Langsung ke konten utama

Definisi Ilmu Filsafat dan Ilmu Kalam

Artikel ini mulai ditulis pada hari Rabu tanggal 11 Safar 1442 H atau 30 September 2020, pukul 14.00 WIB.

Bissmillah walhamdulillah was shallatu wa sallam ala rasulillah

PENDAHULUAN
Ketika saya mulai sedikit demi sedikit membaca buku-buku Islam yang mengajarkan tentang aqidah maka saya mulai sering membaca tentang ahli kalam dan ahli filsafat. Ahli kalam dan ahli filsafat sangat dicela di dalam pembahasan aqidah Islam karena mereka mengedepankan akal di atas dalil.

Mereka mencoba memahami perkara ghaib melalui pendekatan akal semata, sehingga akhirnya banyak perkara ghaib yang termasuk ke dalam prinsip aqidah Islam harus mereka tolak atau minimalnya mereka tafsirkan kepada penafsiran yang keliru dengan alasan tidak masuk akal. Allahul Musta’an.

Secara sederhana, ahli kalam adalah ahli filsafat dan begitu juga sebaliknya. Setidaknya pemaknaan itu yang sampai saat ini saya gunakan ketika para asatiz membahas tentang ahli kalam atau ahli filsafat. Tapi ternyata hal itu mendapat bantahan yang cukup keras dari para ahli filsafat muslim. Mereka keukeuh mengatakan bahwa filsafat dan ahli kalam adalah dua hal yang berbeda. Sehingga celaan para ulama rabbani kepada ahli kalam tidak berlaku kepada ilmu filsafat secara umum. Allahu a’lam.

Walhamdulillah, di tengah kebimbingan saya mencari sumber referensi yang mampu menjelaskan definisi dari filsafat dan ahli kalam, Allah mudahkan saya untuk bisa menemukan sebuah artikel ringkas tapi ilmiah yang menulis tentang filsafat dan ahli kalam.

Artikel tersebut ditulis oleh Ustaz Muslim Al-Atsari --hafizahullah--. Beliau adalah seorang pengajar di Pondok Pesantren Ibnu Abbas As Salafi, Sragen, Jawa Tengah. Tulisan tersebut merupakan sebuah jawaban yang Beliau --hafizahullah-- berikan kepada seseorang yang bertanya tentang alasan ilmu filsafat disebut juga dengan ilmu kalam, apakah boleh mempelajari ilmu kalam dan apakah ilmu kalam masuk ke dalam pembahasan ushul fiqh.

Beliau --hafizahullah-- kemudian menjawab beberapa pertanyaan tersebut dengan terlebih dahulu menjelaskan secara ringkas definisi dari ilmu filsafat dan ilmu kalam. Tulisan tersebut diberi judul Pengaruh Ilmu Kalam di Dalam Ushul Fiqih yang telah di terbitkan secara daring di situs https://bimbinganislam.com/pengaruh-ilmu-kalam-di-dalam-ushul-fiqih/.

Adapun Bimbingan Islam (BiAS) adalah wadah untuk belajar agama Islam melalui media aplikasi media sosial, seperti website dan Whatsapp. Saat ini BiAS bermarkas di Jalan Nyi Ageng Nis, KG1/511, Rejowinangun, Kotagede, Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia

BiAS diasuh dan dibimbing oleh para ustaz lulusan dari Universitas Islam Al-Madinah Kerajaan Saudi Arabia. Beberapa asatizah pembimbing dan pemateri di bimbingan islam adalah Ustaz Fauzan Abdullah, Ustaz Amrullah Akadhinta, Ustaz Rosyid Abu Rosyidah, Ustaz Abul Aswad Al Bayati, Ustaz Ratno, Ustaz Riki Kaptamto, Ustaz Rizqo Kamil, dan Ustaz Arief Budiman --hafizahumullah--.

Oleh karena itu, artikel yang dimuat di situs BiAS insyaallah merupakan artikel ilmiah dan bisa dipertanggungjawabkan. Di bawah ini saya muat secara utuh (catatan: saya menghilangkan seluruh teks arab) tulisan Ustaz Muslim Al-Atsari yang berjudul Pengaruh Ilmu Kalam di Dalam Ushul Fiqih. Semoga bisa memberikan manfaat bagi kita semua.

MAKNA FILSAFAT
Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia, kata majemuk dari philos yang berarti suka atau cinta, dan sophia yang berarti kebijaksanaan. Sehingga secara bahasa berarti mencintai kebijaksanaan.

Adapun secara istilah banyak definisi yang dikemukakan oleh orang-orang yang menggelutinya. Yang ringkasnya adalah: "Ilmu yang menyelidiki hakekat ketuhanan, alam semesta dan manusia, berdasarkan akal semata-mata, dan bagaimana sikap manusia setelah mencapai pengetahuan itu”. (Lihat Sistimatik Filsafat, hal: 11, Drs. Hasbullah Bakri)

Intinya, bahwa filsafat adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui hakekat segala perkara berdasarkan pemikiran akal semata.

MAKNA ILMU KALAM
Ilmu kalam secara bahasa dari ilmu dan kalam. Ilmu artinya pengetahuan, sedangkan kalam artinya perkataan atau pembicaraan.

Adapun ta’rif ilmu kalam adalah sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Khaldun --rohimahulloh-- (wafat th. 1406 M): “Ilmu yang memuat argumen-argumen aqidah (keyakinan-keyakinan) keimanan berdasarkan dalil-dalil akal, dan bantahan terhadap para ahli bid’ah yang menyimpang di dalam aqidah dari pendapat Salaf dan Ahli Sunnah”.
(Muqoddimah Ibni Kholdun, 1/580)

Adapun sebab penamaan ilmu kalam dengan ilmu kalam ada beberapa sebab, antara lain:
A) Bahwa dengan ilmu ini, seseorang mampu “kalam” (berbicara) dalam masalah keyakinan keimanan.
B) Bahwa masalah keyakinan keimanan adalah masalah yang banyak “kalam” (pembicaraan) dan perdebatan dengan orang-orang yang menyelisihinya.
C) Bahwa Ahli Kalam banyak “kalam” (berbicara) dalam masalah keyakinan keimanan, yang seharusnya diam dan tidak membicarakannya.
D) Bahwa masalah “Al-Qur’an adalah kalam (perkataan) Allah” adalah masalah yang banyak dibicarakan di dalamnya. Wallohu a’lam.

PERBEDAAN FILSAFAT DENGAN ILMU KALAM
Filsafat dan Ilmu Kalam memiliki persamaan di dalam menggunakan muqaddimah-muqaddimah (pengantar-pengantar; premis-premis) berdasarkan akal untuk menegakkan penjelasan.

Namun terdapat perbedaan-perbedaan antara keduanya, sebagai berikut:
1-Tema Pembahasan
Tema Pembahasan filsafat lebih luas daripada ilmu kalam. Filsafat membahas masalah Ketuhanan (Teologi), Alam (Fisika), Matematika, dan Pembahasan Mantiq (Logika). Sedangkan ilmu kalam hanya membahas tentang aqidah (keyakinan-keyakinan) keimanan.
2-Metodologi Pembahasan
Ahli kalam membela aqidah (keyakinan-keyakinan) keimanan, seperti keberadaan Allah, keesaan Allah, kenabian, dan lainnya, berpegang dengan dalil-dalil akal. Sedangkan Ahli Filsafat juga berpegang dengan dalil-dalil akal, namun memiliki keyakinan yang kontra dengan Ahli Kalam.
3-Sisi Kemunculan dan Perkembangan
Kemunculan filsafat lebih dahulu dari ilmu kalam. Filsafat muncul bukan dari satu bangsa tertentu, namun dibangun oleh berbagai bangsa. Sehingga di dapatkan filsafat India Kuno, filsafat Cina, filsafat Yunani, filsafat Barat Modern, dan filsafat Arab. Sedangkan ilmu kalam hanya muncul di kalangan kamu muslimin, karena tujuan kemunculannya adalah untuk membantah orang-orang ateis atau ahli bid’ah yang menyimpang, menurut anggapannya.

PERCAMPURAN ILMU KALAM DENGAN FILSAFAT
Pada asalnya ada beberapa perbedaan antara filsafat dengan ilmu kalam sebagaimana di atas, namun di dalam praktiknya keduanya bercampur menjadi satu.

Ibnu Khaldun (wafat th. 1406 H): “Dua metode itu (filsafat dan Ilmu kalam) telah bercampur di kalangan Muta-akhirin. Masalah-masalah kalam telah bercampur dengan masalah-masalah filsafat, yang mana kedua cabang ilmu itu tidak terpisahkan dari yang lain”. (Muqoddimah Ibni Kholdun, 1/591)

Adapun penyebabnya adalah karena Abu Hamid Al-Ghazali memasukkan ilmu mantiq (logika) ke dalam ilmu-ilmu kaum muslimin, kemudian diikuti oleh banyak orang lainnya.
(Lihat Muqoddimah Ibni Kholdun, 1/590)

Sebagaimana penjelasan di atas, bahwa ilmu filsafat memiliki cabang-cabang filsafat yang sesuai dengan bidang-bidang yang dikajinya. Abu Hamid Al-Ghazali (wafat th. 505 H) menyebutkan bahwa filsafat mencakup 4 pembahasan: Ketuhanan (Teologi), Alam (Fisika), Matematika, dan Pembahasan Mantiq (Logika).
(Ihya’ Ulumuddin, 1/22)

BOLEHKAH MEMPELAJARI FILSAFAT?
Sebelum menjawab pertanyaan ini, perlu kami sampaikan bahwa penggunaan dalil-dalil akal tidaklah mutlak dilarang oleh Ulama. Karena di dalam Al-Qur’an banyak menggunakan dalil-dalil akal untuk mengajak manusia beriman dan untuk membantah kemusyrikan dan kekafiran.

Para Fuqoha (Ahli hukum Islam) menggunakan qiyas fiqih, dan ini termasuk penggunaan dalil-dalil akal. Demikian juga imam-imam Salaf menggunakan dalil-dalil akal di dalam bantahan mereka kepada para Ahli Bid’ah, seperti Jahmiyah, Mu’tazilah, dan lainnya.

Tetapi Ulama melarang menggunakan akal bukan pada tempatnya. Penggunaan akal di dalam pembahasan Alam (Fisika), Matematika, dan Pembahasan Mantiq (Logika), secara umum tidak disalahkan. Sebab pembahasan itu ada di dalam jangkauan akal.

Namun penggunaan akal di dalam pembahasan Ketuhanan (Teologi) atau kepercayaan, inilah yang dilarang oleh ulama. Sebab ini adalah pembahasan dalam perkara ghaib. Ini adalah bidang wahyu. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah --rohimahulloh-- (wafat th 728 H) berkata:

“Kesalahan yang diucapkan oleh Ahli Filsafat tentang ketuhanan (teologi), kenabian, akhirat, dan syari’at-syari’at, lebih besar dari kesalahan Ahli Kalam. Namun apa yang diucapkan oleh Ahli Filsafat tentang ilmu-ilmu alam dan matematika, terkadang kebenaran Ahli Filsafat lebih banyak daripada Ahli Kalam yang membantah mereka. Karena kebanyakan perkataan Ahli Kalam di dalam perkara-perkara ini tanpa ilmu, tanpa akal, dan tanpa syari’at. Dan kami tidak menyalahkan perkara-perkara (ilmu) alam dan matematika yang telah diketahui (kebenarannya)”.
(Ar-Rodd ‘alal Mantiqiyyin, hlm. 311)

BOLEHKAH MEMPELAJARI ILMU KALAM?
Perlu diketahui bahwa semenjak awal masuknya ilmu filsafat ke dalam ilmu-ilmu kaum muslimin, sudah terjadi perselisihan. Sebagian orang menganggapnya sebagai kebaikan, sebagian yang yang lain menganggapnya sebagai bid’ah dan keburukan. Dan itu terus berlanjut sampai sekarang. Bahkan terjadi kesalahan banyak orang sekarang, yaitu menyamakan ilmu kalam dengan ilmu tauhid, ilmu aqidah, ilmu fiqih akbar.

Maka untuk mengetahui kebenaran dari hal-hal yang diperselisihkan kaum muslimin, harus dikembalikan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Alloh Ta’ala berfirman (yang artinya):

“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Alloh dan ta’atilah Rosul (Nya), dan ulil amri (ulama dan umaro’) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
(QS. An-Nisa’/4: 59)


Dan kita harus meyakini bahwa agama Islam sudah sempurna, Al-Qur’an dan As-Sunnah sudah mencukupi kaum muslimin di dalam meniti jalan kebenaran. Tanpa ilmu filsafat dan ilmu kalam, agama Islam sudah cukup dan sempurna.

Alloh Ta’ala berfirman (yang artinya):

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agamamu.”
(QS. Al-Maidah/5: 3)


Kita juga wajib menjadikan generasi awal umat ini sebagai teladan di dalam beragama, sebab mereka adalah sebaik-baik manusia. Dan mereka tidak mengenal ilmu filsafat dan ilmu kalam.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya):

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (yaitu generasi sahabat), kemudian orang-orang yang mengiringinya (yaitu generasi tabi’in), kemudian orang-orang yang mengiringinya (yaitu generasi tabi’ut tabi’in).”
(Hadits Mutawatir, riwayat Bukhari, dan lainnya)

Imam Ibnul Qoyyim --rohimahulloh-- (wafat th. 751 H) berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberitakan bahwa sebaik-baik generasi adalah generasi beliau secara mutlak. Itu mengharuskan mendahulukan mereka di dalam seluruh masalah dari masalah-masalah kebaikan”.
(I’lamul Muwaqqi’in 2/398), penerbit: Darul Hadits, Kairo, th: 1422 H / 2002 H)

Dan ketika terjadi perselisihan umat Islam, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sudah memberikan wasiat (yang artinya):

“Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertaqwa kepada Allah; mendengar dan taat (kepada penguasa kaum muslimin), walaupun seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya barangsiapa hidup setelahku, dia akan melihat perselishan yang banyak. Maka wajib kamu berpegang kepada Sunnahku dan Sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah dan giggitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat.”
(HR. Abu Dawud no: 4607; Tirmidzi 2676; Ad-Darimi; Ahmad; dan lainnya dari Al-‘Irbadh bin Sariyah)


Dan kenyataan, bahwa ilmu filsafat dan ilmu kalam tidak ada di dalam sunah Nabi dan sunah Khulafaur Rosyidin.

SIKAP IMAM YANG EMPAT
Salafus Sholih dari kalangan sahabat dan tabi’in tidak mengenal ilmu filsafat dan ilmu kalam. Dan ketika ilmu filsafat merasuki sebagian kaum muslimin, para ulama menentangnya. Kami bawakan perkataan imam empat, imam-imam yang diakui di seluruh dunia kaum muslimin.

Imam Abu Hanifah --rohimahulloh-- (wafat th 150 H)

Dari Nuh Al-Jami’, dia berkata : "Aku bertanya kepada Abu Hanifah, 'Bagaimana pendapatmu mengenai perkara yang diada-adakan oleh orang-orang, yaitu kalam (pembicaraan) tentang sifat dan jisim?'.
Maka beliau menjawab: 'Itu adalah perkataan-perkataan Ahli Filsafat! Hendaklah engkau mengikuti riwayat dan jalan Salaf! Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), sesungguhnya itu adalah bid’ah!'”
(Ahadits fii Dzammil Kalam wa Ahlihi, hlm. 86)

Imam Malik --rohimahulloh-- (wafat th 179 H)

Dari Abdurrahman bin Mahdiy, dia berkata: “Aku masuk menemui (imam) Malik bin Anas, dan di dekatnya ada seorang laki-laki yang bertanya tentang Al-Qur’an, maka beliau berkata, 'Mungkin engkau termasuk murid-murid ‘Amr bin ‘Ubaid. Semoga Allah melaknat ‘Amr (bin ‘Ubaid), dia telah membuat bid’ah (ilmu) kalam, jika kalam merupakan ilmu, niscaya para sahabat dan para tabi’in telah berbicara (dengan ilmu kalam) tentang hukum-hukum dan syari’at-syai’at. Tetapi itu (ilmu kalam) adalah kebatilan dan menunjukkan kepada kebatilan'".
(Ahadits fii Dzammil Kalam wa Ahlihi, hlm. 96-97)

Imam Syafi’iy --rohimahulloh-- (wafat th 204 H)

“Jika seseorang mewasiatkan kitab-kitab ilmunya untuk orang lain, dan di dalam kitab-kitabnya itu ada kitab-kitab ilmu kalam, maka kitab-kitab ilmu kalam itu tidak masuk di dalam wasiat, sebab ilmu kalam itu bukan ilmu!”
(Ahadits fii Dzammil Kalam wa Ahlihi, hlm. 90)

Imam Ahmad bin Hanbal --rohimahulloh-- (wafat th 241 H)
Imam Ahmad menyatakan di dalam suratnya yang beliau tulis kepada Kholifah Al-Mutawakkil dalam masalah Al-Qur’an:

“Aku bukan ahli kalam, dan aku tidak berpandangan untuk ‘kalam’ (berbicara) di dalam sesuatupun tentang ini, kecuali apa yang ada di dalam Kitab Alloh ‘Azza wa Jalla, atau yang ada di dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam , atau dari sahabat-sahabatnya, atau dari tabi’in. Adapun selain itu, maka ‘kalam’ (pembicaraan tentang agama) tidak terpuji”.
(Al-Masail war Rosail, 2/398, dinukil dari Mausu’atul Firoq al-Muntasibah lil Islam, hlm. 208)

Ini adalah sebagian kecil perkataan Imam Empat tentang ilmu kalam. Masih banyak sekali perkataan mereka dan para ulama lainnya tentang keburukan ilmu kalam.
 
Yang aneh adalah para ulama ilmu kalam yang menjadi pengikut Madzhab Empat. Mereka meninggalkan perkataan imam-imam mereka yang mengharamkan dan mencela ilmu kalam, yang ini adalah masalah ushuluddin. Namun mereka mengajak untuk bertaqlid kepada imam-imam mereka itu di dalam masalah furu’ (hukum-hukum fiqih).

KEBENARAN NASEHAT SALAF
Para ulama Salaf, termasuk Imam Empat, telah memberikan nasehat yang benar, ketika mereka melarang kaum muslimin dari mempelajari ilmu kalam. Karena ternyata ilmu kalam tidak membawa kepada keyakinan beragama, bahkan mengakibatkan kebingungan dan keraguan. Padahal niat para Ahli Kalam sebenarnya untuk meraih keyakinan di dalam beragama. Banyak tokoh-tokoh ilmu kalam berakhir dengan penyesalan setelah menggeluti ilmu kalam, kemudian mereka kembali kepada aqidah Salaf, berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Di antara mereka adalah Al-Fakhrur Razi --rohimahulloh-- (wafat th. 606 H). Beliau berkata:

"Akhir mendahulukan akal adalah keruwetan. Kebanyakan usaha manusia adalah kesesatan. Ruh-ruh kami di dalam kedukaan terhadap jasad kami. Akibat dunia kami adalah penderitaan dan kebinasaan. Kami tidak mendapatkan faedah dari pembahasan kami sepanjang umur kami. Kecuali apa yang telah kami kumpulkan berupa 'katanya' dan 'mereka telah berkata'.

Sesungguhnya aku telah memikirkan metode-metode ilmu kalam (mantik, logika), dan kaedah-kaedah filsafat, maka aku tidaklah melihatnya akan menyembuhkan orang yang sakit dan tidak melegakan orang yang dahaga. Dan aku telah melihat metode yang paling praktis adalah metode Al-Qur’an.

Aku membaca di dalam penetapan (sifat Allah) : (Yaitu) Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas ‘Arsy. (QS. Thoha/20: 5). Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. (QS. Fathir/35: 10)

Dan aku membaca di dalam peniadaan (sifat Allah): Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. (QS. Asy-Syura/42: 11). Sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya. (QS. Thoha/20: 110)

Barangsiapa telah memiliki pengalaman sebagaimana pengalamanku, niscaya dia mengetahui seperti pengetahuanku”.

(Ighotsatul Lahfan, 1/72, karya Ibnul Qoyyim, penerbit: Dar ‘Alam Fawaid, cet: 1, th: 1432)

APAKAH ILMU KALAM MASUK KE DALAM USHUL FIQIH?
Penulisan ilmu Ushul fiqih di kalangan kaum muslimin dipelopori oleh imam Asy-Syafi’i --rohimahulloh-- (wafat th. 204 H) dengan kitab beliau Ar-Risalah. Kemudian dilanjutkan oleh imam Ibnu Abdil Barr --rohimahulloh-- (wafat th. 463 H) dengan kitab beliau Jami’ fi Bayanil ilmi wa Fadhlihi.

Kemudian di dalam perkembangan ilmu ushul fiqih, ada sebagian ulama berusaha memasukkan ilmu mantiq (logika) dari cabang ilmu filsafat ke dalam ilmu ushul fiqih. Seperti yang dilakukan oleh Ibnu Hazm Al-Andalusi --rohimahulloh-- (wafat th. 456 H) di dalam kitab Ihkamul Ahkam dan Abu Hamid Al-Ghazali --rohimahulloh-- (wafat th. 505 H) di dalam Al-Mus-tashfa.

Namun para ulama berusaha membersihkan penyimpangan-penyimpangan tersebut. Seperti yang dilakukan oleh imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi --rohimahulloh-- (wafat th. 620 H) dengan kitab beliau Roudhotun Nazhir.

Ringkasnya, kalau ingin mempelajari ilmu ushul fiqih, maka hendaklah menggunakan kitab ushul fiqih yang disusun oleh para ulama Ahlus Sunnah yang sudah dikenal ilmu dan amanahnya, sehingga selamat dari berbagai penyimpangan yang ada.

Di antara kitab tersebut ada yang ringkas, seperti kitab Al-ushul min ilmil Ushul, karya Syaikh Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin --rohimahulloh-- (wafat th 1421 H).
Ada juga kitab yang agak tebal, seperti kitab Ma’alim Ushul Fiqih ‘inda Ahlis Sunnah, karya Syaikh DR. Muhammad bin Husain bin Hasan Al-Jizani --hafizhohulloh--.

KESIMPULAN
Sebuah artikel yang ringkas tapi sangat ilmiah karena jelas referensinya. Beliau --hafizahullah-- mampu untuk menjelaskan permasalahan tentang ilmu kalam dan ilmu filsafat dengan proporsional. Tidak terlalu panjang sehingga membosankan tapi tidak juga terlalu pendek sehingga kehilangan substansi pembahasan.

Beberapa pelajaran yang mampu saya ambil setelah membaca artikel ini adalah kita harus mencukupkan dengan keterangan dan penjelasan ulama dalam permasalahan agama dan bahwasannya akal itu memiliki keterbatasan sebagaimana indera manusia yang lainnya.

Kalimat bahwa "akal memiliki batasan" adalah sebuah kalimat yang sulit untuk diterima oleh para orang cerdas dengan IQ di atas rata-rata. Karena doktrin ilmiah selalu mengatakan bahwa akal adalah satu-satunya indera manusia yang tidak memiliki batasan. Masyaallah, allahul musta’an.

Tapi ya sudahlah, toh, sekarang kita hidup di zaman semua orang bebas memiliki pendapat dan keyakinan. Silahkan berkeyakinan dan selamat mempertanggungjawabkan.
 
Selesai ditulis pada tanggal 12 Safar 1442 H atau 1 Oktober 2020 di Permata Bogor Residence (Sukaraja-Kab. Bogor), pukul 13.54 WIB

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibadalana uliy ba’sin syadid

Selasa, 22 Juli 2014 22.00 WIB Saya akan menampilkan atau mem- posting tulisan dari Bapak Usep Romli , Pengasuh Pesantren Budaya "Raksa Sarakan" Garut. Tulisan ini merupakan tulisan di kolom Opini , harian Republika yang diterbitkan pada hari Selasa, 22 Juli 2014. Beliau menulis tentang (satu-satunya) cara untuk bisa mengalahkan zionis Israel. sehingga tulisannya pun diberi judul, Mengalahkan Zionis Israel . Berikut ini tulisannya saya tampilkan penuh tanpa ada sedikit pun saya kurangi atau tambahkan. "Mengalahkan Zionis Israel" Hari-hari ini, bangsa Palestina di Jalur Gaza sedang dibombardir pasukan Zionis-Israel. Nyaris tak ada perlawanan sama sekali, karena Palestina tak punya tentara. Hanya ada beberapa kelompok sipil bersenjata yang berusaha bertahan seadanya. Negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab tak berdaya. Begitu pula negara-negara berpenduduk mayoritas Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI), tak da

Hercules dan Moral

The Legend of Hercules Minggu, 9 Februari 2014 10.10 WIB Cukup lama saya tidak menonton sebuah film di bisokop. Untuk sebagian orang, hal ini merupakan sebuah pemborosan karena kondisi yang ada di Indonesia memungkinkan kita untuk bisa menonton sebuah film dengan harga yang jauh lebih murah.  Di Indonesia kita masih bisa untuk mendapatkan sebuah DVD dengan harga yang sangat murah, sekitar 6 (enam) ribu rupiah ( bajakan tentunya tapi dengan kualitas gambar yang cukup baik ), bandingkan dengan harga yang harus dikeluarkan apabila kita menonton sebuah film di bioskop, sekitar 25 ribu – 50 ribu rupiah tergantung bioskop yang kita pilih. Saya pun menyadari hal itu tapi saya tentu juga memiliki alasan. Terlepas dari alasan idealis yang sebenarnya juga masih saya miliki, alasan utama yang ingin saya kemukakan disini adalah bahwa menonton sebuah film di bioskop bagi saya adalah sebuah penyegaran, sebuah hobi untuk melepas penat dan mendapatkan lagi beberapa semangat. Ya, hobi. Mung

Wahana Wyata Praja IPDN

Sejarah Singkat Wahana Wyata Praja Wahana Wyata Praja adalah organisasi internal Praja IPDN yang pada dasarnya mempunyai tugas dan fungsi sama dari tahun ke tahun, namun namanya berubah sesuai situasi dan kondisi pada masa angkatan tersebut. Nama organisasi praja yang terbentuk sejak awal berdirinya STPDN hingga IPDN adalah sebagai berikut: Manggala Corps Praja Angkatan I STPDN sampai dengan angkatan IV STPDN Organisasi ini bernama MANGGALA CORPS PRAJA, yang pimpinannya adalah Manggala Pati dengan tanda jabatan talikur berwarna merah, nama Manggala Corps ini hanya sampai pada angkatan IV saja, karena pada angkatan V organisasi internal Praja ini berubah nama menjadi WAHANA BINA PRAJA. Wahana Bina Praja Angkatan IV STPDN sampai dengan angkatan XVI STPDN Wahana Bina Praja ini pimpinannya bernama Gubernur Praja dengan tanda jabatan talikur berwarna biru lis kuning nestel dua, dari Wahana Bina Praja inilah mulai di bentuk berbagai instansi dan UKP yang di ang