Langsung ke konten utama

Kemunafikan

SELASA, 24 MARET 2015
09.29 WIB

Berawal dari sebuah postingan teman saya di situs jejaring sosial Instagram (IG). Renungan ini kembali menghantui. Bukan, bukan, menghantui secara nyata dan berimbas negatif, hanya sebuah perenungan manifestasi dari ketakutan manusia terhadap masa depan dan ketidakmampuan menunjukan eksistensi.

Sebuah foto yang dia bubuhi caption yang kurang lebih berisi : "Dari meja ini muncul semua ide, gagasan dan pemikiran yang sarat dengan idealisme. Apakah idealisme itu sekarang masih ada?"

Lalu beberapa komentar datang menyertai memberikan pandangan yang cukup mewarnai. Satu orang mengatakan, "menghilang tergerus zaman pak". Ada yang lain mengutarakan, "idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki pemuda, are you lost it?". Dan yang lain berujar, "Ketika idealisme itu di hadang materi apakah bapak sanggup? Sedangkan tuntutan ekonomi semakin meninggi. Tanya pada diri sendiri."

Sejujurnya perbincangan mengenai itu sungguh sangat menarik. Selalu menimbulkan sebuah pemikiran baru, terlebih ketika disandingkan dengan teori serta kutipan-kutipan dari para ahli ataupun pejuang di zaman terdahulu. 

Tapi "adu komentar" di IG tersebut tak berlangsung lama. Orang-orang yang melempar komentar di IG itu tak melanjutkan komentar mereka, semua terhenti.

Kenapa? entah, mungkin akhirnya mereka semua terdiam dan berpikir tentang idealisme yang kini mereka pegang. Karena pada akhirnya hanya diri sendiri yang tau tentang hal sebenarnya terjadi oleh pribadinya masing-masing. Tak akan ada yang bisa membohongi nurani.

Adapun kutipan dari seorang Tan Malaka adalah benar adanya. Bahwa tanpa idealisme maka tak mungkin kehidupan ini berjalan dengan baik. Tapi pada kenyataannya membeli kebutuhan sehari-hari tak cukup dengan idealisme. 

Idealisme sebagai hal yang mewah menurut Tan Malaka, tak bisa menghidupi seorang pemuda. Tak lantas bisa memberikan kecukupan dalam kehidupan sehari-hari.

Jangan kemudian artikan saya matrealistis, anda bisa membaca terlebih dahulu tulisan saya terdahulu ( baca : Idealisme ).

Tapi kini saya pun merasakan bagaimana hidup mengelola sendiri penghasilan yang saya dapatkan setiap bulannya. Jadi, benturan antara idealisme dan keharusan untuk bertahan hidup terjadi sangat kuat.

Mungkin kini saya masih mampu bertahan, sesekali masih bisa meniupkan kritikan melalui tulisan yang walaupun tak berarti apa-apa, tapi sampai kapan? Tak ada apresiasi, tak ada perubahan pasti, apalagi materi. Ini adalah ukuran idealisme yang saya miliki.

Bagi saya, kemampuan dan kemauan saya menulis, mengeluarkan segala ide dan perasaan, adalah bentuk idealisme saya. Tapi ketika semua ini tak memiliki arti serta bertentangan dengan realita sehari-hari pekerjaan saya dalam dunia birokrasi. Saya hanya menjadi hiprokit. Sampai kapan?

Bukan pamrih, tapi manusia butuh motivasi. Dan itu tak harus melulu materi tapi cukup apresiasi. Jadi, apakah idealisme akan mampu terus saya jalani?

#PMA

Komentar

  1. Izin kang, ada artinya kok kang buat saya. Berbanggalah karena akang masih memiliki dan mempertahankan idealisme akang sementara yang lain tidak dan mungkin mereka dalam kesesatan yang sesungguhnya, heheh.
    Tulisan akang mungkin kurang dipromosiin aja kang. Yang jadi masalah juga kurangnya minat baca seseorang. Sayapun bingung, kebanyakan orang zaman sekarang malas membaca pun muak mendengarkan.

    BalasHapus
  2. aduh neng akang terharu baca komentarnya, selalu kasih komentar yg memotivasi. Nuhun neng. *nangis

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibadalana uliy ba’sin syadid

Selasa, 22 Juli 2014 22.00 WIB Saya akan menampilkan atau mem- posting tulisan dari Bapak Usep Romli , Pengasuh Pesantren Budaya "Raksa Sarakan" Garut. Tulisan ini merupakan tulisan di kolom Opini , harian Republika yang diterbitkan pada hari Selasa, 22 Juli 2014. Beliau menulis tentang (satu-satunya) cara untuk bisa mengalahkan zionis Israel. sehingga tulisannya pun diberi judul, Mengalahkan Zionis Israel . Berikut ini tulisannya saya tampilkan penuh tanpa ada sedikit pun saya kurangi atau tambahkan. "Mengalahkan Zionis Israel" Hari-hari ini, bangsa Palestina di Jalur Gaza sedang dibombardir pasukan Zionis-Israel. Nyaris tak ada perlawanan sama sekali, karena Palestina tak punya tentara. Hanya ada beberapa kelompok sipil bersenjata yang berusaha bertahan seadanya. Negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab tak berdaya. Begitu pula negara-negara berpenduduk mayoritas Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI), tak da

Hercules dan Moral

The Legend of Hercules Minggu, 9 Februari 2014 10.10 WIB Cukup lama saya tidak menonton sebuah film di bisokop. Untuk sebagian orang, hal ini merupakan sebuah pemborosan karena kondisi yang ada di Indonesia memungkinkan kita untuk bisa menonton sebuah film dengan harga yang jauh lebih murah.  Di Indonesia kita masih bisa untuk mendapatkan sebuah DVD dengan harga yang sangat murah, sekitar 6 (enam) ribu rupiah ( bajakan tentunya tapi dengan kualitas gambar yang cukup baik ), bandingkan dengan harga yang harus dikeluarkan apabila kita menonton sebuah film di bioskop, sekitar 25 ribu – 50 ribu rupiah tergantung bioskop yang kita pilih. Saya pun menyadari hal itu tapi saya tentu juga memiliki alasan. Terlepas dari alasan idealis yang sebenarnya juga masih saya miliki, alasan utama yang ingin saya kemukakan disini adalah bahwa menonton sebuah film di bioskop bagi saya adalah sebuah penyegaran, sebuah hobi untuk melepas penat dan mendapatkan lagi beberapa semangat. Ya, hobi. Mung

Wahana Wyata Praja IPDN

Sejarah Singkat Wahana Wyata Praja Wahana Wyata Praja adalah organisasi internal Praja IPDN yang pada dasarnya mempunyai tugas dan fungsi sama dari tahun ke tahun, namun namanya berubah sesuai situasi dan kondisi pada masa angkatan tersebut. Nama organisasi praja yang terbentuk sejak awal berdirinya STPDN hingga IPDN adalah sebagai berikut: Manggala Corps Praja Angkatan I STPDN sampai dengan angkatan IV STPDN Organisasi ini bernama MANGGALA CORPS PRAJA, yang pimpinannya adalah Manggala Pati dengan tanda jabatan talikur berwarna merah, nama Manggala Corps ini hanya sampai pada angkatan IV saja, karena pada angkatan V organisasi internal Praja ini berubah nama menjadi WAHANA BINA PRAJA. Wahana Bina Praja Angkatan IV STPDN sampai dengan angkatan XVI STPDN Wahana Bina Praja ini pimpinannya bernama Gubernur Praja dengan tanda jabatan talikur berwarna biru lis kuning nestel dua, dari Wahana Bina Praja inilah mulai di bentuk berbagai instansi dan UKP yang di ang