SENIN, 16 SEPTEMBER 2013
08.24 WIB
Ini sebagian hasil obrolan semalaman suntuk bersama para sahabat, yang terkadang tidak masuk di akal.
Saya tidak akan mengomentari atau menceritakan jelas apa yang telah kami obrolkan. Karena memang saya pun tidak mampu mengingatnya penuh dan terang atau bahkan apa yang kami obrolkan terlalu tidak mengandung unsur edukasi sehingga percuma kalaupun harus saya ceritakan ulang.
Tapi banyak dari apa yang telah kami obrolkan pada malam hingga pagi hari itu berkutat pada permasalahan dunia usaha.
Saya memang kurang tertarik dan saya pun sadar tidak mempunyai bakat di dalam dunia usaha. Tapi ini pendapat saya tentang dunia usaha.
Pada dasarnya dan hakikatnya dunia usaha itu di luar apa yang di ajarkan di kampus ini. Kami tidak disiapkan untuk menjadi seorang pebisnis. Kasarnya ini bukan-lah sebuah sekolah bisnis!
Kampus ini, koreksi jika saya salah, adalah pencetak kader pemerintahan. Sejauh yang saya tau, apa yang kampus ini harapkan adalah agar peserta didiknya mampu untuk menjadi birokrat yang handal.
Di awal kami diingatkan, bahwa salah ketika ingin mendapatkan banyak harta memilih menjadi seorang abdi negara. Uang tak akan seberapa kami dapatkan.
Apa yang akan kami dapatkan nantinya, bila menjadi seorang abdi dalem, hanya akan mendapat nama baik. Mendapatkan penghargaan, sebuah pengabdian.
Bekerja untuk orang banyak, menciptakan manfaat tapi tidak mendapatkan profit. Menjadi pelayan yang tidak menjadi kaya tapi justru menyejahterakan (red:membuat kaya) masyarakat.
Dari situ terlihat jelas perbedaan mendasar. Secara prinsip, tujuan dunia usaha dan pemerintahan berbeda. Beda fokus. Yang satu benefit dan yang satu profit.
Lalu salahkah apabila kita mencampuradukannya?
Secara normatif dan mungkin etika, saya pikir sedikit bisa disalahkan walaupun bisa juga mendapatkan banyak pembenaran.
Cenderung akan bertabrakan dengan jabatan, penyalahgunaan wewenang. Sangat riskan!
Tapi berbeda ketika ada seorang atau dua atau tiga, empat, lima, dan seterusnya, yang mampu menyeimbangkannya.
Tapi bagaimana faktanya?
Ada, bahkan banyak kok yang bisa seimbang!
Untuk saya pribadi, sedari awal, saya haus akan nama baik. Apresiasi dan dikenal serta disegani karena mampu mengambil dan membuat kebijakan. Orang-orang bertumpu pada apa yang saya ucapkan dan tidak saya ucapkan. Saya pun sadar tidak pernah mempunyai kemampuan teknis spesifik. Saya terlampau sangat generalis!
Oleh karenanya, saya tidak terlalu tertarik dengan dunia usaha. Saya ingin benar-benar terfokus terhadap apa yang telah saya tentukan untuk masuk ke kampus ini dan menjadi seorang abdi negara juga masyarakat.
Itu impian idealis saya!
Perpaduan keras antara apa yang Ayah saya alami dan Paman (red:Uwa) saya dapatkan. Ada yang salah dan saya ingin merubahnya, tercampur hangat dengan keinginan untuk mendapatkan apresiasi dan nama baik serta pengakuan.
Bermanfaat dengan menghasilkan benefit. Tidak atau bukan profit. Ini pilihan saya. Tak masalah anda tidak setuju lalu kemudian berbeda.
Tapi saya pun tidak munafik, saya juga butuh materi. Hidup tanpa materi, bisa apa? Tapi saya meyakini, dapat mendapatkan itu (red:materi) sejalan dengan pengabdian yang telah saya berikan.
Lalu masalahnya apa?
Masalahnya adalah dualisme tanpa keseimbangan. Apabila sedari dunia pendidikan yang telah jelas untuk menjadi seorang pegawai negeri sipil, sudah banyak terfokus pada dunia usaha, lantas apa jadinya nanti setelah bekerja?
Ya, mungkin menjadi pegawai itu hanya untuk mendapatkan zona nyaman atau batu loncatan. Itu pun tidak melanggar aturan normatif apapun, jadi memang wajar ‘kan?
Tapi saya merasa itu sedikit banyaknya melanggar etika. Kenapa tidak sedari awal saja masuk sekolah bisnis?
Tapi, tapi, dan lagi, lagi tapi, itu pilihan hidup setiap pribadi masing-masing. Dengan setiap visi, misi, dan strategi yang telah ditetapkan. Sepanjang tidak menyalahi aturan atau norma agama, sosial, dan negara, kenapa juga harus berhenti?
Well, well, well…
just #PMA all day, guys!
08.24 WIB
Ini sebagian hasil obrolan semalaman suntuk bersama para sahabat, yang terkadang tidak masuk di akal.
Saya tidak akan mengomentari atau menceritakan jelas apa yang telah kami obrolkan. Karena memang saya pun tidak mampu mengingatnya penuh dan terang atau bahkan apa yang kami obrolkan terlalu tidak mengandung unsur edukasi sehingga percuma kalaupun harus saya ceritakan ulang.
Tapi banyak dari apa yang telah kami obrolkan pada malam hingga pagi hari itu berkutat pada permasalahan dunia usaha.
Saya memang kurang tertarik dan saya pun sadar tidak mempunyai bakat di dalam dunia usaha. Tapi ini pendapat saya tentang dunia usaha.
Pada dasarnya dan hakikatnya dunia usaha itu di luar apa yang di ajarkan di kampus ini. Kami tidak disiapkan untuk menjadi seorang pebisnis. Kasarnya ini bukan-lah sebuah sekolah bisnis!
Kampus ini, koreksi jika saya salah, adalah pencetak kader pemerintahan. Sejauh yang saya tau, apa yang kampus ini harapkan adalah agar peserta didiknya mampu untuk menjadi birokrat yang handal.
Di awal kami diingatkan, bahwa salah ketika ingin mendapatkan banyak harta memilih menjadi seorang abdi negara. Uang tak akan seberapa kami dapatkan.
Apa yang akan kami dapatkan nantinya, bila menjadi seorang abdi dalem, hanya akan mendapat nama baik. Mendapatkan penghargaan, sebuah pengabdian.
Bekerja untuk orang banyak, menciptakan manfaat tapi tidak mendapatkan profit. Menjadi pelayan yang tidak menjadi kaya tapi justru menyejahterakan (red:membuat kaya) masyarakat.
Dari situ terlihat jelas perbedaan mendasar. Secara prinsip, tujuan dunia usaha dan pemerintahan berbeda. Beda fokus. Yang satu benefit dan yang satu profit.
Lalu salahkah apabila kita mencampuradukannya?
Secara normatif dan mungkin etika, saya pikir sedikit bisa disalahkan walaupun bisa juga mendapatkan banyak pembenaran.
Cenderung akan bertabrakan dengan jabatan, penyalahgunaan wewenang. Sangat riskan!
Tapi berbeda ketika ada seorang atau dua atau tiga, empat, lima, dan seterusnya, yang mampu menyeimbangkannya.
Tapi bagaimana faktanya?
Ada, bahkan banyak kok yang bisa seimbang!
Untuk saya pribadi, sedari awal, saya haus akan nama baik. Apresiasi dan dikenal serta disegani karena mampu mengambil dan membuat kebijakan. Orang-orang bertumpu pada apa yang saya ucapkan dan tidak saya ucapkan. Saya pun sadar tidak pernah mempunyai kemampuan teknis spesifik. Saya terlampau sangat generalis!
Oleh karenanya, saya tidak terlalu tertarik dengan dunia usaha. Saya ingin benar-benar terfokus terhadap apa yang telah saya tentukan untuk masuk ke kampus ini dan menjadi seorang abdi negara juga masyarakat.
Itu impian idealis saya!
Perpaduan keras antara apa yang Ayah saya alami dan Paman (red:Uwa) saya dapatkan. Ada yang salah dan saya ingin merubahnya, tercampur hangat dengan keinginan untuk mendapatkan apresiasi dan nama baik serta pengakuan.
Bermanfaat dengan menghasilkan benefit. Tidak atau bukan profit. Ini pilihan saya. Tak masalah anda tidak setuju lalu kemudian berbeda.
Tapi saya pun tidak munafik, saya juga butuh materi. Hidup tanpa materi, bisa apa? Tapi saya meyakini, dapat mendapatkan itu (red:materi) sejalan dengan pengabdian yang telah saya berikan.
Lalu masalahnya apa?
Masalahnya adalah dualisme tanpa keseimbangan. Apabila sedari dunia pendidikan yang telah jelas untuk menjadi seorang pegawai negeri sipil, sudah banyak terfokus pada dunia usaha, lantas apa jadinya nanti setelah bekerja?
Ya, mungkin menjadi pegawai itu hanya untuk mendapatkan zona nyaman atau batu loncatan. Itu pun tidak melanggar aturan normatif apapun, jadi memang wajar ‘kan?
Tapi saya merasa itu sedikit banyaknya melanggar etika. Kenapa tidak sedari awal saja masuk sekolah bisnis?
Tapi, tapi, dan lagi, lagi tapi, itu pilihan hidup setiap pribadi masing-masing. Dengan setiap visi, misi, dan strategi yang telah ditetapkan. Sepanjang tidak menyalahi aturan atau norma agama, sosial, dan negara, kenapa juga harus berhenti?
Well, well, well…
just #PMA all day, guys!
Komentar
Posting Komentar