Langsung ke konten utama

Analisis kecil-kecilan tentang PP No. 6 tahun 1974

JUMAT, 18 JULI 2014
21.41 WIB


Saya akan mencoba untuk menuliskan satu hal yang cukup menarik perhatian saya berkenaan dengan pekerjaan yang segera akan saya jalani.

Saat ini, saya adalah seseorang dengan status sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan apabila semua berjalan dengan baik, maka tepat pada bulan Juni 2015, status saya akan berubah menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Sesuatu hal yang cukup membanggakan bagi saya pribadi, karena di usia saya yang sekarang ini, 22 tahun, saya telah mampu untuk memiliki status sebagai seorang CPNS golongan III/a. 


Hal ini adalah sesuatu hal yang harus sangat saya syukuri, terlepas dari anggapan orang bahwa saya hanya akan menjadi seorang “budak”, tapi di saat kebanyakan orang di rentang usia saya masih sibuk untuk mencari pekerjaan ataupun penghasilan. Saya telah mampu untuk mendapatkannya.

Hal menarik yang ingin saya bahas di sini adalah berkenaan dengan pekerjaan sambilan yang sering orang katakan kepada saya sebagai sebuah masukan ketika nantinya saya telah menjadi PNS.

Sudah menjadi sebuah rahasia umum bahwa bekerja sebagai seorang PNS, akan sulit untuk mendapatkan penghasilan besar atau sesuai dengan kondisi kehidupan “cukup” dewasa ini. 


Walaupun saya sendiri sangat meyakini, bahwa standar kehidupan “cukup” menjadi sangat bias untuk dibicarakan. Karena menurut hemat saya, sebenarnya penghasilan sebagai seorang PNS sudah bisa untuk memberikan kehidupan yang layak. Hal itu sangat berbanding lurus dengan bagaimana cara kita dalam menjalani kehidupan ini.

Apabila penghasilan yang kita dapatkan sebagai seorang PNS mampu kita kelola dengan baik dan sepenuhnya kita fokuskan pada pemenuhan kebutuhan pokok sebagai manusia maka jelas penghasilan itu mampu untuk memenuhinya.

Tapi apabila kita kemudian mengharapkan sebuah kehidupan yang serba berlimpah dalam artian mampu untuk juga memenuhi segala kebutuhan sekunder serta tersier dalam hidup ini maka jelas penghasilan sebagai seorang PNS tidak akan mampu untuk memenuhinya.

Tapi kehidupan itu dinamis begitu juga manusia.

Manusia, termasuk saya, jelas tidak akan pernah mau untuk terus bertahan atau terdiam pada satu titik. Kita pasti akan selalu berusaha untuk mendapatkan lebih dari apa yang telah kita miliki saat ini.

Kaitannya dengan itu, maka menjadi sangat masuk akal ketika kemudian banyak orang yang memberikan masukan bahwa akan jauh lebih baik bagi saya untuk memiliki sebuah pekerjaan sambilan di luar pekerjaan utama saya sebagai seorang PNS.

Karena realita yang ada, banyak PNS yang justru menjadi “kaya” atau mempunyai kehidupan yang mapan karena dia sukses untuk meniti usaha di luar pekerjaannya sebagai PNS. Bahkan hal itu dewasa ini lumrah untuk kita temukan di banyak PNS di Indonesia.

Maka hal itu membuat saya sedikit bertanya, apakah memang PNS itu secara aturan diperbolehkan untuk memiliki pekerjaan sambilan di luar pekerjaannya sebagai PNS?

Jujur saya akui, saya memang tidak memiliki bakat atau keterampilan dalam menjalankan sebuah usaha, sehingga saya lebih memilih bekerja sebagai seorang pegawai. Karena saya menyadari bahwa saya hanya memiliki kemampuan di bidang pekerjaan administrasi atau perkantoran.

Saya jarang memiliki pikiran yang out of the box, sehingga saya sulit untuk menemukan formulasi yang mampu menarik perhatian orang banyak dalam artian untuk mampu dijual kepada khalayak luas. Sehingga saya cukup waras untuk sadar bahwa saya tidak mungkin untuk menjadi seorang wiraswasta.

Entah karena pikiran itu atau bukan, maka saya pun kemudian memiliki pemahaman bahwa apabila PNS memiliki sebuah pekerjaan sambilan di luar tugasnya sebagai PNS, maka hal itu akan menggangu konsentrasinya dalam mengerjakan tugas pokok dan fungsinya sehari-hari.

Karena secara idealnya, seorang PNS adalah pelayanan bagi masyarakat, PNS adalah sebuah pengabdian, dan secara teori-nya sebuah pengabdian itu tidak akan pernah memberikan sebuah kekayaan tapi hanya akan mampu memberikan sebuah nama baik atau kebanggaan.

Maka seharusnya setiap orang yang telah dengan sadar memutuskan untuk memilih sebagai PNS tidak lantas berpikir untuk mendapatkan kekayaan karena memang dari awal hal itu tidak bisa untuk didapatkan.

Tapi sekali lagi, hal itu jelas hanya merupakan sebuah teori ideal di atas kertas serta dalam imaji pikiran cendikiwian. 


Kenyataan yang ada di lapangan, kembali harus berbenturan dengan pragmatisme. Antara kebutuhan dan keinginan manusia.

Karena pada akhirnya PNS juga adalah manusia, dan manusia itu jelas harus mempertahankan kelangsungan hidupnya. Mempertahankan kelangsungan hidup membutuhkan banyak biaya, tidak cukup hanya dengan nama baik atau kebanggaan. Dan faktanya kini, penghasilan sebagai seorang PNS hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok, maka sangat masuk akal ketika PNS melakukan pekerjaan sambilan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan lainnya dalam hidup mereka. Iya 'kan?

Tapi setelah saya melakukan pencarian secara kecil-kecilan melalui media internet, ternyata sedari dulu Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan dalam bentuk aturan Peraturan Pemerintah (PP) No.  6 tahun 1974 tentang  Pembatasan Kegiatan PNS dalam Usaha Swasta.

PP tersebut merupakan peraturan yang sudah sangat lama sehingga kemudian saya pun berpikir, apakah peraturan itu masih berlaku?

Karena nyatanya, sekarang ini banyak PNS yang memiliki sebuah usaha.

Dan pertanyaan saya itu kemudian terjawab oleh sebuah tulisan dari Edy Priyono dalam situs http://birokrasi.kompasiana.com/2012/03/02/analisis-peraturan-larangan-berbisnis-bagi-pns-443780.html


Di dalam tulisan itu, Edy Priyono mengaku bahwa dirinya memang bukan ahli hukum sehingga analisis dalam tulisannya masih sangat mungkin untuk terbantahkan.

Akan tetapi logika yang dia gunakan dalam pembahasan tulisannya mengenai apakah PP No. 6 tahun 1974 itu, sangat mampu untuk saya terima dan sangat rasional. Sehingga saya, sejauh ini, setuju dengan apa yang dia tuliskan.

Pada intinya, saya setuju bahwa PP No. 6 tahun 1974 itu masih berlaku sampai dengan saat ini, adapun berikut ini saya lampirkan tulisan lengkap dari Edy Priyono :

Tulisan Edy Priyono
Analisis Peraturan Larangan Berbisnis bagi PNS
02 March 2012 | 17:33

http://birokrasi.kompasiana.com/2012/03/02/analisis-peraturan-larangan-berbisnis-bagi-pns-443780.html

Sebelumnya saya memposting tulisan berjudul “Ini Dia, Aturan Larangan Berbisnis bagi PNS“. Pada intinya, saya menyampaikan apa yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 6 Tahun 1974. Peraturan itu pula yang beberapa kali isinya disampaikan oleh pemerintah (c/q Kementerian Keuangan) ketika menanggapi kasus DW yang sedang ditangani Kejaksaan Agung.

Banyak tanggapan, juga masukan. Terima kasih.

Ada satu masukan/tanggapan menarik yang disampaikan oleh seorang kompasianer, yaitu mengingatkan tentang adanya PP No 53 Tahun 2010. Dalam PP yang mengatur tentang disiplin kerja bagi PNS itu sama sekali tidak tercantum larangan untuk berbisnis. Padahal, dalam PP 6/1974 jelas-jelas ada larangan tersebut (bagi PNS Gol IV/a ke atas, sedangkan bagi Gol III/d ke bawah boleh dengan izin pejabat berwenang). Jadi, singkat kata, menurut PP 6/1974 PNS tidak boleh berbisnis, tetapi menurut PP 53/2010 tidak ada larangan untuk itu.

Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah: Apakah PP 53/2010 menghilangkan ketentuan dalam PP 6/1974 atau tidak? Perlu diketahui, kedua PP itu tidak mengatur hal yang persis sama. PP 6/1974 khusus mengatur pembatasan bagi PNS dalam kegiatan swasta, sedangkan PP 53/2010 mengatur disiplin PNS secara umum.

Tapi mari kita telusuri lebih lanjut dari sisi teknis penyusunan peraturannya. Dalam sebuah peraturan, selalu ada bagian “konsiderans” yang menunjukkan pertimbangan dibuatnya peraturan tersebut, serta “aturan peralihan” yang menyebut peraturan-peraturan apa saja yang dipengaruhi (khususnya: dianggap tidak berlaku) setelah adanya peraturan tersebut.

Mari kita telusuri PP 53/2010 dan PP 6/1974 dengan mengamati bagian konsiderans dan aturan peralihannya, juga peraturan lain yang terkait..

Dalam aturan peralihan PP 53/2010, tidak ada yang secara spesifik menyebut PP 6/1974, baik mencabut atau menyatakannya masih berlaku. Bahkan, dalam Pasal 50 disebutkan bahwa ketentuan mengenai disiplin PNS yang ada sebelumnya dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diubah berdasarkan PP 53/2010 itu. Dengan kata lain, mengacu pada aturan peralihannya, PP 53/210 tidak menghilangkan ketentuan dalam PP 6/1974.

Tapi jangan buru-buru menyimpulkan. Mari kita lanjutkan pembahasan..

PP 53/2010 disusun berdasarkan UU 43/1999 tentang Perubahan atas UU 8/1974 (tentang Pokok-Pokok Kepegawaian). UU No 8/1974 itu sendiri merupakan revisi terhadap UU No 18/1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepegawaian.

Yang menarik adalah ketentuan peralihan yang ada dalam UU 8/1974. Dalam Pasal 39 disebutkan, bahwa dengan dengan diberlakukannya UU No 8/1974, maka UU No 18/1961 dinyatakan tidak berlaku.

Mengapa kaitan dengan UU 18/1961 ini penting? Karena UU itulah yang menjadi dasar penyusunan PP No 6/1974 yang mencantumkan ketentuan larangan berbisnis bagi PNS itu.

Dengan kata lain, PP No 6/1974 merupakan peraturan yang didasarkan pembentukannya pada UU yang sudah tidak berlaku. Pertanyaanya kemudian adalah: Apakah sebuah peraturan yang didasarkan pada UU yang sudah tidak berlaku lagi itu masih dianggap berlaku?

Logikanya, harus tidak. Artinya, PP No 6/1974 yang melarang PNS berbisnis itu mestinya “otomatis” tidak berlaku lagi karena UU 18/1961 yang menjadi “cantolan”-nya sudah tidak berlaku lagi. Benarkah?

Sayangnya tidak demikian.. UU 8/1974 memang mencabut UU 18/1961, tapi penjelasan tentang Pasal 39 UU tersebut menyatakan bahwa peraturan-peraturan yang dibuat berdasarkan UU 18/1961 tetap berlaku selama belum ada penggantinya. Dan karena PP 53/2010 itu tidak mengatur hal yang persis sama dengan PP 6/1974 –yang disebut belakangan itu sangat spesifik, maka PP 53/2010 tidak bisa dianggap menggantikan PP 6/1974. Dengan kata lain, ketentuan larangan/pembatasan berbisnis bagi PNS dalam PP6/1974 masih berlaku.

Kesimpulannya, menurut peraturan, PNS memang dilarang berbisnis, khususnya untuk Golongan IV/a ke atas. Untuk Golongan III/d ke bawah, boleh asal dengan izin Pejabat yang Berwenang..

Itu hasil penafsiran dan analisis saya. Saya sendiri bukan ahli hukum. Jadi kalau ada yang kurang tepat, mohon masukan dan koreksinya.

Semoga bermanfaat!

Lalu apabila memang PP itu masih berlaku, lantas kenapa sekarang ini masih banyak PNS yang tetap memiliki usaha? bahkan menjadi kaya dengan usahanya, dan justru mengesampingkan pekerjaannya sebagai PNS? 

Well, saya pun tak tau kenapa, mungkin hal itu sengaja dibiarkan oleh Pemerintah karena ketidakmampuan pemerintah untuk memberikan penghasilan yang "layak" bagi para aparaturnya.

Mungkin jauh di lubuk hati Pemerintah, Pemerintah merasa malu dengan kondisi keuangan para aparaturnya sehingga akhirnya dengan "berat hati" mereka pun membiarkan PNS untuk memiliki usaha lain di luar tugasnya sebagai PNS.

Apapun alasan yang ada, hal itu tetap menjadi sebuah penilaian buruk bagi Pemerintah, menjadi bukti lain bahwa Pemerintah Indonesia sangat pandai dalam mengeluarkan kebijakan tapi tidak mampu untuk konsisten dalam menegakannya.

Sehingga jangan salahkan sepenuhnya kepada PNS sebagai aparatur negara apabila belum mampu memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat, karena memang Pemerintah pun belum mampu untuk memberikan kesejahteraan bagi PNS.

Sehingga tolong maafkan bila masih banyak PNS yang justru sibuk mengurusi "usaha"-nya dibandingkan dengan pekerjaan utamanya. Karena memang keadaan memaksa PNS untuk berbuat demikian.

Sehingga intinya adalah mari kita sama-sama saling tebarkan perasaan saling memahami dan memaklumi. :)

Always #PMA, folks!

Komentar

  1. Semoga analisis kecil-kecilannya bisa terwujud ya mas..
    Happy Blogging..

    BalasHapus
  2. Jika secara normatif maka argumen adima memang ada betulnya, tapi jika secara yurudis, PP No. 6 Tahun 1974 sudah tergantikan oleh PP No. 53 tahun 2010.
    Dalam PP nomor 53 tahun 2010 yang dikeluarkan SBY, ternyata pasal-pasal larangan berbisnis dihapuskan. Dalam aturan tersebut, terdapat 15 poin dalam pasal 4 yang berisi larangan-larangan bagi PNS.
    Larangan bagi PNS dalam PP 53/2010
    Pasal 4, Setiap PNS dilarang:
    3. tanpa izin Pemerintah menjadi pegawai atau bekerja untuk negara lain dan/atau lembaga atau organisasi internasional;
    4. bekerja pada perusahaan asing, konsultan asing, atau lembaga swadaya masyarakat asing;
    dan tidak melarang utk membuka usaha, asal dengan seizin atasan.

    Tapi balik lagi, seperti hadist yang mengatakan bahwa semua tindakan itu tergantung pada niatnya.. Jika tidak berwiraswasta tetapi memiliki niat buruk dengan status ASN-nya ya lebih parah..

    Abg sedang iseng2 aja lagi ngeblog dek, eh ketemu tulisan ini.. :D

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibadalana uliy ba’sin syadid

Selasa, 22 Juli 2014 22.00 WIB Saya akan menampilkan atau mem- posting tulisan dari Bapak Usep Romli , Pengasuh Pesantren Budaya "Raksa Sarakan" Garut. Tulisan ini merupakan tulisan di kolom Opini , harian Republika yang diterbitkan pada hari Selasa, 22 Juli 2014. Beliau menulis tentang (satu-satunya) cara untuk bisa mengalahkan zionis Israel. sehingga tulisannya pun diberi judul, Mengalahkan Zionis Israel . Berikut ini tulisannya saya tampilkan penuh tanpa ada sedikit pun saya kurangi atau tambahkan. "Mengalahkan Zionis Israel" Hari-hari ini, bangsa Palestina di Jalur Gaza sedang dibombardir pasukan Zionis-Israel. Nyaris tak ada perlawanan sama sekali, karena Palestina tak punya tentara. Hanya ada beberapa kelompok sipil bersenjata yang berusaha bertahan seadanya. Negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab tak berdaya. Begitu pula negara-negara berpenduduk mayoritas Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI), tak da

Hercules dan Moral

The Legend of Hercules Minggu, 9 Februari 2014 10.10 WIB Cukup lama saya tidak menonton sebuah film di bisokop. Untuk sebagian orang, hal ini merupakan sebuah pemborosan karena kondisi yang ada di Indonesia memungkinkan kita untuk bisa menonton sebuah film dengan harga yang jauh lebih murah.  Di Indonesia kita masih bisa untuk mendapatkan sebuah DVD dengan harga yang sangat murah, sekitar 6 (enam) ribu rupiah ( bajakan tentunya tapi dengan kualitas gambar yang cukup baik ), bandingkan dengan harga yang harus dikeluarkan apabila kita menonton sebuah film di bioskop, sekitar 25 ribu – 50 ribu rupiah tergantung bioskop yang kita pilih. Saya pun menyadari hal itu tapi saya tentu juga memiliki alasan. Terlepas dari alasan idealis yang sebenarnya juga masih saya miliki, alasan utama yang ingin saya kemukakan disini adalah bahwa menonton sebuah film di bioskop bagi saya adalah sebuah penyegaran, sebuah hobi untuk melepas penat dan mendapatkan lagi beberapa semangat. Ya, hobi. Mung

Wahana Wyata Praja IPDN

Sejarah Singkat Wahana Wyata Praja Wahana Wyata Praja adalah organisasi internal Praja IPDN yang pada dasarnya mempunyai tugas dan fungsi sama dari tahun ke tahun, namun namanya berubah sesuai situasi dan kondisi pada masa angkatan tersebut. Nama organisasi praja yang terbentuk sejak awal berdirinya STPDN hingga IPDN adalah sebagai berikut: Manggala Corps Praja Angkatan I STPDN sampai dengan angkatan IV STPDN Organisasi ini bernama MANGGALA CORPS PRAJA, yang pimpinannya adalah Manggala Pati dengan tanda jabatan talikur berwarna merah, nama Manggala Corps ini hanya sampai pada angkatan IV saja, karena pada angkatan V organisasi internal Praja ini berubah nama menjadi WAHANA BINA PRAJA. Wahana Bina Praja Angkatan IV STPDN sampai dengan angkatan XVI STPDN Wahana Bina Praja ini pimpinannya bernama Gubernur Praja dengan tanda jabatan talikur berwarna biru lis kuning nestel dua, dari Wahana Bina Praja inilah mulai di bentuk berbagai instansi dan UKP yang di ang