Artikel ini mulai ditulis pada hari Senin tanggal 8 Syaban 1442 H yang bertepatan dengan tanggal 22 Maret 2021 Masehi, pukul 11.02 WIB.
Tulisan
ini banyak mengambil faidah dari kajian Ustaz Firanda Andirja, hafizahullah,
yang berjudul TAKDIR (https://www.youtube.com/watch?v=aSg7or4BCRs).
Bahkan, atas izin Allah ta’ala, kami pribadi banyak mengambil mutiara ilmu
dan nasihat dari beliau, hafizahullah. Semoga Allah ta’ala
panjangkan umur beliau dan kita semua dalam ketaatan.
***
“Qanaa’ah adalah harta terbesar untuk
bisa menjalani kehidupan ini dengan tenang dan nyaman. Cermin dari bersihnya
hati dan pikiran. Wallahu’alam, bahkan menurut kami pribadi, sifat qanaa’ah
adalah buah dari aqidah yang benar. Karena tanpa keyakinan yang benar
terhadap takdir, maka rasa-rasanya kita akan sulit untuk bersikap qanaa’ah.”
Beriman
kepada takdir adalah salah satu Rukun Iman, sehingga takdir bukan hal remeh.
Kita harus meluangkan waktu khusus untuk belajar memahami takdir sehingga
pemahaman kita bisa terbentuk dengan baik dan benar. Karena tanpa pemahaman
yang baik dan benar, maka keimanan kita akan mudah goyah. Terlebih di zaman ini,
dengan begitu banyak pemikiran yang dengan mudahnya kita baca dan memengaruhi
hati.
Memahami
takdir dengan baik dan benar adalah dengan terlebih dahulu memahami bahwa
takdir itu terdiri dari: (1) Ilmu Allah (Allah ta’ala mengetahui
segalanya sebelum mencipta); (2) Pencatatan (Allah mencatat apa yang
akan Allah ciptakan di Lauh Mahfudz); (3) Kehendak (semua yang
akan Allah ciptakan tidak ada yang keluar dari kehendak Allah);dan (4)
Penciptaan.
Di
dalam memahami point-point di atas, maka salah satu kaidah penting yang
harus kita pahami adalah perkara takdir tidak ada yang mengetahui, bahkan Nabi,
Rasul, dan Malaikat pun tidak mengetahui mengenai takdir sedikit pun.
Kaidah
ini penting untuk dipahami secara benar dan harus dijadikan dasar dalam
keyakinan kita terhadap Allah ta’ala. Seorang Muslim yang mencoba
memahami Islam sesuai dengan pemahaman salafus shalih, maka harus mengetahui
bahwa perkara takdir adalah perkara yang menjadi mutlak urusan Allah ta’ala.
Dengan
pemahaman takdir melalui kaidah di atas maka kita akan menjalani kehidupan ini
dengan tenang. Kenapa?
Karena
hikmah tidak adanya makhluk yang mengetahui takdir walaupun secuil adalah (1)
Jika seseorang mendapatkan kenikmatan, maka dia tidak akan bisa untuk merasa
sombong; (2) Jika seseorang mendapat musibah, maka dia tidak akan
terlalu merasa sedih; (3) Ketika beramal baik, maka seseorang tidak akan
ujub karena dia tidak tahu akhir hidupnya; (4) Jika seseorang
beraktivitas, maka dia akan tenang bertawakal karena semua sudah ditakdirkan.
![]() |
‘kan
udah takdir?
Mungkin,
sebagian dari kita dibuat bingung dengan beberapa pemahaman takdir yang keliru
sehingga kadang ada yang tidak mau menerima konsep takdir atau menerima konsep
takdir dengan berbagai macam kesalahan.
Beberapa
orang beranggapan bahwa konsep takdir akan menyebabkan orang menjadi malas, karena
merasa bahwa segala sesuatu itu telah ditentukan jadi kenapa harus bekerja?
Maka
jawabannya adalah takdir Allah tidak menyebabkan hilangnya sebab-akibat.
Dan toh, orang yang dengan pemikiran seperti itu dia tidak konsisten
menerapkan pemahamannya ke dalam seluruh segi kehidupan. Buktinya ketika dia lapar,
dia tetap berusaha untuk mencari makan. Bila dia mau konsisten dengan pemahaman
di atas, maka ketika dia lapar, dia harus diam, bukankah kenyang dan lapar juga
sudah Allah takdirkan?
Sederhanannya
adalah takdir itu mutlak urusan Allah, dan urusan kita sebagai manusia adalah
untuk beribadah. Jadi mari sibukan diri dengan ibadah, dengan usaha. Bukan
menyibukan diri dengan urusan yang kita tidak tahu ilmu tentangnya.
Bila
pemahaman kita tentang takdir sudah bisa sesuai dengan apa yang Allah dan
Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam inginkan sebagaimana yang telah
dijelaskan oleh para ulama rabbani, maka insyaallah kita akan bisa
menerima semua yang terjadi dengan lapang dada.
Setelah
itu apa?
Tentunya
setelah itu kita akan mampu memiliki sikap qanaa’ah, biidznillah.
Qanaa’ah
itu di awal
Karena
kuncinya ada dalam hati. Semuanya tentang apa yang hati kita rasakan di awal. Sebagaimana
sabar itu dikatakan sabar bila di awal musibah seseorang itu langsung bisa
menahan emosinya, maka begitu juga dengan qanaa’ah.
Apapun
yang kita dapatkan, sesuai atau tidak sesuai dengan cita-cita dan/atau kualitas
dan kuantitas usaha kita, maka idealnya kita harus bisa menerima semuanya
dengan lapang dada. Karena semua yang terjadi adalah yang terbaik dari dzat
yang Mahasempurna.
Di
dalam hal ini kita harus bisa peka, kita harus segera melihat apa respon hati di
setiap keadaan yang kita alami.
Apakah
rasa syukur yang terlintas atau keluhan yang terasa deras?
Allahul
Musta’an.
Bab
qanaa’ah ini akan terlihat jelas Ketika kita dihadapkan pada sebuah
hasil yang tidak sesuai harapan dan cita-cita. Terlebih lagi di dalam prosesnya
kita merasa sudah mencurahkan segala yang terbaik. Semua sumberdaya sudah kita
kerahkan, tapi bila kemudian yang kita dapatkan di luar perkiraan, maka di sanalah
letak ujian qanaa’ah.
Semoga
Allah ta’ala beri kita semua taufik dan hidayah-Nya untuk bisa menggapai
hati yang qanaa’ah. Aamiin.
Wallahu’alam.
Selesai ditulis pada hari Senin tanggal 8 Syaban 1442 H
yang bertepatan dengan tanggal 22 Maret 2021 Masehi di meja kerja, pukul 14.13
WIB
Komentar
Posting Komentar