Langsung ke konten utama

Jabatan fungsional, anggaran, dan tata laksana.

Sabtu, 14 September 2024

09.27 WIB


Jabatan fungsional (dulu akrab disebut dengan jabatan fungsional tertentu atau JFT) mulai “naik daun” pada saat Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) melakukan program penyetaraan jabatan.


Secara singkat, program penyetaraan jabatan adalah sebuah program pemerintah untuk memangkas alur birokrasi yang diklaim terlalu rigid dan berbelit. Hal itu kemudian dilakukan dengan cara “menghilangkan” jabatan struktural eselon III (Jabatan administrator) dan jabatan struktural eselon IV (Jabatan pengawas) di seluruh instansi pemerintah.


Agar kebijakan tersebut tidak memberikan dampak negatif kepada pejabat yang menduduki jabatan eselon III dan IV, maka Kemenpan RB melakukan strategi mengalihkan jabatan struktural ke dalam jabatan fungsional. Para pejabat eselon III dialihkan ke jabatan fungsional ahli madya dan pejabat eselon IV dialihkan ke jabatan fungsional ahli muda.


Setelah program itu berjalan, arus perpindahan pegawai, khususnya PNS, ke jabatan fungsional mulai terjadi secara masif. Jabatan fungsional yang sebenarnya sudah eksis sejak lama, seolah-olah mulai mendapat panggung dan diperhatikan setelah program penyetaraan itu dilakukan.


Banyak PNS yang kemudian mulai paham bahwa ternyata jabatan fungsional lebih “menjanjikan” daripada jabatan struktural, baik dari segi penghasilan maupun jenjang karir. Terlebih dengan fakta bahwa mulai sedikitnya formasi struktural dan mulai banyaknya formasi jabatan fungsional.


Akan tetapi, realita di lapangan saat ini justru memunculkan permasalahan lain. Karena pada praktiknya, tujuan awal dibentuknya jabatan fungsional dengan pekerjaan yang ada di lapangan masih jauh dari apa yang dikonsepkan.


Berdasarkan aturan ASN yang terbaru, yaitu UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN, disebutkan bahwa Jabatan Fungsional masuk ke dalam rumpun jabatan nonmanajerial. Jabatan nonmanajerial itu sendiri terdiri dari, jabatan fungsional dan jabatan pelaksana.


Jabatan fungsional diartikan sebagai sebuah jabatan yang bertanggung jawab memberikan pelayanan dan melaksanakan pekerjaan sesuai dengan keahlian dan/ atau keterampilan tertentu. Adapun jabatan pelaksana adalah sebuah jabatan yang bertanggung jawab memberikan pelayanan dan melaksanakan pekerjaan yang bersifat rutin dan sederhana.


Program penyetaraan jabatan merupakan sebuah program yang terlalu ambisius. Tujuannya mulia tapi sayangnya harus ditempuh dengan cara revolusioner setengah hati.


Betul, bahwa birokrasi Indonesia ini rigid dan memang salah satu solusinya adalah dengan dihilangkan beberapa tingkatan stuktur di dalamnya. Tapi apakah harus dipukul rata untuk semua jenis unit kerja? Dan apakah tidak sebaiknya hal itu dilakukan dengan terlebih dahulu menata level eselon I/II atau bahkan level Kementerian/lembaganya terlebih dahulu?


Karena menjadi percuma apabila didalam sebuah Kementerian/Lembaga sudah tidak ada lagi jabatan eselon III dan IV tapi ternyata tugas dan fungsi di level eselon I/II dan bahkan level Kementerian/lembaganya masih tumpang tindih satu sama lainnya.


Program ini pun menjadi terlalu ambisius karena kemudian memukul rata bahwa semuanya harus menghilangkan eselon III dan IV padahal menurut pendapat kami, urusan kesekretariatan/tata usaha, yaitu urusan keuangan, perencanaan, kepegawaian, organisasi/tata laksana, rumah tangga, dan yang semisal dengannya, adalah sebuah urusan rutin dan mendasar bagi sebuah organisasi. 


Ketika jabatan-jabatan di dalam sekretariat/tata usaha dipaksa untuk dihilangkan dan harus diisi oleh pejabat fungsional, maka lambat laun organisasi akan mengalami kemandekan. Kenapa? Karena mengisi jabatan fungsional harus dilakukan dengan cara yang cukup panjang yaitu uji kompetensi dan ketersediaan formasi, maka ketika pejabat fungsional di dalam sekretariat/tata usaha pensiun/meninggal dunia maka akan terjadi kekosongan jabatan, sedangkan urusan di sekretariat/tata usaha harus terus berjalan karena itu adalah “roh” dari sebuah organisasi.


Akan tetapi di sisi yang lain, kegiatan penyetaraan jabatan menjadi sebuah program revolusioner yang setengah hati. Karena apabila memang semangatnya ingin perubahan dalam waktu cepat, maka pemerintah langsung saja menghilangkan eselon III dan IV dan memaksa seluruh pejabat yang ada untuk non-job atau menempuh jalur uji kompetensi apabila ingin beralih ke jabatan fungsional.


Tapi nyatanya pemerintah takut apabila harus “segalak” itu, maka kemudian ditempuh cara mengalihkan seluruh pejabat struktural ke dalam jabatan fungsional tanpa proses uji kompetensi.


Ini yang kemudian membuat permasalahan baru muncul ke permukaan. Mungkin pemerintah “lupa” bahwa dengan dialihkannya jabatan struktural eselon III dan IV ke dalam jabatan fungsional maka pemerintah harus membayar lebih penghasilan mereka. 


Karena untuk tunjangan jabatan yang menempel pada gaji pokok, pejabat fungsional ahli muda dan ahli madya mendapatkan jumlah nominal yang lebih besar daripada Ketika mereka duduk sebagai pejabat stuktural. Belum lagi, bagi jabatan fungsional ahli madya maka dengan otomatis mereka akan mendapatkan tambahan masa pensiun selama 2 (dua) tahun.


Hal kecil di atas mungkin luput dari “kajian akademik” Kemenpan RB, tapi dampaknya sangat terasa karena membuat tinggi angka belanja pegawai di pemerintah Indonesia setelah dilakukannya program penyetaraan jabatan.


Permasalahan di atas adalah permasalahan dari segi bengkaknya anggaran belanja pegawai. Dan dari segi tata laksana sebuah organisasi maka muncul permasalahan lain, yaitu tumpang tindihnya penyelenggaraan urusan di dalam organisasi.


Kami akan menggunakan studi kasus jabatan fungsional Analis SDMA. Pada proses penyetaraan jabatan, mayoritas jabatan struktural yang mengurus urusan kesekretariatan bidang kepegawaian/organisasi/tata laksana akan dialaihkan ke jabatan fungsional Analis SDMA (dulu masih menggunakan nomenklatur analis kepegawaian). Tapi kemudian ada beberapa kasus, yaitu di beberapa organisasi memunculkan lagi jabatan struktural eselon IV/III bidang kepegawaian/organisasi/tata laksana pasca proses penyetaraan jabatan.


Hal itu mengakibatkan organisasi memiliki pejabat struktural struktural eselon IV/III bidang kepegawaian/organisasi/tata laksana dan pejabat fungsional Analis SDMA dari mulai jenjang ahli pertama, muda, dan madya. Di sini kemudian muncul masalah tumpang tindih pekerjaan.


Secara konsep, berdasarkan Permenpan RB Nomor 37 Tahun 2020 tentang Jabatan fungsional Analis Sumber Daya Manusia Aparatur, disebutkan bahwa Analis SDMA adalah pelaksana teknis fungsional di bidang pengelolaan sistem SDM Aparatur melalui kegiatan perumusan, analisis, evaluasi, pengembangan, asistensi, konsultasi dan penyusunan saran kebijakan dalam konteks kebutuhan serta kepentingan terbaik organisasi sesuai dengan peraturan.


Dan secara praktek, Analis SDMA mengerjakan tugas-tugas kepegawaian berupa penyusunan dan penetapan kebutuhan, pengadaan, pangkat dan jabatan, pengembangan karier, pola karier, promosi, mutasi, penugasan, pengembangan kompetensi, penilaian kinerja, disiplin, penghargaan, penggajian, tunjangan dan fasilitas, pemberhentian, jaminan pensiun dan jaminan hari tua, perlindungan, cuti, dan sistem informasi ASN.


Sehingga semua urusan kepegawaian/SDM dari awal hingga akhir sudah ter-cover oleh jabatan fungsional Analis SDMA. Maka Ketika di sebuah organisasi juga memiliki pejabat struktural eselon III/IV yang menangi urusan bidang kepegawaian, maka untuk melakukan kompromi atas kasus di atas, Solusi yang bisa dilakukan adalah menjadikan seluruh Jabatan Fungsional Analis SDMA sebagai “staf” di bawah koordinasi pejabat struktural eselon III/IV bidang kepegawaian.


Karena berdasarkan Pasal 2 Permenpan RB nomor 1 tahun 2023, ditegaskan bahwa Pejabat Fungsional berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab secara langsung kepada Pejabat Pimpinan Tinggi madya, Pejabat Pimpinan Tinggi pratama, pejabat administrator, atau pejabat pengawas yang memiliki keterkaitan dengan pelaksanaan tugas Jabatan fungsional.


Sehingga pejabat struktural eselon III/IV bidang kepegawaian tersebut tidak perlu lagi pelaksana untuk mengerjakan urusan kepegawaian, tapi semua urusan kepegawaian harus dibagi habis ke seluruh jabatan fungsional Analis SDMA yang ada di bawah kendalinya.


Fakta di atas juga menunjukan bahwa definisi antara jabatan fungsional dan jabatan pelaksana adalah sebuah konsep yang harus diperbaiki. Karena baik jabatan fungsional maupun jabatan pelaksana maka keduanya memerlukan keahlian dan/ atau keterampilan tertentu. 


Dan pada akhirnya tugas yang dimiliki oleh jabatan fungsional akan menjadi sebuah pelayanan dan pekerjaan rutin. Maka dikotomi antara jabatan fungsional dan pelaksana pada tataran praktek menjadi rancu. Terlebih dengan fenomena saat ini pasca penyetaraan jabatan.


Kedua permasalahan di atas, yaitu masalah anggaran dan tata laksana merupakan dua permasalahan yang muncul akibat dari penyetaraan jabatan. Oleh karenanya, pemerintah dalam hal ini Kemenpan RB bisa memberikan solusi terbaik.


Selesai ditulis pada tanggal 17 September 2024 pada pukul 14.07 WIB.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibadalana uliy ba’sin syadid

Selasa, 22 Juli 2014 22.00 WIB Saya akan menampilkan atau mem- posting tulisan dari Bapak Usep Romli , Pengasuh Pesantren Budaya "Raksa Sarakan" Garut. Tulisan ini merupakan tulisan di kolom Opini , harian Republika yang diterbitkan pada hari Selasa, 22 Juli 2014. Beliau menulis tentang (satu-satunya) cara untuk bisa mengalahkan zionis Israel. sehingga tulisannya pun diberi judul, Mengalahkan Zionis Israel . Berikut ini tulisannya saya tampilkan penuh tanpa ada sedikit pun saya kurangi atau tambahkan. "Mengalahkan Zionis Israel" Hari-hari ini, bangsa Palestina di Jalur Gaza sedang dibombardir pasukan Zionis-Israel. Nyaris tak ada perlawanan sama sekali, karena Palestina tak punya tentara. Hanya ada beberapa kelompok sipil bersenjata yang berusaha bertahan seadanya. Negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab tak berdaya. Begitu pula negara-negara berpenduduk mayoritas Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI), tak da

Hercules dan Moral

The Legend of Hercules Minggu, 9 Februari 2014 10.10 WIB Cukup lama saya tidak menonton sebuah film di bisokop. Untuk sebagian orang, hal ini merupakan sebuah pemborosan karena kondisi yang ada di Indonesia memungkinkan kita untuk bisa menonton sebuah film dengan harga yang jauh lebih murah.  Di Indonesia kita masih bisa untuk mendapatkan sebuah DVD dengan harga yang sangat murah, sekitar 6 (enam) ribu rupiah ( bajakan tentunya tapi dengan kualitas gambar yang cukup baik ), bandingkan dengan harga yang harus dikeluarkan apabila kita menonton sebuah film di bioskop, sekitar 25 ribu – 50 ribu rupiah tergantung bioskop yang kita pilih. Saya pun menyadari hal itu tapi saya tentu juga memiliki alasan. Terlepas dari alasan idealis yang sebenarnya juga masih saya miliki, alasan utama yang ingin saya kemukakan disini adalah bahwa menonton sebuah film di bioskop bagi saya adalah sebuah penyegaran, sebuah hobi untuk melepas penat dan mendapatkan lagi beberapa semangat. Ya, hobi. Mung

D-IV atau S1 ?

Suatu malam pada hari Sabtu , tanggal 14, bulan Januari , tahun 2012, berlatar tempatkan teras masjid Al-Ilmi IPDN Kampus Kalimantan Barat, terjadi satu percakapan ringan sangat sederhana tapi kemudian mampu untuk membuat otak ini menjadi rumit karena terus memikirkan substansi dari apa yang diperbincangkan itu, terlalu rumit sehingga saya pikir perlu untuk dituangkan dalam sebuah narasi penuh kata, tidak berpetuah dan tidak juga indah. Tapi cukup-lah untuk sekedar berbagi ide dan informasi yang pastinya tidak sesat. Dan ini-lah percakapan singkat itu : HP ( inisial teman saya ) : “Dim, kamu lebih milih mana, S.IP atau S.STP ?” Saya : “mmm….pengennya sih S.IP” HP : “Kenapa, Dim? Kata orang kan kalo S.STP tuh lebih baik buat karir dan kata orang juga S.IP tuh lebih condong buat jadi dosen.” Saya : “Wah gak tau sih kalo masalah yang kayak gitunya, tapi saya ingin S.IP karena yang saya tau S.IP itu lebih mudah untuk nantinya kita mau nerusin ke S2, nah kalo S.STP itu gak semua unive