Langsung ke konten utama

Berubah apa?


SENIN, 3 NOVEMBER 2014
13.07 WIB

Ketika sebuah tulisan tak banyak didukung oleh data berupa fakta ataupun teori yang relevan, maka tulisan itu tak lebih hanya sebuah opini, bahkan tak layak untuk sedikit pun dijadikan bahan pertimbangan.

Saya paham itu, dan telah banyak orang yang memberikan kritik bahwa tulisan saya tak bermutu. Karena memang tak banyak memasukan data relevan di dalamnya. Tulisan saya hanya sebuah narasi dari intuisi jiwa yang meledak-ledak.

Perbaikan coba saya lakukan tentunya dengan banyak membaca buku referensi sebagai acuan. Tapi kenyataannya belum banyak yang mampu saya perbaiki. Saya terlampau nyaman untuk terus menulis hanya berdasarkan intuisi. Atau mungkin saya terlalu malas untuk membaca beberapa buku sebagai daftar pustaka. Atau bahkan mungkin perpaduan dari dua hal itu.

Tapi percaya-lah, saya selalu berusaha menjadi seseorang dengan pemikiran yang terbuka. Saya selalu senantiasa berubah, menjadi pribadi yang lebih baik dan berguna.

Dan tanpa mengurangi niat saya untuk selalu mendengar masukan dan berubah menjadi lebih baik, izinkan saya untuk pada kesempatan kali ini untuk kembali menulis sebuah opini tanpa banyak menyertakan data relevan di dalamnya. Mohon berkenan.

***

Bila dirunut lagi ke belakang, pemikiran saya masih tetap sama sehingga apa yang akan saya kritik juga masih hal yang berkaitan dengan apa yang telah saya tuliskan terdahulu seperti Revisi UU No. 32 tahun 2004, Merubah Format Otonomi Daerah, Euforia Demokrasi, Otonomi Milik Siapa?, Pilkada Melalui DPRD,  dan Apa Kabar Bentuk Otonomi Daerah?

Saya tetap menginginkan sebuah format baru dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. 

Pada akhirnya, UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagai sebuah UU yang merevisi UU 32/2004 belum menyentuh substansi utama tentang penegasan letak otonomi itu sendiri. Sejauh yang saya tau, di dalam UU 23/2014 tersebut otonomi daerah masih diletakan di Provinsi juga Kabupaten/Kota. 

Pembagian tugas antara Pusat dan Daerah pun semakin rumit, setidaknya itu menurut saya terlebih ketika juga membaca pembagian tugas antara Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pun ketika harus memahami tugas Gubenur sebagai Wakil Pemerintah Pusat di daerah, begitu rumit. Tapi sekali lagi, saya mengatakan rumit karena mungkin keterbatasan saya dalam mencerna UU tersebut.

Bagi saya, UU 23/2014 tidak membuat pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia terlihat sederhana. Di dalam UU itu pun tak banyak memberikan perubahan signifikan terhadap pelaksanaan otonomi. Karena secara substansi tak banyak yang berubah.

Saya pribadi termasuk orang yang menginginkan perubahan mendasar terhadap pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. 

Perubahan mendasar itu berupa kejelasan letak otonomi, apakah di Provinsi atau di Kabupaten/Kota, karena saya tetap pada pemahaman bahwa otonomi tak bisa untuk dilakukan secara bersamaan di Provinsi dan juga Kabupaten/Kota. 

Lalu mustahil bagi Gubernur untuk melaksanakan peran sebagai wakil pemerintah pusat dan juga kepala daerah sebuah daerah otonomo di Provinsi secara bersamaan.

Perubahan mendasar yang kedua adalah mengenai kejelasan urusan dan wewenang antara Pusat dan daerah otonom. 

Ya, dalam UU 32/2004 maupun UU 23/2014 telah jelas mengatur bahwa ada urusan absolut yang menjadi kewenangan Pusat dan urusan yang menjadi kewenangan daerah otonom. Di dalam UU itu pun disebutkan bahwa dalam pelaksanaan urusan yang menjadi kewenangan daerah otonom. Pusat hanya bertugas untuk memberikan pedoman pelaksanaan kerja, bukan kepada teknis kegiatan.

Tapi, aturan itu kemudian tak diikuti dengan kebijakan dalam pembentukan Pemerintahan di tingkat Pusat. Pada kenyataannya, Pusat dalam hal ini Presiden masih membentuk kementerian yang mengerjakan urusan yang sebenarnya telah secara jelas menjadi kewenangan daerah otonom. 

Bila memang Pusat secara konsisten berpegang pada UU 23/2014 maka seharusnya Pusat hanya memberikan guidance, bukan juga sibuk mengeluarkan berbagai program teknis. Dan apabila begitu, maka kementerian tak perlu lagi memiliki Direktorat Jenderal yang mengurusi segala tetek bengek kegiatan teknis yang pelaksanaannya ada di daerah otonom.

Bila Pusat juga tetap menjalankan fungsi seperti itu, lantas untuk apa ada sebuah otonomi daerah?

Dan itu-lah yang saya inginkan dari penataan ulang konsep otonomi di daerah. Diikuti juga dengan pembentukan aturan mengenai Pemerintah Pusat.

Tapi, ya sudah-lah, toh mereka yang ada di atas sana jauh lebih berpengalaman dan pintar daripada saya yang ada di sini. Saya yakin, saya hanya mampu untuk berpikir seperti ini karena kebodohan yang saya miliki. Sedangkan mereka yang mempunyai banyak pemahaman teori tentu lebih berpikir kepada sesuatu yang jauh lebih kompleks dari apa yang mampu saya pikirkan.

Pada akhirnya ini hanya sebuah “obrolan warung kopi”, saya tetap dengan sekedar menulis untuk memenuhi blog dan menjadi seorang staf yang setiap harinya “berpura-pura” untuk bekerja.

#PMA

Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. saran saya baca dulu dim di lampiran UU 23 Tahun 2014, disana pembagian kewanangan antara pusat dan daerah sangat jelas, jika boleh dikata urusan yang lebih tekhnis sepenuhnya berada di level Kabupaten/Kota ..

    BalasHapus
  3. Iya betul pak, tapi sayangnya pusat juga punya program teknis. jadi gimana tuh pak?

    BalasHapus
  4. contoh yg teekhnis seperti apa pak dima?

    BalasHapus
  5. tunggu tulisan yang terbaru pak hehe

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibadalana uliy ba’sin syadid

Selasa, 22 Juli 2014 22.00 WIB Saya akan menampilkan atau mem- posting tulisan dari Bapak Usep Romli , Pengasuh Pesantren Budaya "Raksa Sarakan" Garut. Tulisan ini merupakan tulisan di kolom Opini , harian Republika yang diterbitkan pada hari Selasa, 22 Juli 2014. Beliau menulis tentang (satu-satunya) cara untuk bisa mengalahkan zionis Israel. sehingga tulisannya pun diberi judul, Mengalahkan Zionis Israel . Berikut ini tulisannya saya tampilkan penuh tanpa ada sedikit pun saya kurangi atau tambahkan. "Mengalahkan Zionis Israel" Hari-hari ini, bangsa Palestina di Jalur Gaza sedang dibombardir pasukan Zionis-Israel. Nyaris tak ada perlawanan sama sekali, karena Palestina tak punya tentara. Hanya ada beberapa kelompok sipil bersenjata yang berusaha bertahan seadanya. Negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab tak berdaya. Begitu pula negara-negara berpenduduk mayoritas Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI), tak da

Hercules dan Moral

The Legend of Hercules Minggu, 9 Februari 2014 10.10 WIB Cukup lama saya tidak menonton sebuah film di bisokop. Untuk sebagian orang, hal ini merupakan sebuah pemborosan karena kondisi yang ada di Indonesia memungkinkan kita untuk bisa menonton sebuah film dengan harga yang jauh lebih murah.  Di Indonesia kita masih bisa untuk mendapatkan sebuah DVD dengan harga yang sangat murah, sekitar 6 (enam) ribu rupiah ( bajakan tentunya tapi dengan kualitas gambar yang cukup baik ), bandingkan dengan harga yang harus dikeluarkan apabila kita menonton sebuah film di bioskop, sekitar 25 ribu – 50 ribu rupiah tergantung bioskop yang kita pilih. Saya pun menyadari hal itu tapi saya tentu juga memiliki alasan. Terlepas dari alasan idealis yang sebenarnya juga masih saya miliki, alasan utama yang ingin saya kemukakan disini adalah bahwa menonton sebuah film di bioskop bagi saya adalah sebuah penyegaran, sebuah hobi untuk melepas penat dan mendapatkan lagi beberapa semangat. Ya, hobi. Mung

Wahana Wyata Praja IPDN

Sejarah Singkat Wahana Wyata Praja Wahana Wyata Praja adalah organisasi internal Praja IPDN yang pada dasarnya mempunyai tugas dan fungsi sama dari tahun ke tahun, namun namanya berubah sesuai situasi dan kondisi pada masa angkatan tersebut. Nama organisasi praja yang terbentuk sejak awal berdirinya STPDN hingga IPDN adalah sebagai berikut: Manggala Corps Praja Angkatan I STPDN sampai dengan angkatan IV STPDN Organisasi ini bernama MANGGALA CORPS PRAJA, yang pimpinannya adalah Manggala Pati dengan tanda jabatan talikur berwarna merah, nama Manggala Corps ini hanya sampai pada angkatan IV saja, karena pada angkatan V organisasi internal Praja ini berubah nama menjadi WAHANA BINA PRAJA. Wahana Bina Praja Angkatan IV STPDN sampai dengan angkatan XVI STPDN Wahana Bina Praja ini pimpinannya bernama Gubernur Praja dengan tanda jabatan talikur berwarna biru lis kuning nestel dua, dari Wahana Bina Praja inilah mulai di bentuk berbagai instansi dan UKP yang di ang