep Romli , Pengasuh Pesantren Budaya "Raksa Sarakan" Garut. Tulisan ini merupakan tulisan di kolom Opini , harian Republika yang diterbitkan pada hari Selasa, 22 Juli 2014. Beliau menulis tentang (satu-satunya) cara untuk bisa mengalahkan zionis Israel. sehingga tulisannya pun diberi judul, Mengalahkan Zionis Israel . Berikut ini tulisannya saya tampilkan penuh tanpa ada sedikit pun saya kurangi atau tambahkan. "Mengalahkan Zionis Israel" Hari-hari ini, bangsa Palestina di Jalur Gaza sedang dibombardir pasukan Zionis-Israel. Nyaris tak ada perlawanan sama sekali, karena Palestina tak punya tentara. Hanya ada beberapa kelompok sipil bersenjata yang berusaha bertahan seadanya. Negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab tak berdaya. Begitu pula negara-negara berpenduduk mayoritas Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI), tak da...

D-IV atau S1 ?

Suatu malam pada hari Sabtu , tanggal 14, bulan Januari , tahun 2012, berlatar tempatkan teras masjid Al-Ilmi IPDN Kampus Kalimantan Barat, terjadi satu percakapan ringan sangat sederhana tapi kemudian mampu untuk membuat otak ini menjadi rumit karena terus memikirkan substansi dari apa yang diperbincangkan itu, terlalu rumit sehingga saya pikir perlu untuk dituangkan dalam sebuah narasi penuh kata, tidak berpetuah dan tidak juga indah. Tapi cukup-lah untuk sekedar berbagi ide dan informasi yang pastinya tidak sesat. Dan ini-lah percakapan singkat itu : HP ( inisial teman saya ) : “Dim, kamu lebih milih mana, S.IP atau S.STP ?” Saya : “mmm….pengennya sih S.IP” HP : “Kenapa, Dim? Kata orang kan kalo S.STP tuh lebih baik buat karir dan kata orang juga S.IP tuh lebih condong buat jadi dosen.” Saya : “Wah gak tau sih kalo masalah yang kayak gitunya, tapi saya ingin S.IP karena yang saya tau S.IP itu lebih mudah untuk nantinya kita mau nerusin ke S2, nah kalo S.STP itu gak semua unive...