*Artikel atau tulisan ini, saya buat/kerjakan untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran Sejarah, tentang Kearifan Lokal di SMA Negeri 1 Sumedang tahun ajaran 2009-2010
ADIMA I.A. NOORS
XII IPA 2
KEARIFAN LOKAL
(sumber http://jatinangorpisan.blogspot.com/2008/01/menara-loji-saksi-sejarah-yang.html)
Jatinagor merupakan daerah pendidikan, setidaknya pernyataan itu didukung oleh fakta bahwa terdapat empat perguruan tinggi negeri yang berdiri megah di sana. Keempat perguruan tinggi itu adalah : UNPAD, UNWIM, IKOPIN dan IPDN. Tak hanya itu, Jatinagor pun menyimpan sebuah bukti sejarah yang sebenarnya belum terlalu dikenal oleh masyarakat luas dan bahkan oleh penduduk asli Sumedang sekalipun. Bangunan yang dimaksud adalah sebuah menara bergaya neo gothic berwarna putih yang biasa disebut sebagai Menara Loji. Menara ini terletak di sebelah Utara UNPAD. Menara, yang dibangun pada tahun 1800-an ini, merupakan bukti sejarah penjajahan Belanda di Indonesia dan di Jatinangor khususnya.
Dalam sejarahnya, pada masa penjajahan Belanda, Jatinangor adalah areal perkebunan pohon karet, yang luasnya mencapai 962 hektar. Perkebunan karet ini didirikan pada tahun 1841 hasil kerjasama perusahaan swasta milik Belanda dengan seorang pria berkebangsaan Jerman bernama Baron Baud. Perkebunan ini membentang dari tanah IPDN hingga Gunung Manglayang. Untuk mengontrol perkebunannya yang luas itu, Baron Baud membangun sebuah menara. Menara ini dilengkapi dengan sebuah lonceng yang terletak di puncak menara dan tangga untuk sampai ke puncaknya.
Menara Loji memiliki dua fungsi utama. Pertama, untuk mengawasi para penyadap karet yang ia pekerjakan. Kedua, sebagai penanda waktu kerja bagi para penyadap karet. Pada pukul 05.00, lonceng dibunyikan, tanda bagi pekerja untuk mulai menyadap karet. Lonceng kembali berbunyi pada pukul 10.00, yang berarti sudah saatnya bagi pekerja untuk mengambil mangkuk-mangkuk yang telah terisi getah karet. Terakhir, lonceng dibunyikan lagi pada pukul 14.00, yang artinya para pekerja diperbolehkan untuk pulang.
Terlepas dari penderitaan yang mungkin dirasakan oleh para pekerja pada waktu itu, ada satu hal menarik yang bisa kita ambil dari sudut pandang yang berbeda. Ada satu kearifan lokal disitu, yang dalam hal ini berarti suatu ikatan pengetahuan yang dimiliki oleh kelompok masyarakat untuk memahami perubahan budaya yang ada di sekitarnya. Dalam konteks pembicaraan ini, kearifan lokal merupakan sesuatu yang berkaitan secara spesifik dengan budaya tertentu, dan mencerminkan cara hidup suatu masyarakat tertentu. Disini kita bisa menyimpulkan bahwa masyarakat Indonesia pada zaman pendudukan termasuk orang-orang yang memiliki budaya berdisiplin tinggi dan juga budaya malu untuk melakukan hal yang salah.
Sekali lagi, kita kesampingkan dulu faktor penjajahan yang ada pada waktu itu, tapi mari kita coba renungkan tentang bagaimana para pekerja bisa bekerja dengan penuh disiplin dan tepat pada waktu yang telah ditentukan hanya dengan sebuah lonceng? Bayangkan, apakah mungkin bunyi lonceng itu akan terdengar jelas di area seluas 962 hektar? Sekali lagi, fakta-fakta itu menunjukan bahwa masyarakat pada zaman penjajahan memilki budaya berdisiplin yang sangat tinggi. Hal lain yang perlu kita renungkan adalah budaya malu untuk melakukan hal-hal yang salah. Karena walaupun setiap harinya ada orang-orang yang mengawasi mereka untuk bekerja, tapi orang itu hanya mengawasi para pekerja dari kejauhan, dari sebuah sebuah menara. Jadi, bisa kita bayangkan bahwa sebenarnya ada banyak waktu untuk para pekerja untuk berleha-leha, bermalas-malasan dan mungkin untuk mengambil karet untuk keuntungan mereka sendiri. Tapi, semua tindakan itu tidak mereka lakukan bukan semata-mata karena mereka takut, tapi mereka juga menyadari bahwa itu bukanlah hal yang baik untuk dilakukan dan bukanlah termasuk budaya mereka.
Itu semua merupakan suatu kearifan lokal yang sebenarnya patut kita kita tiru dan lakukan pada era globalisasi seperti sekarang ini. Dengan menanamkan budaya disiplin dan budaya malu kita pasti bisa untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Kita akan menjadi orang-orang yang penuh dedikasi dan tanggung jawab dengan apa yang sedang kita kerjakan sekarang. Jadi, masa penjajahan memang tidak selalu identik dengan hal yang mengerikan, Karena sebenarnya ada banyak kearifan lokal yang terdapat di dalamya, apabila kita mau untuk melihat segala sesuatunya dari sudut pandang yang berbeda.
ADIMA I.A. NOORS
XII IPA 2
KEARIFAN LOKAL
(sumber http://jatinangorpisan.blogspot.com/2008/01/menara-loji-saksi-sejarah-yang.html)
Jatinagor merupakan daerah pendidikan, setidaknya pernyataan itu didukung oleh fakta bahwa terdapat empat perguruan tinggi negeri yang berdiri megah di sana. Keempat perguruan tinggi itu adalah : UNPAD, UNWIM, IKOPIN dan IPDN. Tak hanya itu, Jatinagor pun menyimpan sebuah bukti sejarah yang sebenarnya belum terlalu dikenal oleh masyarakat luas dan bahkan oleh penduduk asli Sumedang sekalipun. Bangunan yang dimaksud adalah sebuah menara bergaya neo gothic berwarna putih yang biasa disebut sebagai Menara Loji. Menara ini terletak di sebelah Utara UNPAD. Menara, yang dibangun pada tahun 1800-an ini, merupakan bukti sejarah penjajahan Belanda di Indonesia dan di Jatinangor khususnya.
Dalam sejarahnya, pada masa penjajahan Belanda, Jatinangor adalah areal perkebunan pohon karet, yang luasnya mencapai 962 hektar. Perkebunan karet ini didirikan pada tahun 1841 hasil kerjasama perusahaan swasta milik Belanda dengan seorang pria berkebangsaan Jerman bernama Baron Baud. Perkebunan ini membentang dari tanah IPDN hingga Gunung Manglayang. Untuk mengontrol perkebunannya yang luas itu, Baron Baud membangun sebuah menara. Menara ini dilengkapi dengan sebuah lonceng yang terletak di puncak menara dan tangga untuk sampai ke puncaknya.
Menara Loji memiliki dua fungsi utama. Pertama, untuk mengawasi para penyadap karet yang ia pekerjakan. Kedua, sebagai penanda waktu kerja bagi para penyadap karet. Pada pukul 05.00, lonceng dibunyikan, tanda bagi pekerja untuk mulai menyadap karet. Lonceng kembali berbunyi pada pukul 10.00, yang berarti sudah saatnya bagi pekerja untuk mengambil mangkuk-mangkuk yang telah terisi getah karet. Terakhir, lonceng dibunyikan lagi pada pukul 14.00, yang artinya para pekerja diperbolehkan untuk pulang.
Terlepas dari penderitaan yang mungkin dirasakan oleh para pekerja pada waktu itu, ada satu hal menarik yang bisa kita ambil dari sudut pandang yang berbeda. Ada satu kearifan lokal disitu, yang dalam hal ini berarti suatu ikatan pengetahuan yang dimiliki oleh kelompok masyarakat untuk memahami perubahan budaya yang ada di sekitarnya. Dalam konteks pembicaraan ini, kearifan lokal merupakan sesuatu yang berkaitan secara spesifik dengan budaya tertentu, dan mencerminkan cara hidup suatu masyarakat tertentu. Disini kita bisa menyimpulkan bahwa masyarakat Indonesia pada zaman pendudukan termasuk orang-orang yang memiliki budaya berdisiplin tinggi dan juga budaya malu untuk melakukan hal yang salah.
Sekali lagi, kita kesampingkan dulu faktor penjajahan yang ada pada waktu itu, tapi mari kita coba renungkan tentang bagaimana para pekerja bisa bekerja dengan penuh disiplin dan tepat pada waktu yang telah ditentukan hanya dengan sebuah lonceng? Bayangkan, apakah mungkin bunyi lonceng itu akan terdengar jelas di area seluas 962 hektar? Sekali lagi, fakta-fakta itu menunjukan bahwa masyarakat pada zaman penjajahan memilki budaya berdisiplin yang sangat tinggi. Hal lain yang perlu kita renungkan adalah budaya malu untuk melakukan hal-hal yang salah. Karena walaupun setiap harinya ada orang-orang yang mengawasi mereka untuk bekerja, tapi orang itu hanya mengawasi para pekerja dari kejauhan, dari sebuah sebuah menara. Jadi, bisa kita bayangkan bahwa sebenarnya ada banyak waktu untuk para pekerja untuk berleha-leha, bermalas-malasan dan mungkin untuk mengambil karet untuk keuntungan mereka sendiri. Tapi, semua tindakan itu tidak mereka lakukan bukan semata-mata karena mereka takut, tapi mereka juga menyadari bahwa itu bukanlah hal yang baik untuk dilakukan dan bukanlah termasuk budaya mereka.
Itu semua merupakan suatu kearifan lokal yang sebenarnya patut kita kita tiru dan lakukan pada era globalisasi seperti sekarang ini. Dengan menanamkan budaya disiplin dan budaya malu kita pasti bisa untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Kita akan menjadi orang-orang yang penuh dedikasi dan tanggung jawab dengan apa yang sedang kita kerjakan sekarang. Jadi, masa penjajahan memang tidak selalu identik dengan hal yang mengerikan, Karena sebenarnya ada banyak kearifan lokal yang terdapat di dalamya, apabila kita mau untuk melihat segala sesuatunya dari sudut pandang yang berbeda.
Komentar
Posting Komentar