Langsung ke konten utama

Nasib Guru

Rabu, 4 Desember 2024

08.16 WIB


Bissmillah walhamdulillah wa shallatu wassalam ala rasulillah


Pak Probowo, Presiden RI, menyampaikan sebuah pidato yang memberikan kabar gembira bagi seluruh guru di Indonesia pada puncak peringatan Hari Guru Nasional Tahun 2024. Pada pidatonya, Pak Prabowo mengucapkan bahwa pemerintah akan meningkatkan kesejahteraan guru. Berselang beberapa hari kemudian, harian Kompas (2/12/2024), memuat berita dengan judul Kenaikan Tunjangan Guru Masih Multitafsir.


Berita di atas ditulis berdasarkan pada opini dari seorang Pengamat pendidikan dari Perguruan Taman Siswa, Darmaningtyas. Beliau menilai bahwa pidato Pak Prabowo bisa ditafsirkan secara beragam. Karena masih sebatas isi pidato dari seorang Presiden, maka memang skema peningkatan kesejahteraan bagi guru perlu dirinci dan dituangkan secara resmi dalam aturan teknis. 


Maka, Darmaningtyas mendorong agar Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Bapak Abdul Mu’ti, untuk segera merinci skema yang dimaksud Pak Prabowo. Hal itu penting untuk segera dilakukan agar tidak membingungkan dan melambungkan ekspektasi para guru yang ada di Indonesia.


Akan tetapi, bagi kami yang saat ini bekerja di bagian kepegawaian dan memiliki jabatan sebagai Analis SDM Aparatur, kami justru memiliki pendapat lain dalam hal peningkatan kesejahteraan bagi guru di Indonesia. Kami melihat bahwa peningkatan kesejahteraan dalam bentuk menaikkan gaji atau tunjangan dalam situasi seperti ini, baru sebatas solusi jangka pendek. 


Kami berpandangan bahwa guru dewasa ini, dalam konteks Pemerintah Indonesia, membutuhkan solusi peningkatan kesejahteraan untuk jangka Panjang, yaitu kejelasan akan karir.


Saat ini kami berani untuk mengatakan bahwa karir guru di Indonesia sedang berada pada fase ketidakjelasan. Permasalahan guru honorer yang ada di Indonesia justru diselesaikan dengan cara mengangkat mereka menjadi guru PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja).


Konsekuensinya adalah para guru tersebut kemudian hanya diangkat untuk jangka waktu tertentu (rata-rata diangkat untuk masa kerja 5 tahun), sehingga nanti di 5 (lima) tahun yang akan datang, guru-guru tersebut kemudian akan kembali dihadapkan dengan permasalahan dan pertanyaan, "bagaimana nasib kami?"


Hal diatas menjadi sebuah ironi ketika kita sandingkan dengan tugas utama seorang guru. Mereka adalah garda terdepan untuk menyiapkan generasi penerus bangsa. Mereka harus bisa menumbuhkan semangat visioner dalam diri setiap anak didiknya. Tapi di waktu yang sama, para guru tersebut masih belum memiliki kejelasakan karir. Karena hanya "dikontrak" untuk bekerja selama 5 tahun.


Pun ketika kita mencoba menelusuri "sejarah" dibentuknya PPPK, maka hal itu pun tidak sejalan ketika kini digunakan sebagai solusi permasalahan pengangkatan guru honorer. PPPK, sesuai dengan namanya, maka diperuntukan untuk mengangkat pegawai dalam sebuah instansi pemerintah yang memang hanya dibutuhkan kehadirannya dalam waktu tertentu (per project) dan tidak diproyeksikan untuk memiliki jenjang karir dalam instansi pemerintah. 


Contoh paling gampang untuk hal itu adalah ketika sebuah instansi pemerintah akan membangun sebuah aplikasi, maka dibutuhkan kehadiran programmer. Programmer tersebut hanya dibutuhkan pada saat pembuatan aplikasi dan ketika aplikasi itu selesai dibuat, maka instansi pemerintah tidak lagi membutuhkan jasa programmer. Maka skema PPPK menjadi solusi atas pemasalahan itu.


Ketika sekarang skema PPPK justru digunakan untuk mengangkat guru honorer, maka hal itu kurang tepat ditinjau dari beberapa sisi. 


Pertama, guru merupakan jabatan di dalam instansi pemerintah yang memiliki jenjang karir yang Panjang dan bahkan secara psikologi seorang guru harus dijamin akan kejelasan karirnya sehingga dia bisa melakukan proses mengajar dengan maksimal. 

Kedua, dengan diangkatnya guru ke dalam PPPK maka ini hanya sekadar menyimpan "masalah" untuk kembali muncul di 5 tahun yang akan datang.


Maka solusi bagi guru hanya satu, mereka harus diangkat sebagai PNS. Bila memang alasan anggaran yang menjadi pertimbangan pemerintah, maka pemerintah tidak harus mengangkat seluruh guru dalam waktu bersamaan. Pemerintah bisa melakukan skema pengangkatan secara berkala pada guru. Tentunya dengan terlebih dahulu disepakati jumlah formasi yang dibutuhkan itu berapa.


Tapi inti yang ingin kami sampaikan adalah pengangkatan guru menjadi PPPK adalah hal yang kurang tepat. Karena jabatan guru adalah sebuah jabatan yang memiliki karir yang panjang.


Allahu'allam.

Selesai ditulis pada hari Rabu, 4 Desember 2024 pada pukul 09.07 WIB.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibadalana uliy ba’sin syadid

Selasa, 22 Juli 2014 22.00 WIB Saya akan menampilkan atau mem- posting tulisan dari Bapak Usep Romli , Pengasuh Pesantren Budaya "Raksa Sarakan" Garut. Tulisan ini merupakan tulisan di kolom Opini , harian Republika yang diterbitkan pada hari Selasa, 22 Juli 2014. Beliau menulis tentang (satu-satunya) cara untuk bisa mengalahkan zionis Israel. sehingga tulisannya pun diberi judul, Mengalahkan Zionis Israel . Berikut ini tulisannya saya tampilkan penuh tanpa ada sedikit pun saya kurangi atau tambahkan. "Mengalahkan Zionis Israel" Hari-hari ini, bangsa Palestina di Jalur Gaza sedang dibombardir pasukan Zionis-Israel. Nyaris tak ada perlawanan sama sekali, karena Palestina tak punya tentara. Hanya ada beberapa kelompok sipil bersenjata yang berusaha bertahan seadanya. Negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab tak berdaya. Begitu pula negara-negara berpenduduk mayoritas Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI), tak da...

Hercules dan Moral

The Legend of Hercules Minggu, 9 Februari 2014 10.10 WIB Cukup lama saya tidak menonton sebuah film di bisokop. Untuk sebagian orang, hal ini merupakan sebuah pemborosan karena kondisi yang ada di Indonesia memungkinkan kita untuk bisa menonton sebuah film dengan harga yang jauh lebih murah.  Di Indonesia kita masih bisa untuk mendapatkan sebuah DVD dengan harga yang sangat murah, sekitar 6 (enam) ribu rupiah ( bajakan tentunya tapi dengan kualitas gambar yang cukup baik ), bandingkan dengan harga yang harus dikeluarkan apabila kita menonton sebuah film di bioskop, sekitar 25 ribu – 50 ribu rupiah tergantung bioskop yang kita pilih. Saya pun menyadari hal itu tapi saya tentu juga memiliki alasan. Terlepas dari alasan idealis yang sebenarnya juga masih saya miliki, alasan utama yang ingin saya kemukakan disini adalah bahwa menonton sebuah film di bioskop bagi saya adalah sebuah penyegaran, sebuah hobi untuk melepas penat dan mendapatkan lagi beberapa semangat. Ya, hobi. ...

D-IV atau S1 ?

Suatu malam pada hari Sabtu , tanggal 14, bulan Januari , tahun 2012, berlatar tempatkan teras masjid Al-Ilmi IPDN Kampus Kalimantan Barat, terjadi satu percakapan ringan sangat sederhana tapi kemudian mampu untuk membuat otak ini menjadi rumit karena terus memikirkan substansi dari apa yang diperbincangkan itu, terlalu rumit sehingga saya pikir perlu untuk dituangkan dalam sebuah narasi penuh kata, tidak berpetuah dan tidak juga indah. Tapi cukup-lah untuk sekedar berbagi ide dan informasi yang pastinya tidak sesat. Dan ini-lah percakapan singkat itu : HP ( inisial teman saya ) : “Dim, kamu lebih milih mana, S.IP atau S.STP ?” Saya : “mmm….pengennya sih S.IP” HP : “Kenapa, Dim? Kata orang kan kalo S.STP tuh lebih baik buat karir dan kata orang juga S.IP tuh lebih condong buat jadi dosen.” Saya : “Wah gak tau sih kalo masalah yang kayak gitunya, tapi saya ingin S.IP karena yang saya tau S.IP itu lebih mudah untuk nantinya kita mau nerusin ke S2, nah kalo S.STP itu gak semua unive...