SENIN, 25 APRIL 2016
07.18 WIB
Ini bukan yang pertama. Terus menyakiti wanita di saat perasaannya begitu besar kepada saya. Apakah saya sebegitu sombongnya sehingga terus melakukan hal yang sama?
Saya tau, apapun alasan yang kemudian saya kemukakan hanya akan dipandang sebagai omong kosong.
Pada akhirnya lelaki dinilai berdasarkan seberapa banyak janji yang mampu dia realisasikan. Jadi tak akan berguna setiap kata yang saya untai sebagai kalimat pembuka permintaan maaf.
Saya menjadi seseorang yang sangat berdosa karena telah membuat wanita begitu sangat mencintai, dengan berjuta janji dan usaha yang saya lakukan, tapi di saat akhir saya justru pergi meninggalkannya.
Jelas dia akan menyematkan penipu kepada saya! Jelas dia akan meneriaki saya sebagai seorang pembohong. Begitu juga dengan sahabat yang ada di sekitar dia.
Saya tak munafik. Saya tak ingin membuat dia terus merasa sakit. Saya tak bisa memberikan kepastian.
Dia katakan ingin terus bertahan. Ya, ini sangat terlambat. Sangat tak masuk akal dan sangat tak berperasaan. Ketika telah lebih dari 2 tahun bersama, ketika telah mampu hati orang tuanya luluh menerima saya, ketika dia pun telah sangat menggantungkan harapan kepada saya.
Di saat-saat itu, saya justru melemparkan bendera putih, memilih untuk menyerah.
Bila memang sekiranya saya akan menyerah, kenapa saya begitu ngotot bertahan di awal bersamanya, begitu bersemangat meyakinkan hatinya juga kedua orang tuanya untuk melepaskan anaknya mengikuti kemanapun jejak saya melangkah nantinya. Kenapa setelah semua perjuangan itu, saya kemudian kini memilih untuk menyerah? Bukankah perjuangan yang telah dilalui terlampau banyak.
Banyak hal yang juga telah dia korbankan hanya untuk meredam segala emosi dan ego yang saya miliki. Betapa dia sangat sabar menahan diri untuk mendengar setiap cacian yang keluar dari mulut ketika amarah membuncah. Dia ikuti semua aturan saya. Semua aturan yang mengekang kehidupannya. Harus memisahkan dan memberikan sekat antara kehidupannya dengan sahabatnya. Dia ikuti semua itu tanpa bantahan, dengan penuh kesabaran. Dan kenapa setelahnya saya justru meninggalkannya?
Saya adalah aktor antagonis dalam setia lakon percintaan yang saya sendiri ciptakan kemudian saya sendiri hancurkan. Saya yang sedari awal memberikan gambaran indah cinta tapi saya juga yang menghancurkannya. Saya yang sebenarnya mengajarkan optimisme dalam menjalin sebuah komitmen tapi saya yang justru menyerah karena rasa pesimis, terkalahkan oleh bayangan kejamnya dunia materialis. Saya sendiri yang mengatakan bahwa hidup harus menyandarkan pada petuah agama, tapi saya juga yang tak bisa untuk mempercayai sepenuhnya Janji Tuhan.
Di satu sisi saya katakan bahwa saya tak ingin menjadi munafik tapi tindakan saya sungguh penuh kemunafikan.
cintaaa, deritamu memang tiada akhir - cu pat kai -
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusIzin kang, kalau alasan akang meninggalkan wanita itu adalah karena sadar bahwa hubungan yang dijalani adalah salah (berdasar agama), rasanya akang melakukan sesuatu yang benar. Tapi kalau akang sudah cukup sadar dan belum yakin untuk mengikat seseorang dalam tali pernikahan, jangan biarkan (lagi) seseorang menaruh harap kang. Rasanya, wanita yang mencintai lelakinya dengan tulus karena Allah, pasti akan bertahan dengan bagaimanapun kondisi yang sedang atau akan dihadapi lelakinya. Lantas apakah perasaan negatif itu harus menjadikan akang menyerah? Izin kang. Mohon maaf kalau komentar ini sebenarnya tidak patut disampaikan oleh junior. Tapi anggap saja saya berperan sebagai pembaca biasa ya kang, bukan junior. Ngeri juga kang kalau dikoreksi. Hhe. Izin kang.
BalasHapusterima kasih atas masukannya neng, insya allah gak akn membuat wanita berharap tanpa ada kejelasan :) hehe
BalasHapusSiap kang, aamiin. :)
BalasHapus