Selasa,
18 Oktober 2022
08.47
WIB
Salah
satu mimpi besar bangsa Indonesia dalam menyongsong 100 tahun kemerdekaan pada
tahun 2045 adalah mendapatkan “generasi emas”. Apa itu generasi emas?
Generasi
emas adalah kondisi jumlah penduduk Indonesia yang mencapai usia produktif,
yaitu berusia 0-19 tahun, lebih banyak dibandingkan usia tua (diperkirakan
jumlahnya mencapai 88 juta jiwa) (Darman, 2017). Hal itu yang kemudian menjadi
dasar banyak orang yang menyebut kondisi itu dengan istilah bonus demografi.
Akan
tetapi, generasi emasi tentu harus dimaknai lebih dari sekadar jumlah
(kuantitas) semata. Generasi emas harus juga bisa memberikan makna dari sisi
kualitasnya.
Menurut
Suyanto (2010) dalam Mahanal (2014) generasi emas memiliki perilaku karakter
atau nilai-nilai luhur yang terbagi menjadi empat pilar sebagai berikut; (1)
Pikir: cerdas, kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu, berpikir terbuka,
produktif, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi, serta reflektif; (2)
Hati: jujur, beriman dan bertakwa, amanah, adil, bertanggung jawab,
berempati, berani mengambil resiko, pantang menyerah, rela berkorban, dan
berjiwa patriotik; (3) Raga: tangguh, gigih, berdaya tahan, bersih dan
sehat, disiplin, sportif, andal, bersahabat, kooperatif, determinatif,
kompetitif dan ceria;dan (4) Rasa: peduli, ramah, santun, rapi,
menghargai, toleran, suka menolong, nasionalis, mengutamakan kepentingan umum,
bangga menggunakan produk dan bahasa Indonesia, dinamis, kerja keras, dan beretos
kerja.
Apabila
dua hal di atas bisa terpenuhi, kuantitas dan kualitas, maka mimpi bangsa
Indonesia untuk mendapatkan generasi emas bukan sekadar isapan jempol belaka.
Sebagaimana
diberitakan oleh Kompas (18/10/2022), rerata IQ masyarakat Indonesia berada
pada skor 78,49. Dengan skor tersebut Indonesia berada di urutan ke-130 dari
199 negara dan masuk kategori borderline atau batas fungsi intelektual
(70-79).
Hal
yang menarik untuk diperhatikan dari data di atas adalah peran negara dalam
dunia Pendidikan. Di dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat 4, dengan tegas menyebutkan
bahwa anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN (Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara) dan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah).
Sehingga
urusan Pendidikan seharusnya bukan menjadi sebuah masalah. Karena secara
konstitusi, telah secara jelas mengamanatkan porsi anggaran yang cukup besar.
Maka
pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah sudah optimalkah kebijakan tersebut
dijalankan?
Ada
banyak kriteria untuk bisa mengukur optimal atau tidaknya anggaran Pendidikan
di Indonesia. Tapi di dalam tulisan ini, kami ingin mencoba mengupas dari segi
SDM di dalam birokrasi Indonesia.
Sisi
ini sering diabaikan, padahal kebijakan pemerintah itu tidak muncul secara
tiba-tiba. Setiap kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah muncul dari mesin
birokrasi yang diisi oleh banyak manusia, yang dalam konteks ini disebut dengan
Pegawai ASN.
Pegawai
ASN tidak akan bisa bekerja maksimal apabila tidak didukung oleh lingkungan
kerja yang kondusif. Kondusifnya lingkungan kerja tentu dipengaruhi oleh banyak
hal. Dan salah satu diantaranya adalah tentang kejelasan pola karier.
Di
dalam UU ASN, sudah sangat jelas disebutkan bahwa paradigma pengembangan karier
di dunia birokrasi saat ini menggunakan sistem merit, yaitu sebuah sistem yang
menitikberatkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar,
tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul,
jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan.
Akan
tetapi pada fakta di lapangan serta aturan turunan dari UU ASN, proses
pengembangan karier masih melihat senioritas (masa kerja, pangkat dan
golongan). Sehingga anak-anak muda potensial dalam dunia birokrasi masih harus
kalah bersaing hanya karena alasan senioritas.
Pemerintah
Indonesia dalam hal ini, Kemenpan RB, telah melakukan gebrakan dengan menghapus
jabatan struktural eselon IV dan III di seluruh instansi pemerintah, baik pusat
maupun daerah.
Tapi,
penghapusan eselon IV dan III bukan sebuah panesea. Bahkan kini PR bagi
Pemerintah Indonesia pasca-penghapusan eselon IV dan III justru semakin
menumpuk. Mulai dari pemberian tunjangan jabatan fungsional yang semakin besar,
pergesaran pola pikir dari seorang pejabat struktural ke fungsional, dan
perhitungan formasi bagi setiap jabatan fungsional di masing-masing instansi.
Pemerintah
Indonesia harus mencari solusi lain sehingga karier bagi Pegawai ASN potensial
bisa terus melesat tanpa terhalangi faktor senioritas. Dan sebenarnya solusi
itu sudah lama direncanakan ketika dibentuknya UU ASN pada tahun 2014 silam.
Pemerintah
Indonesia, melalui UU ASN, sudah mulai mewacanakan penghapusan golongan/pangkat
dalam dunia birokrasi. Hal itu merupakan bagian besar dari reformasi
gaji bagi Pegawai ASN. Tapi faktanya, sampai dengan saat ini, Pemerintah
Indonesia masih belum bisa merumuskan pengganti golongan/pangkat bagi Pegawai
ASN.
Maka
dengan semangat memberikan lingkungan kerja yang kondusif dengan paradigma
sistem merit, Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kemenpan RB, Kemenkeu, BKN,
dan juga Kemendagri harus segera merumuskan pola karier bagi Pegawai ASN dengan
menghilangkan senioritas (masa kerja, pangkat dan golongan).
Sehingga
hal itu diharapkan bisa menciptakan iklim yang kondusif bagi terciptakan
kebijakan untuk mencapai generasi emas Indonesia di tahun 2045.
Daftar
Pustaka
Darman,
Regina Ade. 2017. Mempersiapkan Generasi Emas Indonesia Tahun 2045 Melalui
Pendidikan Berkualitas. Jurnal Edik Informatika.
Mahanal,
Susriyanti. 2014. Peran Guru dalam Melahirkan Generasi Emas dengan Keterampilan
Abad 21. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan HMPS Pendidikan
Biologi FKIPUniversitas Halu Oleo Tgl. 20 September 2014.
Komentar
Posting Komentar