Langsung ke konten utama

Antara Personal dan Profesional (JANGAN BAPER!)

Jumat, 27 September 2024

07.41 WIB


Berdasarkan KBBI yang kami akses secara daring melalui https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/, profesional memiliki 4 (empat) makna, yaitu: 

1. bersangkutan dengan profesi

2. memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya: ia seorang juru masak --

3. mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya (lawan amatir): pertandingan tinju --

4. orang yang terlibat atau memenuhi kualifikasi dalam suatu profesi


Adapun personal berarti bersifat pribadi atau perseorangan: kepribadian kolektif telah dipecahkan dengan tumbuh dan berkembangnya kepribadian -- yang membawa nilai-nilai subjektif


Pada tulisan ini kami ingin memberikan pendapat tentang prinsip untuk menyeimbangkan antara urusan personal dan profesional dalam lingkungan kerja.


Sebelumnya, prinsip keseimbangan atau pertenganhan (moderat) adalah sebuah nilai dasar yang juga diajarkan dalam agama kami, yaitu Islam.


Sehingga ketika kami berusaha untuk semakin mengamalkan Islam dengan baik dan benar maka sedianya kami sedang berusaha untuk menjadi pribadi yang seimbang atau moderat.


Berdasarkan landasan itu, maka dalam usaha kami menjalankan tugas dalam dunia pekerjaan, kami berusaha untuk menjadi pribadi yang moderat, menyeimbangkan antara urusan personal dan profesional.


Mengacu pada definisi KBBI, maka personal kami bawa ke makna perasaan pribadi dan profesional menjadi perwujudan dari akal sehat sesuai dengan akad kerja yang telah disepakati.


Maka, kami mencoba untuk tidak menjadi pribadi yg "baper" karena terlalu condong mengutamakan perasaan, tapi kami juga tidak mau menjadi orang yang "apatis" karena tidak memerdulikan perasaan dan hanya fokus menjalankan kewajiban kerja.


Apa bentuk konkritnya?


Contoh nyatanya adalah ketika Anda diperintah oleh atasan kerja tapi qadarallah atasan kerja Anda memerintah dengan kata-kata yang kasar, maka idealnya Anda tetap menjalankan perintah tersebut selama perintah itu sesuai dengan akad kerja yang telah Anda sepakati. 


Lalu, ketika rekan kerja Anda meminta tolong mengerjakan suatu pekerjaan dan ternyata setelah Anda bantu, rekan kerja itu justru menyakiti Anda dengan menghina bantuan Anda, maka idealnya anda tetap terus membantu dia selama itu memang sesuai dengan akad kerja yang Anda sepakati di awal.


Dua contoh ekstrem di atas, sudah cukup memberikan gambaran tentang usaha untuk menyeimbangkan antara personal dan profesional.


Akan tetapi kami yakin dan percaya, prinsip ini akan menuai banyak pro dan kontra di kalangan orang-orang yang saat ini bekerja di kantoran. Tapi tentu kita semua harus paham, bahwa kita ini berkembang dan tumbuh dengan keadaan yang berbeda.


Dan untuk saat ini, prinsip moderat sebagaimana yang telah kami jelaskan, adalah prinsip yang sampai saat ini coba kami terapkan.


Bahkan prinsip itu kami coba terapkan juga dalam dunia pertemanan, kami mencoba untuk tidak "baper" ketika pada akhirnya beberapa teman yang dulunya dekat dan akrab, tapi sekarang mulai menjauh dan jarang bahkan tidak lagi pernah berkomunikasi.


Karena kami yakin, hal itu terjadi karena berarti mereka sudah tidak lagi merasa "butuh" dengan kehadiran kami atau kehadiran kami sudah bisa terganti dengan sosok yang lain.


So simple, rite?


Intinya adalah, kami jelas bukan sebuah robot, ketika ada hal-hal yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang kami harapkan, maka jelas kami akan merasa sakit, kecewa dan berbagai perasaan negatif lainnya sebagaimana umumnya mayoritas manusia.


Tapi, kami berusaha tidak larut dengan segala perasaan itu. Kami ingin segera move on. Dan salah satu cara kami dalam melawan segala perasaan itu adalah berusaha untuk menghadirkan logika, yang dalam bahasa dunia kerja sering disebut dengan profesional.


Toh, dunia itu memang tempatnya sedih dan manusia adalah makhluk yang paling sering membuat kita kecewa, jadi kenapa masih harus berlarut-larut dengan kesedihan ketika kenyataan tidak sesuai harapan?


Selesai ditulis pada hari Jumat, 27 September 2024 pada pukul 09.01 WIB.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibadalana uliy ba’sin syadid

Selasa, 22 Juli 2014 22.00 WIB Saya akan menampilkan atau mem- posting tulisan dari Bapak Usep Romli , Pengasuh Pesantren Budaya "Raksa Sarakan" Garut. Tulisan ini merupakan tulisan di kolom Opini , harian Republika yang diterbitkan pada hari Selasa, 22 Juli 2014. Beliau menulis tentang (satu-satunya) cara untuk bisa mengalahkan zionis Israel. sehingga tulisannya pun diberi judul, Mengalahkan Zionis Israel . Berikut ini tulisannya saya tampilkan penuh tanpa ada sedikit pun saya kurangi atau tambahkan. "Mengalahkan Zionis Israel" Hari-hari ini, bangsa Palestina di Jalur Gaza sedang dibombardir pasukan Zionis-Israel. Nyaris tak ada perlawanan sama sekali, karena Palestina tak punya tentara. Hanya ada beberapa kelompok sipil bersenjata yang berusaha bertahan seadanya. Negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab tak berdaya. Begitu pula negara-negara berpenduduk mayoritas Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI), tak da

Hercules dan Moral

The Legend of Hercules Minggu, 9 Februari 2014 10.10 WIB Cukup lama saya tidak menonton sebuah film di bisokop. Untuk sebagian orang, hal ini merupakan sebuah pemborosan karena kondisi yang ada di Indonesia memungkinkan kita untuk bisa menonton sebuah film dengan harga yang jauh lebih murah.  Di Indonesia kita masih bisa untuk mendapatkan sebuah DVD dengan harga yang sangat murah, sekitar 6 (enam) ribu rupiah ( bajakan tentunya tapi dengan kualitas gambar yang cukup baik ), bandingkan dengan harga yang harus dikeluarkan apabila kita menonton sebuah film di bioskop, sekitar 25 ribu – 50 ribu rupiah tergantung bioskop yang kita pilih. Saya pun menyadari hal itu tapi saya tentu juga memiliki alasan. Terlepas dari alasan idealis yang sebenarnya juga masih saya miliki, alasan utama yang ingin saya kemukakan disini adalah bahwa menonton sebuah film di bioskop bagi saya adalah sebuah penyegaran, sebuah hobi untuk melepas penat dan mendapatkan lagi beberapa semangat. Ya, hobi. Mung

D-IV atau S1 ?

Suatu malam pada hari Sabtu , tanggal 14, bulan Januari , tahun 2012, berlatar tempatkan teras masjid Al-Ilmi IPDN Kampus Kalimantan Barat, terjadi satu percakapan ringan sangat sederhana tapi kemudian mampu untuk membuat otak ini menjadi rumit karena terus memikirkan substansi dari apa yang diperbincangkan itu, terlalu rumit sehingga saya pikir perlu untuk dituangkan dalam sebuah narasi penuh kata, tidak berpetuah dan tidak juga indah. Tapi cukup-lah untuk sekedar berbagi ide dan informasi yang pastinya tidak sesat. Dan ini-lah percakapan singkat itu : HP ( inisial teman saya ) : “Dim, kamu lebih milih mana, S.IP atau S.STP ?” Saya : “mmm….pengennya sih S.IP” HP : “Kenapa, Dim? Kata orang kan kalo S.STP tuh lebih baik buat karir dan kata orang juga S.IP tuh lebih condong buat jadi dosen.” Saya : “Wah gak tau sih kalo masalah yang kayak gitunya, tapi saya ingin S.IP karena yang saya tau S.IP itu lebih mudah untuk nantinya kita mau nerusin ke S2, nah kalo S.STP itu gak semua unive