SUBEDJO IPDN KAMPUS KALBAR |
Senin, 20 Mei 2013
15.57 WIB
Saya yang takut primordialisme (baca : Takut Primordialisme), seharusnya berada di garda terdepan untuk memeranginya. Tapi saya justru masih sering untuk melakukannya, walau dalam takaran dan bentuk yang berbeda. Kecil dan sederhana.
15.57 WIB
Saya yang takut primordialisme (baca : Takut Primordialisme), seharusnya berada di garda terdepan untuk memeranginya. Tapi saya justru masih sering untuk melakukannya, walau dalam takaran dan bentuk yang berbeda. Kecil dan sederhana.
Saya hanya meyakini bahwa perubahan yang hakiki itu adalah evolusi bukan revolusi. Karena dengan revolusi akan selalu ada darah berjatuhan dan nyawa yang terbuang. Tak sia-sia memang, tapi tak manusiawi rasanya.
Tapi dengan cara evolusi, dengan cara yang santun bukan keras. Maka perubahan itu akan meresap dan terlembaga dalam hati setiap manusia. Mereka mengerti dan memahami dengan keteladanan yang utama.
Terlebih ini masalah budaya (kultur di tempat saya lebih terkenal disebutnya). Ya, struktur dan prosedurnya memang telah lama dibenahi. Diperbaiki dan disesuaikan dengan perubahan serta tuntutan perkembangan zaman. Semua telah direformasi. Restorasi. Bahkan mungkin revolusi.
Semua berubah sungguh kearah yang lebih baik, tapi kultur? Ini masalah lain, tidak akan serta merta bisa dengan mudah merubahnya. Perlu banyak waktu, apalagi masih terdapat generasi yang hidup dengan struktur dan prosedur yang membuat kultur itu. Sehingga generasi tersebut akan lebih mudah untuk “mengajarkan” kultur yang telah mereka mengerti dan pahami secara kaffah, daripada menjalankan kultur yang baru.
Kenapa begitu? Apakah orang-orang itu anti-perubahan? Saya rasa tidak, tapi ini lebih kepada bahwa kenyataan yang menyebutkan bahwa kultur itu tidak tercipta dalam waktu singkat. Kultur itu hasil karya, karsa, dan cipta suatu masyakarat. Kultur itu sistem nilai. Kultur itu yang kemudian mempengaruhi perilaku manusia.
Sedangkan struktur dan prosedur itu hanya alat. Betul bahwa struktur dan prosedur itu adalah salah satu alat atau cara untuk juga membentuk kultur yang baru. Akan tetapi perlu waktu serta komitmen yang tinggi dari setiap orang yang ada di dalamnya. Dan terpenting adalah komitmen dari pimpinan yang ada di dalamnya.
Apabila secara struktur dan prosedur sudah berubah tapi kemudian pada tataran impelemntasi untuk membentuk kultur yang baru itu masih dijalankan setengah hati maka jangan harapkan akan muncul sebuah kultur baru, sesuai dengan apa yang dicita-citakan.
Dan begitu-lah sekiranya apa yang ada di sini. Struktur dan kultur sudah dibenahi begitu sangat indahnya. Tetapi pada tataran implementasi masih terdapat beberapa “keraguan” sehingga kultur lama pun masih dengan nyamannya dilaksanakan dan diturunkan.
Pada kenyataanya tidak semua kultur di sini bernilai jelek. Kultur kekeluargaan dan mengutamakan keluarga sendiri dalam arti asal pendaftaran, saya pikir tidak sepenuhnya bernilai jelek. Karena logikanya, kita harus terlebih dahulu mengenal saudara sendiri sebelum kita bisa melangkah maju dan bersama mereka yang jauh.
Kultur yang mengajarkan seorang kakak untuk “mencampuri” urusan adiknya serta membina adiknya, saya pikir juga bukan sebuah kultur yang harus dengan serta merta dihilangkan. Karena jiwa seorang pamong yang harus mampu mengayomi serta memberi tauladan kepada orang lain tidak bisa tercipta hanya dengan mempelajari teori, harus dilaksanakan dan dilatih secara terus menerus.
Bagaimana kita belajar memimpin dan dipimpin. Bagaimana kita belajar mengurus dan diurus orang lain. Bagaimana kita menyelesaikan sebuah masalah dan memberikan sebuah solusi. Hal-hal praktis yang harus dilatih.
Sehingga apa yang harus dirubah bukan kultur itu secara penuh, tapi cara dalam menjalankan kultur tersebut. Karena sepanjang seragam itu masih dikenakan lengkap dengan atribut serta tanda pangkat yang tersemat. Maka kultur senior-junior, kakak-adik, akan tercipta. Permasalahannya adalah bagaimana cara menjalankan senior-junior dan hubungan kolegial kakak-adik tersebut.
Tapi mungkin dunia memang benar-benar telah berubah. Demokrasi memang benar-benar telah dipahami secara utuh atau mungkin cenderung bebas. Setiap orang memang memiliki hak untuk berpendapat dan hidup dengan pendapatya.
Ketika pendapatnya itu tidak bertentangan hukum atau aturan hanya sedikit tidak sesuai etika serta estetika, maka siapa yang bisa menyalahkan?
Saya yang tidak suka untuk memaksa orang lain dalam hal pendapat apalagi selera, apalagi dengan zaman yang telah demokrasi bukan lagi otoriter maka lebih memilih untuk mundur secara teratur.
Ya, dalam masalah ini, pesta demokrasi ini, semua kembali kepada angkatan kalian wahai adik-adik saya tercinta. Tapi, kami hanya ingin mengarahkan kalian, kami tak ingin acuh terhadap kalian. Terlebih dengan situasi yang ada, maka apakah bijak bagi kami untuk melepas kalian begitu saja?
Kami tidak memupuk lagi primordialisme, tapi kami hanya mendorong kalian dalam satu lingkup keluarga. Bila kalian telah memilki pemikiran bahwa ini adalah urusan angkatan kalian sehingga kami tak layak mencampurinya, maka apakah itu bukan artinya kalian menyuruh kami untuk bersikap apatis pada kalian?
Apakah memang struktur dan prosedur yang sekarang ini mengajarkan kita untuk bersikap seperti itu? Apakah memang atas nama hak asasi kalian tidak lagi memilki keinginan untuk bermusyawarah, bermufakat? Apakah tak ada lagi nilai-nilai kebersamaan untuk kebaikan?
Saya tak tau apabila memang ternyata seperti itu sehingga maafkan saya. Dan bila begitu, pantas-lah kalian tak lagi menghormati kami, tak ada lagi rasa sedikit untuk menghargai kami bahkan segan terhadap kami sebagai kakak kalian.
Saya tidak tau kalau kultur menghormati, menghargai, dan segan terhadap seorang kakak sudah tidak lagi relevan di zaman ini.
Bila begitu, tolong maafkan saya.
ahh! #PMA all day…
inilah pergeseran zaman, tidak hanya kakak yang tidak dihargai... terkadang bahkan guru juga tidak dihargai, tentunya kita tahu metode pembelajaran itu berbeda antara guru satu dengan yang lainnya, kenyataannya banyak orang tua yang tidak terima, padahal awalnya mereka sudah menyerahkan pendidikan tersebut pada guru. sama halnya dengan kakak, apapbila kita masih hidup dalam satu lingkungan yang terbagi dalalm beberapa blok barak atau asrama, maka kita keluarga... apa itu keluarga ?? keluarga itu akan merasakan sakit jika salah satu anggota keluarganya disakiti... perbedaan itu pasti terjadi, namu sama halnya dengan pelangi yang takkan indah bila hanya dengan satu warna. begitulah perasaan kakak terhadap adiknya, anggap saja mereka dalam proses pendewasaan. mereka tidak akan selamanya menjadi adik, suatu saat mereka akan menjadi kakak, bahkan menjadi orang tua... saat itulah mereka akan mengerti bagaimana rasanya bila sayang mereka dibalas dengan benci... PMI all days :P
BalasHapuswaah, speechless saya bang. dan itu lah yang saya juga ingin katakan pada mereka bahwa hukum karma itu ada dan sangat tidak enak ketika kasih sayang di balas dengan benci. semoga mereka bisa mengerti.
BalasHapusmereka pasti mengerti nanti. hanya mereka belum sampai pada tahap itu. mungkin, ini mungkin... mungkin cara kita mengungkapkan rasa sayang itu yang kurang tepat, sama halnya ketika kita dimarahin orang tua, tentunya mereka punya alasan dan bukan berarti mereka benci kan ?? tapi hati kita terkadang tidak terima karena mneurut kita, kita itu benar... saat itu kita mungkin tidak mengerti tapi disaat kita sudah menjadi orang tua, maka kita pun mengerti... ah tua banget deh kalo ngomong kayak gini :p
BalasHapus@bang harri : iya bang, lagi lagi semua jawaban itu waktu yang akan menjawabnya. haduh....
BalasHapus