Artikel ini mulai ditulis pada hari Ahad tanggal 26 Jumadil Awal 1442 H yang bertepatan dengan tanggal 10 Januari 2021 Masehi, pukul 07.05 WIB.
Di salah satu ruang tunggu, terjadi sebuah dialog hangat antara saya dan salah seorang teman saya yang ingin mengajukan pindah keluar instansi,
Dia : “Gua pernah ngadep ke salah satu pejabat eselon II di instansi ini, Dim. Ya, gua pengen dapet masukan dari beliau tentang keputusan gua untuk pindah”
Saya : “terus gimana tanggepan beliau?”
Dia : “Ternyata beliau termasuk yang gak setuju kalau pegawai pusat itu harus pindah ke daerah. Gua malah kena ceramah! Tapi anehnya beliau cuma kasih nasihat kalau gua tuh harus bisa survive tapi gak di kasih tau cara untuk survive kerja di instansi ini tuh gimana? Lah, itu kan ibarat kita di suruh pergi ke hutan tapi gak bawa peta, nyasar lah kita!”
Saya : hanya terdiam.
***
Di suatu hari salah seorang senior saya menghubungi untuk meminta bantuan melihat proses pindah salah seorang rekan kerjanya. Rekan kerjanya itu sudah lama mengajukan pindah keluar instansi dan bahkan telah lulus serta diterima untuk menjadi pegawai di salah satu kota di Provinsi Jawa Barat.
Senior : “Gimana, Dim? Sudah tau proses suratnya sampai mana?”
Saya : “Iya, Kak. Tadi saya sudah ngobrol sama staf yang ngerjain berkasnya dan katanya ada disposisi dari pimpinan bahwa proses kepindahan yang bersangkutan ditahan dulu karena yang bersangkutan lulusan Sarjana Hukum dan katanya instansi kita kekurangan pegawai dengan latar belakang pendidikan hukum”
Senior : “Hah? Apa betul gitu alasannya, Dim?”
Saya : “Ya, tadi sih dibilanginnya gitu kak.”
Senior : “Yang bersangkutan emang sarjana hukum tapi yang bersangkutan sekarang kerjanya jadi bendahara kok, Dim”
Saya : “waduh!”
Senior : “Jadi, ya kok lucu, di tahan gak boleh pindah karena alasan pendidikan tapi sekarang pun yang bersangkutan bekerja tidak sesuai latar belakang pendidikannya.”
Saya : hanya terdiam.
***
Pegawai Aparatur Sipil Negara (Pegawai ASN) merupakan salah satu indikator yang menentukan kesuksesan atau kegagalan suatu negara karena Pegawai ASN adalah sumberdaya manusia di dalam birokrasi Indonesia. Sejauh mana negara mampu untuk mewujudkan segala rencana strategisnya ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusia yang dimilikinya. Kualitas Pegawai ASN tidak hanya dipengaruhi dan ditentukan oleh kemampuan masing-masing individunya. Karena kinerja yang baik sebagai wujud nyata dari kualitas sumberdaya manusia ditentukan oleh tiga faktor utama, yaitu memiliki kemampuan (capacity to perform), kemauan (willingness to perform), dan kesempatan (opportunity to perform). Sehingga sebuah organisasi harus mampu membuat iklim kerja dan mengelola sumberdaya manusia sebaik mungkin untuk bisa memenuhi ketiga unsur di atas.
Iklim kerja yang baik akan mampu memaksimalkan segala potensi yang dimiliki oleh seorang pegawai atau minimalnya dengan iklim kerja yang kondusif akan mampu mendorong motivasi seorang pegawai untuk bekerja optimal. Secara teori, motivasi seorang pegawai bisa dipengaruhi oleh banyak hal, akan tetapi di dalam tulisan sederhana dan bukan ilmiah ini, kami akan mencoba mengangkat dua faktor yang bisa memengaruhi motivasi seseorang dalam perannya sebagai seorang pegawai dalam sebuah organisasi.
Faktor yang pertama adalah tingkat kesejahteraan yang dilihat dari jumlah dan besarnya pendapatan yang didapatkan oleh seorang pegawai dan faktor yang kedua adalah pola karier yang akan menjadi roadmap bagi seorang pegawai dalam mengarungi kehidupan kerja di sebuah organisasi.
Kami akan langsung berbicara tentang faktor yang kedua karena faktor yang pertama telah kami tuliskan secara panjang lebar dan mendetail di tulisan kami sebelumnya. Silahkan para pembaca, semoga Allah merahmati kita semua, menelaah tulisan kami yang berjudul Meluruskan Paham bahwa PNS itu Pasti Kaya. Di dalam tulisan tersebut kami memang tidak secara lugas menyebutkan bahwa Gaji merupakan salah satu faktor yang bisa menjadi motivasi bagi pegawai tapi di dalam tulisan itu pembaca akan mendapat gambaran utuh jumlah dan besaran gaji yang diterima oleh Pegawai ASN. Selanjutnya berdasarkan gambaran itu kita semua bisa mengambil kesimpulan apakah gaji bagi pegawai sudah bisa menjadi motivasi untuk bekerja maksimal.
Apa itu pola karier?
Kami pribadi melihat pola karier sebagai sebuah pola atau alur pembinaan bagi seorang pegawai di dalam sebuah organisasi. Seorang pegawai sebagai individu tentu memiliki potensi dan cita-cita tertentu yang ingin diwujudkan. Adapun organisasi tentu juga memiliki tujuan spesifik yang ingin dicapai. Akan tetapi ketika seorang individu dengan sukarela dan tanpa paksaan masuk serta diterima untuk menjadi pegawai di sebuah organisasi maka tujuan individu harus tunduk dan disesuaikan dengan tujuan organisasi.
Oleh karena itu, ketika seseorang telah masuk menjadi pegawai di sebuah organisasi, maka logika sederhananya adalah orang tersebut telah setuju untuk menundukan ego dan ikut tujuan organisasi. Begitu juga sebaliknya, organisasi telah menyetujui bahwa orang tersebut memang memiliki potensi yang dicari oleh organisasi dan sesuai dengan tujuan yang ingin mereka capai. Maka yang terjadi adalah sebuah hubungan timbal balik yang (harusnya) saling menguntungkan.
Organisasi mempunyai hak untuk menyuruh seorang pegawai bekerja maksimal demi tujuan organisasi dan di sisi lain pegawai juga mempunyai hak untuk terus mendapatkan pengembangan potensi agar bisa sejalan dengan tujuan organsisasi. Di sini-lah letak pentingnya pola karier.
Dengan adanya pola karier yang jelas, maka setiap pegawai di dalam organisasi akan mempunyai bayangan tentang peran dan tanggung jawab yang akan mereka emban selama mereka berkarier di dalam organisasi. Masing-masing pegawai akan menyesuaikan jalan yang akan mereka pilih dengan kemampuan yang mereka miliki. Atau organisasi yang langsung menentukan jalan karier bagi setiap pegawainya. Sehingga ketika memang ada pegawai yang tidak sesuai dengan kebutuhan organisasi bisa diketahui sejak awal dan bisa dilakukan solusi cepat sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.
***
Bagaimana dengan pola karier di instansi tempat kami bekerja?
Wallahu’allam, dengan masa kerja kami yang masih seumur jagung, kurang lebih tujuh tahun, maka kami belum melihat sebuah pola karier yang jelas untuk masing-masing individu. Bahkan kami yang telah selesai kuliah S-2, dengan nilai kelulusan yang bagi kami pribadi sangat membanggakan, tetap tidak menjadi sebuah nilai pembeda. Kami tetap menjalani rutinitas yang sama, tetap bekerja maksimal sesuai dengan tusi dan arahan pimpinan dan di saat yang sama kami pun harus berpikir keras mengatur pola karier untuk tetap bisa “selamat” di belantara dunia birokrasi instansi.
Akhirnya semua pegawai hanya berpikir jalan selamat untuk dirinya masing-masing. Hal itu terlihat dengan semakin banyaknya pegawai yang mengajukan pindah keluar, jumlahnya setiap tahun terus meningkat. Kami pribadi melihat itu sebagai sebuah keniscayaan, karena memang organisasi tidak memiliki gambaran yang jelas untuk karier masing-masing pegawainya. Di sisi lain godaan uang yang jauh lebih besar ditawarkan oleh banyak instansi lain di sekitar, jadi sangat wajar bila banyak pegawai yang lebih memilih untuk keluar.
Tidak perlu penelitian ilmiah untuk bisa melihat ketidakjelasan pola karier di instansi kami, hal itu nyata terlihat dengan bebasnya setiap pegawai untuk mengajukan izin atau tugas belajar, tidak ada penyaringan program studi, mayoritas pegawai yang mengajukan izin atau tugas belajar akan mendapatkan persetujuan, apapun program studinya. Dan masih banyak hal lainnya yang rasa-rasanya tidak etis bila harus ditulis secara daring.
***
Saya tidak ingin dan tidak mau bermuka dua, jadi saya katakan bahwa ketika saya mulai kembali bekerja setelah selesai beasiswa S-2, terlebih dengan nilai kelulusan yang bagi saya cukup besar, maka ada harapan lebih yang muncul di dalam dada. Tapi, semua itu hanya angan belaka. Saya tetap seperti biasa dengan segala rutinitas yang menguras tenaga.
Tapi bagi saya, ini adalah ujian akan kejujuran terhadap prinsip yang kini coba untuk saya yakini dan jalani. Bahwa hidup adalah ibadah pada illahi. Maka dengan segala situasi seperti ini, prinsip itu sedang diuji. Bila benar memang hidup untuk ibadah maka saya harus terus semangat bekerja tanpa henti. Tapi bila prinsip itu hanya sekadar lisan atau keyakinan dalam hati tapi minim realisasi, maka dengan tidak adanya imbalan yang sesuai dengan harapan dan cita-cita pribadi, maka saya akan bekerja setangah hati.
Semoga Allah teguhkan saya dan kita semua di atas Islam dengan pemahaman salafus shalih. Semoga Allah berkahi segala niat baik kita dan semoga Allah istiqomahkan kita semua untuk bisa memiliki prinsip bahwa hidup itu adalah ibadah serta membuktikan prinsip itu dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Maka keadaan ini, pola karier yang belum jelas dan gaji yang masih kecil dibanding mayoritas kota/kabupaten terdekat, harus menjadi momentum bagi saya untuk terus semangat bekerja sebagai seorang Pegawai ASN. Saya harus memanfaatkan keadaan ini sebagai hujjah di hadapan Allah bahwa saya memang telah berusaha untuk menjadikan pekerjaan yang saya miliki saat ini sebagai wasilah bagi saya beribadah kepada Allah.
Bila justru saya kemudian jatuh dan hilang semangat karena tidak adanya imbalan dunia, maka saya telah bohong dalam ikrar saya sebagai seorang hamba Allah. Wal-iyadzubillah.
Walhamdulillah, mencoba bekerja untuk mencari pahala membuat saya bisa lebih bebas dalam bermuamalah dengan pimpinan di kantor. Saya tidak lagi bersusah payah harus terus membuat senang pimpinan. Ketika saya memiliki ide dan gagasan saya pun lebih mudah untuk menyampaikannya. Walhamdulillah.
Semoga Allah memberi taufik bagi kita semua.
Selesai ditulis pada hari Ahad tanggal 26 Jumadil Awal 1442 H yang bertepatan dengan tanggal 10 Januari 2021 Masehi di Permata Bogor Residence (Desa Cilebut Barat, Kec. Sukaraja, Kab. Bogor), pukul 08.31 WIB
Komentar
Posting Komentar