Langsung ke konten utama

INFOTAINMENT

*Artikel ini merupakan salah satu artikel di koran Republika hari Rabu, 2 Syaban 1431 H, yang bertepatan dengan tanggal 14 Juni 2010 Nomor 182/Tahun ke-18. Artikel ini terdapat di halaman 4 kolom Opini, karya Iswandi Syahputra, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat. Artikel ini berisi tentang "salah arah nya" Infotainment kita.

INFOTAINMENT
Masih ingat dengan komedian Parto saat melepaskan tembakan untuk membubarkan pekerja infotainment yang mengerumuninya untuk memburu suatu informasi yang sebenarnya tidak penting bagi publik?
Atau, fatwa haram NU terhadap infotainment karena dinilai hanya menebarkan ghibah (gosip) daripada fakta dan berita? Dua hal tersebut cukup diajukan untuk mengetengahkan dirkursus ada masalah pada industri infotainment.

Kasus video porno selebritas dan keputusan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang digelar pekan lalu di Bandung, untuk meninjau ulang program infotainment sebagai produk faktual mencuatkan kembali manfaat infotainment bagi publik. Sikap KPI yang mendapat apresiasi luas dari berbagai kalangan justru dicibir sinis oleh pebisnis infotainment. Dengan sedikit agak membabi buta KPI dituding tidak memiliki kewenangan memantau dan menegur konten siaran televisi yang melanggar standar program siaran.
Tudingan ngawur tersebut menunjukkan ada pihak-pihak tertentu yang bekerja secara sporadis mempertahankan sesuatu yang tidak memberi manfaat bagi kepentingan, bahkan dapat mematikan rasionalitas publik.

Mematikan demokrasi
Konsep infotainment awalnya berasal dari John Hopkins University (JHU), Baltimore, Amerika Serikat. Ide dasar infotainment berawal dari asumsi informasi kendati dibutuhkan oleh publik, tetapi tidak dapat diterima begitu saja, apa lagi untuk kepentingan mengubah sikap negatif menjadi sikap positif manusia. Dari sini ke mudian muncul istilah infotainment, yaitu kemasan acara yang bersifat informatif, tetapi dikemas atau disisipi dengan berbagai entertainment untuk menarik perhatian khalayak sehingga informasi sebagai pesan utamanya dapat diterima.
Dalam tradisi ini, infotainment benar-benar menghidupkan demokrasi bukan mematikan, karena informasi yang di sajikan dengan cara menghibur benar-benar merupakan informasi yang dibutuhkan oleh publik.

Konsep infotainment tersebut kemudian diadaptasi oleh industri televisi di Indonesia. Namun, para pekerja industri infotainment bukan mengumpulkan, menghimpun, mengolah, dan menyajikan informasi dengan cara menghibur seperti konsep awal infotainment, tetapi mengumpulkan, meng himpun, mengolah, dan menyajikan informasi tentang hiburan yang disajikan penuh dramatisasi dan terkadang sarat dengan rekayasa. Formula aneh infotainment ini berpotensi dapat mematikan demokrasi bahkan mematikan nalar publik secara luas.

Liputan khas infotainment yang selalu didasarkan pada upaya mencari sensasi dan histeria daripada fakta dan berita mungkin saja dalam jangka pendek baik untuk menarik minat publik. Namun, untuk masa jangka panjang, infotainment berpotensi mematikan demokrasi. Demikian juga, dengan penelitian pasar media melalui rating yang menyampaikan bahwa infotainment laku dijual karena ramai penonton, dapat menjadi benar dalam jangka pendek. Namun, dalam jangka panjang, infotainment dapat menurunkan ke tertarikan publik pada seluruh jenis berita yang penting bagi mereka.

Berbagai riset komunikasi memang menunjukkan bahwa infotainment mampu mengurangi ketertarikan masyarakat tentang urusan-urusan publik mereka. Padahal, dalam suatu sistem demokrasi, kesadaran warga negara terhadap hak-haknya hanya dapat dibangun melalui suplai informasi yang sehat dan pengetahuan yang cukup, untuk melakukan pilihan yang benar-benar rasional berdasarkan kebutuhan mereka sebagai warga negara.

Dalam perspektif ini, jelas sangat keliru jika ada pandangan yang berpendapat bahwa peninjauan program infotainment di televisi merupakan ancaman bagi kebebasan pers sebagai pilar demokrasi serta indikasi mulai bangkitnya kembali sistem otoriter. Pendapat tersebut khas industri infotainment yang selalu membesar-besarkan masalah, dengan teknik mencuri perhatian melalui dramatisasi opini untuk mencari perhatian publik.

Pendapat tersebut jelas keliru dan dapat menyesatkan publik. Sebaliknya, publik harus dicerahkan dengan pandangan baru, jika iklim infotainment seperti saat ini dipertahankan, secara substansial justru infotainment dapat mematikan demokrasi. Karena infotainment tidak menyuplai informasi yang dibutuhkan oleh publik serta belum mampu memberi kontribusi bagi pencerdasan publik. Di sini, industri infotainment harus dapat membedakan antara kebebasan pers dan pers yang bebas.

Kebebasan pers yang kita anut adalah kebebasan pers yang bertanggung jawab dan taat pada fakta bukan rekayasa.
Kebebasan pers tanpa batas pertanggungjawaban dan ketaatan pada fakta cenderung
menjadi pers yang bebas. Pers bebas tanpa batas tidak jauh berbeda dengan praktik rezim tiran yang bekerja secara otoriter karena pers memliki kekuatan subtil membentuk opini. Kendati pendapat tersebut keliru, keinginan untuk menyampaikan pendapat yang keliru tersebut tetap harus dibela dan dipertahankan, sebagai sebuah indikasi siapa saja dapat berpendapat dan berbeda pendapat dalam sistem demokrasi.

Lantas, jika selama ini infotainment tidak menyajikan in formasi yang dibutuhkan publik dan memberi kontribusi bagi perkembangan demokrasi mengapa tetap diminati? Pendapat Carpini dan Williams (2001) relevan untuk menjelaskan maraknya industri infotainment tersebut. Beberapa alasan pokok maraknya infotainment, antara lain karena pergeseran dalam struktur industri penyiaran, dari state regulation kepada market regulation, akibatnya memuncul kan kompetisi dan berbagai tekanan dalam pencapaian ekonomi berbagai sektor dalam bisnis media.

Selain itu, yang tidak kalah penting adalah faktor minimnya pemahaman kode etik jurnalistik para pekerja infotainment serta cara pandang yang keliru tentang produk jurnalistik. Apakah infotainment produk jurnalistik? Jurnalisme tentu berbeda dengan hiburan.

Jurnalisme mengabdikan reportasenya pada seluruh pekerjaan mencari, menghimpun, mengolah, dan menyajikan in formasi yang dibutuhkan publik. Tidak jarang untuk memperoleh informasi tersebut, seorang jurnalis harus menyamar bahkan mempertaruhkan jiwa nya dalam sebuah reportase di wilayah konflik. Apa kah reportase perselingkuhan selebritas merupakan informasi yang di butuhkan oleh publik?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibadalana uliy ba’sin syadid

Selasa, 22 Juli 2014 22.00 WIB Saya akan menampilkan atau mem- posting tulisan dari Bapak Usep Romli , Pengasuh Pesantren Budaya "Raksa Sarakan" Garut. Tulisan ini merupakan tulisan di kolom Opini , harian Republika yang diterbitkan pada hari Selasa, 22 Juli 2014. Beliau menulis tentang (satu-satunya) cara untuk bisa mengalahkan zionis Israel. sehingga tulisannya pun diberi judul, Mengalahkan Zionis Israel . Berikut ini tulisannya saya tampilkan penuh tanpa ada sedikit pun saya kurangi atau tambahkan. "Mengalahkan Zionis Israel" Hari-hari ini, bangsa Palestina di Jalur Gaza sedang dibombardir pasukan Zionis-Israel. Nyaris tak ada perlawanan sama sekali, karena Palestina tak punya tentara. Hanya ada beberapa kelompok sipil bersenjata yang berusaha bertahan seadanya. Negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab tak berdaya. Begitu pula negara-negara berpenduduk mayoritas Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI), tak da...

D-IV atau S1 ?

Suatu malam pada hari Sabtu , tanggal 14, bulan Januari , tahun 2012, berlatar tempatkan teras masjid Al-Ilmi IPDN Kampus Kalimantan Barat, terjadi satu percakapan ringan sangat sederhana tapi kemudian mampu untuk membuat otak ini menjadi rumit karena terus memikirkan substansi dari apa yang diperbincangkan itu, terlalu rumit sehingga saya pikir perlu untuk dituangkan dalam sebuah narasi penuh kata, tidak berpetuah dan tidak juga indah. Tapi cukup-lah untuk sekedar berbagi ide dan informasi yang pastinya tidak sesat. Dan ini-lah percakapan singkat itu : HP ( inisial teman saya ) : “Dim, kamu lebih milih mana, S.IP atau S.STP ?” Saya : “mmm….pengennya sih S.IP” HP : “Kenapa, Dim? Kata orang kan kalo S.STP tuh lebih baik buat karir dan kata orang juga S.IP tuh lebih condong buat jadi dosen.” Saya : “Wah gak tau sih kalo masalah yang kayak gitunya, tapi saya ingin S.IP karena yang saya tau S.IP itu lebih mudah untuk nantinya kita mau nerusin ke S2, nah kalo S.STP itu gak semua unive...

Hercules dan Moral

The Legend of Hercules Minggu, 9 Februari 2014 10.10 WIB Cukup lama saya tidak menonton sebuah film di bisokop. Untuk sebagian orang, hal ini merupakan sebuah pemborosan karena kondisi yang ada di Indonesia memungkinkan kita untuk bisa menonton sebuah film dengan harga yang jauh lebih murah.  Di Indonesia kita masih bisa untuk mendapatkan sebuah DVD dengan harga yang sangat murah, sekitar 6 (enam) ribu rupiah ( bajakan tentunya tapi dengan kualitas gambar yang cukup baik ), bandingkan dengan harga yang harus dikeluarkan apabila kita menonton sebuah film di bioskop, sekitar 25 ribu – 50 ribu rupiah tergantung bioskop yang kita pilih. Saya pun menyadari hal itu tapi saya tentu juga memiliki alasan. Terlepas dari alasan idealis yang sebenarnya juga masih saya miliki, alasan utama yang ingin saya kemukakan disini adalah bahwa menonton sebuah film di bioskop bagi saya adalah sebuah penyegaran, sebuah hobi untuk melepas penat dan mendapatkan lagi beberapa semangat. Ya, hobi. ...