Langsung ke konten utama

Piala Dunia 2022 dan Mimpi Indonesia


Bagi para penggila bola, Piala Dunia adalah turnamen yang sangat dinantikan, sebuah kompetisi terbesar dan terdahsyat di dunia (setidaknya itulah klaim dari FIFA) karena mempertemukan 32 negara dari masing-masing benua di belahan dunia ini.

Walaupun negara kita tercinta, Indonesia, belum pernah sekalipun tampil di ajang termegah ini, kita rakyat Indonesia para penggemar keindahan sepak bola selalu mempunyai tempat tersendiri untuk menikmati turnamen ini.

Dan tanpa disangka-sangka Indonesia, yang jelas-jelas belum mempunyai pengalaman ataupun sejarah khusus dalam kejuaraan ini, dengan berani mencalonkan diri sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022! Ini bukan berita baru dan bahkan telah terdengar tak asing lagi. Karena Indonesia sendiri telah melakukan pendaftaraan resmi kepada FIFA pada tanggal 16 Maret lalu. Dan kini perjuangan Indonesia, melalui PSSI telah memasuki babak baru dan akan masih melewati babak-babak lainnya.

Apakah Indonesia pantas untuk melakukan itu? Hmm...jawaban dari pertanyaan ini sangat tergantung dari sudut mana kita memandang permasalahan bidding piala dunia 2022 ini. Bila kita menanyakan itu pada Nurdin Halid, ketua umum PSSI, maka kita akan disuguhkan sebuah jawaban yang sangat menggebu-gebu nan optimis. Nurdin berkali-kali telah memberikan pernyataan bahwa Indonesia sangat layak untuk menyelenggarakan Piala Dunia dan tidak ada satu alasan pun bagi Indonesia untuk mersa rendah diri dari negara-negara lainnya. Dia tidak salah tapi bagi saya pernyataan itu juga tak sepenuhnya benar.

Menyelenggarakan sebuah event besar sebesar Piala Dunia merupakan impian setiap negara di dunia ini, termasuk negara Indonesia. Tak ada salahnya bagi kita untuk bermimpi dan mempunyai cita-cita, bahkan kita memang sudah seharusnya memiliki cita-cita dan keinginan setinggi mungkin. Karena sungguh, kita manusia tak akan pernah bisa hidup tanpa adanya sebuah mimpi sebagai sebuah penyemangat dalam diri kita. Tanpa adanya sebuah mimpi dan cita-cita, mungkin tak akan ada semangat bagi kita dalam menjalani segala rutinitas sehari-harinya, tapi dengan adanya sebuah mimpi, itu merupakan sebuah motivasi lebih bagi kita dalam menatap dan menata masa depan kita sebaik mungkin. Tapi, selayaknya seorang bayi yang pasti bermimpi untuk bisa berlari, bayi itu harus melewati serangkaian proses dan melalui beberapa "mimpi yang lebih kecil" agar bisa mendapatkan dan meraih mimpi yang lebih besar itu.

Begitu pun dengan kasus ini, apakah tak sebaik nya Indonesia yang dalam hal ini PSSI terlebih dahulu mereformasi dirinya sendiri, memperbaiki kompetisi dalam negeri, membenahi prestasi timnas Indonesia? yang sedianya merupakan mimpi yang tak kunjung selesai untuk direalisasikan oleh PSSI. Dan dengan fakta yang kurang mengenakan itu, kenapa justru PSSI dengan "berani" mencalonkan diri sebagai tuan rumah piala dunia 2022? Bahkan dari segi nonprestasi pun, yaitu dari segi infrastruktur Indonesia masih jauh dari sekadar kata cukup!

Sekali lagi hal ini bukanlah untuk membatasi kita untuk bermimpi, tapi lebih untuk agar kita bersikap optimis diimbangi rasa realistis. Memikirkan segala tahapan dan prosesnya.
Hanya untuk mengikuti bidding ini pun PSSI memerlukan sedikitnya uang sebesar 24 juta dollar AS atau sekitar Rp 240 miliar, apakah tidak sebaiknya uang sebesar itu digunakan untuk mewujudkan mimpi yang lebih kecil dulu yaitu memperbaiki segala sarana dan prasarana olahraga di Indonesia?
Lalu untuk melancarkan segala urusan dalam bidding itu, PSSI juga menyewa seorang jasa konsultan asing, Michel Bachini yang dibayar tak kurang dari 1 juta dollar AS, dan apakah uang sebesar itu tidak sebaiknya digunakan untuk memperkejakan pelatih berkaliber dunia untuk mengangkat prestasi timnas kita?

Sebuah ironi memang dan terkesan banyak bermuatan politis di dalamnya. Tapi PSSI telah menentukan sikap dan tak mungkin lagi untuk mundur, suka atau tidak semua telah berjalan dan marilah kita berharap segala yang akan terjadi adalah benar-benar yang terbaik bafi wajah persepakbolaan tanah air.

Benar kata orang, hampir tak ada batasan yang jelas antara berbuat berani dan berbuat bodoh. Karena terkadang kita akan disebut orang bodoh ketika melakukan sesuatu yang menurut kita berani dan justru orang menyebut kita berani ketika sebenarnya kita melakukan hal yang bodoh.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibadalana uliy ba’sin syadid

Selasa, 22 Juli 2014 22.00 WIB Saya akan menampilkan atau mem- posting tulisan dari Bapak Usep Romli , Pengasuh Pesantren Budaya "Raksa Sarakan" Garut. Tulisan ini merupakan tulisan di kolom Opini , harian Republika yang diterbitkan pada hari Selasa, 22 Juli 2014. Beliau menulis tentang (satu-satunya) cara untuk bisa mengalahkan zionis Israel. sehingga tulisannya pun diberi judul, Mengalahkan Zionis Israel . Berikut ini tulisannya saya tampilkan penuh tanpa ada sedikit pun saya kurangi atau tambahkan. "Mengalahkan Zionis Israel" Hari-hari ini, bangsa Palestina di Jalur Gaza sedang dibombardir pasukan Zionis-Israel. Nyaris tak ada perlawanan sama sekali, karena Palestina tak punya tentara. Hanya ada beberapa kelompok sipil bersenjata yang berusaha bertahan seadanya. Negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab tak berdaya. Begitu pula negara-negara berpenduduk mayoritas Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI), tak da...

D-IV atau S1 ?

Suatu malam pada hari Sabtu , tanggal 14, bulan Januari , tahun 2012, berlatar tempatkan teras masjid Al-Ilmi IPDN Kampus Kalimantan Barat, terjadi satu percakapan ringan sangat sederhana tapi kemudian mampu untuk membuat otak ini menjadi rumit karena terus memikirkan substansi dari apa yang diperbincangkan itu, terlalu rumit sehingga saya pikir perlu untuk dituangkan dalam sebuah narasi penuh kata, tidak berpetuah dan tidak juga indah. Tapi cukup-lah untuk sekedar berbagi ide dan informasi yang pastinya tidak sesat. Dan ini-lah percakapan singkat itu : HP ( inisial teman saya ) : “Dim, kamu lebih milih mana, S.IP atau S.STP ?” Saya : “mmm….pengennya sih S.IP” HP : “Kenapa, Dim? Kata orang kan kalo S.STP tuh lebih baik buat karir dan kata orang juga S.IP tuh lebih condong buat jadi dosen.” Saya : “Wah gak tau sih kalo masalah yang kayak gitunya, tapi saya ingin S.IP karena yang saya tau S.IP itu lebih mudah untuk nantinya kita mau nerusin ke S2, nah kalo S.STP itu gak semua unive...

Hercules dan Moral

The Legend of Hercules Minggu, 9 Februari 2014 10.10 WIB Cukup lama saya tidak menonton sebuah film di bisokop. Untuk sebagian orang, hal ini merupakan sebuah pemborosan karena kondisi yang ada di Indonesia memungkinkan kita untuk bisa menonton sebuah film dengan harga yang jauh lebih murah.  Di Indonesia kita masih bisa untuk mendapatkan sebuah DVD dengan harga yang sangat murah, sekitar 6 (enam) ribu rupiah ( bajakan tentunya tapi dengan kualitas gambar yang cukup baik ), bandingkan dengan harga yang harus dikeluarkan apabila kita menonton sebuah film di bioskop, sekitar 25 ribu – 50 ribu rupiah tergantung bioskop yang kita pilih. Saya pun menyadari hal itu tapi saya tentu juga memiliki alasan. Terlepas dari alasan idealis yang sebenarnya juga masih saya miliki, alasan utama yang ingin saya kemukakan disini adalah bahwa menonton sebuah film di bioskop bagi saya adalah sebuah penyegaran, sebuah hobi untuk melepas penat dan mendapatkan lagi beberapa semangat. Ya, hobi. ...