SENIN, 30 MARET 2015
11.24 WIB
Apakah anda telah mengetahui bahwa kini harga BBM telah kembali mengalami kenaikan? Atau apakah anda semua telah mengetahui bahwa kini harga BBM di Indonesia mengikuti "harga keekonomian"?
Jadi BBM dewasa ini akan mengalami kenaikan atau penurunan setidak-tidaknya 2 (dua) minggu sekali, tergantung harga BBM di pasar dunia.
Hal ini telah saya jelaskan secara singkat di akun Instagram (@noors58) akan tetapi akan coba saya kupas lagi di blog ini.
Secara singkatnya kebijakan BBM di era Presiden Jokowi agak berbeda dengan kebijakan BBM di era Presiden SBY. Presiden Jokowi merumuskan kebijakan mengenai BBM ini menjadi 3 (tiga) kategori.
Kategori pertama adalah BBM tertentu bersubsidi (solar dan minyak tanah), kategori kedua yakni BBM penugasan (yang didistribusikan ke wilayah jauh) dan BBM Umum (mengikuti harga keekonomian), dan kategori ketiga yaitu BBM non-subsidi (jalur Jawa-Madura-Bali).
Adapun BBM jenis Premium yang digunakan khalayak luas di Indonesia termasuk ke dalam kategori kedua, tepatnya adalah kategori BBM Umum. Sehingga kini, harga BBM, khususnya Premium akan selalu naik dan juga turun (fluktuatif) mengikuti harga "keekonomian".
Satu hal yang perlu kita garisbawahi di sini adalah istilah "harga keekonomian" yang digunakan oleh Presiden Jokowi sebenarnya hanya menyamarkan arti senyatanya dari kebijakan yang kini dilakukan olehnya.
Secara kasat mata, tak perlu seorang pakar ekonomi, sudah bisa melihat dan menyimpulkan bahwa "harga keekonomian" adalah penyebutan lain dari istilah pasar bebas.
Ya harga BBM di Indonesia kini mengikuti pasar yang ada. Disesuaikan dengan harga yang berlaku di pasaran minyak dunia. Jadi, wajar untuk mengalami kenaikan atau penurunan.
Untuk contoh lebih sederhananya adalah kini harga Premium akan mengalami nasib yang sama dengan harga Pertamax, selalu berubah-rubah.
Saya setuju bahwa subsidi selama ini lebih banyak dirasakan oleh golongan dengan penghasilan menengah ke atas. Tapi saya sangat tidak setuju bila kemudian ekonomi pasar bebas yang dipilih dalam menentukan harga BBM di Indonesia.
Bahwa kebijakan subsidi itu memberatkan keuangan negara dan salah sasaran itu memang faktanya, tapi solusi bukan dengan melepaskan sepenuhnya harga BBM pada mekanisme pasar. Pemerintah harus tetap melakukan intervensi.
2 (dua) alasan saya sangat tidak menyetujui keputusan pemerintah menerapkan kebijakan mengikuti harga "keekonomian' adalah :
Pertama, hal itu teramat jelas melanggar atau setidaknya tidak sesuai dengan amanat konstitusi yang ada serta disepakati oleh negara kita.
Silahkan anda semua baca dan hayati amanat yang tercantum di dalam Pasal 33 UUD 1945,
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Ya, tak ada penyebutan secara langsung dan spesifik bahwa ekonomi di Indonesia tidak menganut pasar bebas. Akan tetapi kata keadilan dan menjaga keseimbangan kemajuan serta kesatuan ekonomi nasional cukup untuk dijadikan fondasi bahwa seharusnya pemerintah tidak melepaskan begitu saja harga BBM kepada mekanisme pasar.
Kenapa harga BBM yang mengikuti harga pasar bisa memberikan ketidakadilan dan menganggu keseimbangan kemajuan serta kesatuan ekonomi nasional?
Hal itu erat kaitannya dengan alasan saya yang kedua yakni tidak adanya kejelasan harga bagi masyarakat menengah ke bawah, khususnya pedagang dan pengusahan yang bergerak di bidang transportasi.
Ketika harga BBM dengan mudahnya mengalami kenaikan atau penurunan dalam waktu yang relatif dekat, maka para pedagang kecil serta pengusaha kecil di bidang transportasi, yang belum memiliki modal besar akan kesulitan dalam menentukan dan menetapkan harga. Modal yang mereka miliki tentu akan terus mengalami perubahan dan itu jelas berpengaruh terhadap keutungan yang mereka dapatkan.
Mereka tak akan lagi memiliki perhitungan keuangan yang stabil karena selalu was-was menunggu perubahan harga BBM.
Jadi inti dari alasan penolakan saya yang kedua adalah tidak adanya kejelasan bagi masyrakat golongan menengah ke bawah.
Pemerintah harus berpikir lebih keras lagi, memikirkan solusi cerdas nan efektif untuk permasalahan harga BBM ini. Solusi yang tidak menyerahkan harga BBM kepada mekanisme pasar karena BBM masih berpengaruh kuat pada hajat hidup orang banyak.
Terkecuali bila pemerintah telah mampu untuk mengalihkan (mengkonversi) sehingga BBM tidak lagi menjadi komoditi utama dalam hajat hidup orang banyak di Indonesia. Energi alternatif mungkin.
#PMA
Komentar
Posting Komentar