Artikel ini mulai ditulis pada hari Selasa tanggal 30 Syawal 1443 H yang bertepatan dengan tanggal 31 Mei 2022 Masehi, pukul 10.32 WIB.
Bissmillah
walhamdulillah wa shallatu was sallam ala rasulillah.
Dari
Shuhaib, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang
artinya),
“Sungguh
menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruh urusannya itu baik. Ini tidaklah
didapati kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia
bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu
pun baik baginya.”
(HR.
Muslim, no. 2999)
Imam
Al-Munawi berkata dalam Faidhul Qadir, “Keadaan seorang mukmin semuanya
itu baik. Hanya didapati hal ini pada seorang mukmin. Seperti itu tidak
ditemukan pada orang kafir maupun munafik.
Keajaibannya
adalah ketika ia diberi kesenangan berupa sehat, keselamatan, harta dan
kedudukan, maka ia bersyukur pada Allah atas karunia tersebut. Ia akan dicatat
termasuk orang yang bersyukur. Ketika ia ditimpa musibah, ia bersabar. Ia akan
dicatat termasuk orang yang bersabar.
Oleh
karenanya, selama seseorang itu dibebani syari’at, maka jalan kebaikan selalu
terbuka untuknya. Sehingga seorang hamba yang beriman itu berada di antara
mendapatkan nikmat yang ia diperintahkan untuk mensyukurinya dan musibah yang
ia diperintahkan untuk bersabar.”
( Sumber:
https://rumaysho.com/12985-ajaibnya-keadaan-seorang-mukmin.html
)
Maka
nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Tolak
ukur kesuksesan dan kebahagiaan bagi seorang mukmin, tidak Allah letakan pada
perkara dunia, yang faktanya, tidak akan bisa semua orang untuk mendapatkannya.
Karena
pada akhirnya, dunia ini harus selalu diisi oleh orang miskin dan orang kaya, orang
pintar dan orang bodoh, serta atasan dan bawahan. Tidak akan mungkin
keseimbangan bisa terwujud ketika dunia ini hanya diisi oleh orang kaya
dan/atau orang pintar dan/atau seluruh manusianya menjadi atasan.
Oleh
karena itu, standar kebahagiaan dan kesuksesan dalam perspektif agama Islam
adalah ketakwaan. Dan hal itu, ketakwaan, bisa diraih oleh seluruh orang, baik
dia kaya, miskin, pintar, bodoh (dalam makna bodoh urusan dunia), atasan, dan
juga bawahan. Semua dari kita bisa meraih takwa, tak peduli status dunia yang dimiliki.
Dan
sebagaimana hadits yang telah kami sebutkan di awal tulisan, salah satu cara
untuk meraih takwa adalah berusaha untuk menghiasi setiap gerak langkah kita di
dunia dengan sabar dan syukur.
Kenapa
hanya sabar dan syukur?
Karena
konsekuensi kita hidup di dunia, maka kita akan selalu berputar pada dua
kedaan, yaitu kedaan suka (lalu kita bersyukur) dan keadaan duka (lalu kita
bersabar). Kita tidak akan menemui kondisi atau kemungkinan ketiga dalam
kehidupan ini.
Hal
lain yang patut direnungkan dari hadits serta penjelasan ulama di atas adalah
bahwasanya tidak ada ruang bagi kita untuk mengeluh dalam menjalani kehidupan.
Apabila memang kita jujur dalam berikrar bahwa kita hidup untuk beribadah
kepada Allah. Percaya akan adanya hari kiamat dan bahwa pada akhirnya kita akan
abadi di Surga atau Neraka, maka kita harus bisa memanfaatkan segala kondisi yang
sedang dan/atau akan kita alami sebagai sarana untuk mendapatkan banyak pahala,
sebagai bekal ketika nanti kita datang menghadap yang Mahakuasa.
Kita
tidak bisa terlebih dahulu menunggu suka untuk kemudian beribadah kepada Allah.
Karena, ya itu tadi, tidak akan mungkin kita akan selalu merasa suka.
Pun ketika kita dalam keadaan suka, maka rasa suka itu bertingkat-tingkat. Kita
akan jarang untuk bisa mendapatkan kadar suka sebanyak yang kita impikan.
Mayoritasnya perasaan suka yang kita raih tidak menyentuh kadar 100%. Selalu
ada kekurangan di sana-sini. Lantas bila begitu, kapan kita akan beribadah
kepada-Nya?
Ada
apa? Kenapa kami menulis ini?
Well, kami menulis ini,
karena kami ingin memberi motivasi bagi jiwa kami yang mulai lemah, terus
terkikis oleh godaan indah dunia. Kami, sebagaimana normalnya seorang yang
bekerja di dunia birokrasi, mempunyai cita-cita tinggi dari segi pencapaian
dunia. Hal itu seringnya membuat hati ini lemah dan bahkan menggerus semangat
dalam beribadah.
Banyak
jalan kebaikan yang kami tutup hanya karena beberapa cita-cita dunia tak mampu
kami raih. Itu sangat berbahaya!
Maka
tulisan ini adalah nasihat untuk kami pribadi, untuk kembali sadar bahwa tujuan
utama kami hidup adalah untuk beribadah. Dan ibadah itu tidak bersandar pada
pencapaian dunia, ada atau tidak prestasi dunia yang kami dapatkan, ibadah itu
harus terus berjalan. Tak ada alasan!
Kami
harus sadar bahwa Allah memang tidak akan memberikan dunia bagi seluruh manusia,
karena dunia tidak akan seimbang bila semua dari kita mendapatkan dunia. Dan
tentu Allah Mahatau dan Mahaadil, adapun kita ini sangat lemah.
Jadi, ayo semangat wahai jiwa!
Selesai ditulis pada hari Selasa tanggal 30 Syawal 1443 H yang bertepatan dengan tanggal 31 Mei 2022 Masehi di meja kerja kantor, pukul 11.12 WIB.
Komentar
Posting Komentar