*Artikel ini merupakan salah satu artikel yang telah diterbitkan di harian Republika hari Ahad tanggal, 6 Sya'ban 1431 H/Nomor 186/Tahun ke-18 yang bertepatan dengan tanggal 18 Juli 2010. Artikel ini ditulis oleh Arya Hilman, di kolom Solilokui, halaman A7.
Mereka gampang tersihir oleh kemenangan undian yang tak mempersyaratkan kerja keras, padahal hadiah terbesar semestinya adalah jerih terpayah kita.
Namanya saja Taman Pintar. Banyak benar alat peraga yang bisa bikin pintar anak-anak kita. Mau tahu soal dinosaurus? Ada. Memecahkan teka-teki listrik? Juga ada. Belajar soal tsunami? Bisa. Meneropong jeroan mobil? Juga bisa.
Kebetulan lagi musim liburan sekolah, waktu saya datang di tempat itu. Apalagi lokasinya Yogyakarta, alias Jogja, kota tujuan wisata. Tak heranlah, ratusan anak menyemut. Mau parkir sulit. Bergerak pun susah.
Saya membayangkan orang-orang tua ingin anak-anak mereka pintar. Maka, mereka ajaklah buah hati mereka ke tempat itu, sebagaimana mereka membawa para bocah itu ke candi-candi, museum, dan keraton.
Salut buat mereka. Tapi, saya heran juga melihat sebagian besar anak-anak itu saling berebut di berbagai alat peraga. Tak pernahkah para orang tua mengajari mereka tentang cara antre? Tak adakah ajaran untuk bersikap respek terhadap anak-anak lain yang lebih lama menanti giliran? Situasi seperti ini mudah kita temukan di negeri ini dan bukan monopoli anak-anak. Tak ada yang meragukan keandalan pribadi-pribadi manusia Indonesia dalam pengetahuan. Anak-anak kita unggul dalam berbagai olimpiade sains, pekerja-pekerja kita laku di ladang-ladang minyak dan industri penerbangan. Tapi, mengapa antre saja susah, atau setidaknya harus dipaksa-paksa? Nah, ini memang bukan soal pengetahuan. Ini masalah mental.
Prof. Koentjaraningrat menyebut mental menerabas sebagai karakter bangsa kita, sebuah karakter yang tidak akan sinkron dengan kemodernan. Mental menerabas hanya mengharapkan keunggulan hasil dan tak mengacuhkan kualitas proses (Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan, 1974). Ini jelas tidak sesuai dengan dunia modern yang penuh prosedur kompetisi untuk mendapatkan hasil.
Anak-anak "yang tak tahu harus antre'' (saya sebut demikian saja karena yang bertanggung jawab atas hal ini tentu para orang tuanya) mungkin segera bertambah pengetahuan. Namun, secara tak sadar mereka sesungguhnya telah pula belajar menerabas norma sosial. Intellectual building mereka dapatkan, tapi character building tidak sama sekali.
Tiga puluh enam tahun berlalu sejak Koentjaraningrat mengungkap analisisnya. Bayi-bayi yang lahir pada era itu adalah generasi penerabas baru yang kemudian juga punya anak. Nah, anak-anak yang tak mengerti norma antre di Taman Pintar adalah penerabas generasi ketiga sejak analisis Koentjaraningrat itu.
Di jalan-jalan raya negeri ini, kita dengan mudah akan menemukan orang-orang bermental penerabas. Mereka tak hirau akan lampu merah atau garis stop. Mereka tak bisa membedakan fungsi trotoar dan jalan raya. Mereka tak mau tahu bahwa jalur busway bukanlah untuk kendaraan pribadi. Bagi mereka, hasil akhir berupa kecepatan sampai di tujuan lebih penting dibandingkan prosedur dan cita-cita tentang ketertiban sosial. Jangan kaget kalau para advokat pun seenaknya meloncati pagar dan memaksa masuk ke gedung MA tanpa merasa itu adalah pelanggaran norma. Masyarakat jenis ini amat mudah larut dalam takhyul, seperti jadi sinyalemen Mochtar Lubis dalam pidato kebudayaan "Manusia Indonesia'' di TIM pada 1977. Masyarakat seperti ini mudah terpukau iming-iming hadiah. Mereka gampang tersihir oleh kemenangan undian yang tak mempersyaratkan kerja keras, padahal hadiah terbesar semestinya adalah jerih terpayah kita.
Secara tak sadar kita sedang mengembangkan mental jago kandang. Kita akan sulit bersaing di pasar global yang menghendaki ketertiban norma dan kepatuhan akan rambu-rambu. Kita takkan mampu bersaing pada arena modern yang menggunakan prosedur kompetisi sebagai jalan menuju hasil. Ketidakbiasaan mengikuti aturan membuat daya tahan kita rendah dalam maraton persaingan dunia.
Ini adalah cermin dari gambaran besar kegagalan kita memahami norma modernitas. Kita bukan saja gagal untuk menghargai prosedur kerja keras, melainkan juga tak mampu mengenali norma-norma tepat waktu, tanggung jawab, disiplin, dan sikap saling respek dengan orang lain. Kita hanya mengenali kemasan modernitas seperti gaya hidup, rokok, dan jam tangan mewah.
Kita permisif terhadap pergaulan bebas dan memandangnya sebagai kemajuan.
Orientasi terhadap hasil membuat kita tak terbiasa dengan kegagalan. Kita jadi antikritik karena memang tidak ada peluang kritik bagi sesuatu yang berjalan di luar prosedur. Rasa tanggung jawab melorot. Bahkan ketika gagal mendapatkan hasil, kita tebal muka karena tak ada yang dapat dipertanggungjawabkan dari sesuatu yang tidak berasal dari proses normal. Jangan heran, misalnya, takkan ada kata mundur bagi pengurus PSSI walaupun mereka terbukti gagal memimpin, karena mereka memang tidak bergerak pada rel modernitas.
Kita butuh tempat-tempat seperti Taman Pintar. Tapi, kita juga perlu Taman Antre, Taman (Tertib) Lalu Lintas, Taman Tepat Waktu, Taman Kerja Keras, Taman Tanggung Jawab, dan sejenisnya.
kalyara@yahoo.com
Mereka gampang tersihir oleh kemenangan undian yang tak mempersyaratkan kerja keras, padahal hadiah terbesar semestinya adalah jerih terpayah kita.
Namanya saja Taman Pintar. Banyak benar alat peraga yang bisa bikin pintar anak-anak kita. Mau tahu soal dinosaurus? Ada. Memecahkan teka-teki listrik? Juga ada. Belajar soal tsunami? Bisa. Meneropong jeroan mobil? Juga bisa.
Kebetulan lagi musim liburan sekolah, waktu saya datang di tempat itu. Apalagi lokasinya Yogyakarta, alias Jogja, kota tujuan wisata. Tak heranlah, ratusan anak menyemut. Mau parkir sulit. Bergerak pun susah.
Saya membayangkan orang-orang tua ingin anak-anak mereka pintar. Maka, mereka ajaklah buah hati mereka ke tempat itu, sebagaimana mereka membawa para bocah itu ke candi-candi, museum, dan keraton.
Salut buat mereka. Tapi, saya heran juga melihat sebagian besar anak-anak itu saling berebut di berbagai alat peraga. Tak pernahkah para orang tua mengajari mereka tentang cara antre? Tak adakah ajaran untuk bersikap respek terhadap anak-anak lain yang lebih lama menanti giliran? Situasi seperti ini mudah kita temukan di negeri ini dan bukan monopoli anak-anak. Tak ada yang meragukan keandalan pribadi-pribadi manusia Indonesia dalam pengetahuan. Anak-anak kita unggul dalam berbagai olimpiade sains, pekerja-pekerja kita laku di ladang-ladang minyak dan industri penerbangan. Tapi, mengapa antre saja susah, atau setidaknya harus dipaksa-paksa? Nah, ini memang bukan soal pengetahuan. Ini masalah mental.
Prof. Koentjaraningrat menyebut mental menerabas sebagai karakter bangsa kita, sebuah karakter yang tidak akan sinkron dengan kemodernan. Mental menerabas hanya mengharapkan keunggulan hasil dan tak mengacuhkan kualitas proses (Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan, 1974). Ini jelas tidak sesuai dengan dunia modern yang penuh prosedur kompetisi untuk mendapatkan hasil.
Anak-anak "yang tak tahu harus antre'' (saya sebut demikian saja karena yang bertanggung jawab atas hal ini tentu para orang tuanya) mungkin segera bertambah pengetahuan. Namun, secara tak sadar mereka sesungguhnya telah pula belajar menerabas norma sosial. Intellectual building mereka dapatkan, tapi character building tidak sama sekali.
Tiga puluh enam tahun berlalu sejak Koentjaraningrat mengungkap analisisnya. Bayi-bayi yang lahir pada era itu adalah generasi penerabas baru yang kemudian juga punya anak. Nah, anak-anak yang tak mengerti norma antre di Taman Pintar adalah penerabas generasi ketiga sejak analisis Koentjaraningrat itu.
Di jalan-jalan raya negeri ini, kita dengan mudah akan menemukan orang-orang bermental penerabas. Mereka tak hirau akan lampu merah atau garis stop. Mereka tak bisa membedakan fungsi trotoar dan jalan raya. Mereka tak mau tahu bahwa jalur busway bukanlah untuk kendaraan pribadi. Bagi mereka, hasil akhir berupa kecepatan sampai di tujuan lebih penting dibandingkan prosedur dan cita-cita tentang ketertiban sosial. Jangan kaget kalau para advokat pun seenaknya meloncati pagar dan memaksa masuk ke gedung MA tanpa merasa itu adalah pelanggaran norma. Masyarakat jenis ini amat mudah larut dalam takhyul, seperti jadi sinyalemen Mochtar Lubis dalam pidato kebudayaan "Manusia Indonesia'' di TIM pada 1977. Masyarakat seperti ini mudah terpukau iming-iming hadiah. Mereka gampang tersihir oleh kemenangan undian yang tak mempersyaratkan kerja keras, padahal hadiah terbesar semestinya adalah jerih terpayah kita.
Secara tak sadar kita sedang mengembangkan mental jago kandang. Kita akan sulit bersaing di pasar global yang menghendaki ketertiban norma dan kepatuhan akan rambu-rambu. Kita takkan mampu bersaing pada arena modern yang menggunakan prosedur kompetisi sebagai jalan menuju hasil. Ketidakbiasaan mengikuti aturan membuat daya tahan kita rendah dalam maraton persaingan dunia.
Ini adalah cermin dari gambaran besar kegagalan kita memahami norma modernitas. Kita bukan saja gagal untuk menghargai prosedur kerja keras, melainkan juga tak mampu mengenali norma-norma tepat waktu, tanggung jawab, disiplin, dan sikap saling respek dengan orang lain. Kita hanya mengenali kemasan modernitas seperti gaya hidup, rokok, dan jam tangan mewah.
Kita permisif terhadap pergaulan bebas dan memandangnya sebagai kemajuan.
Orientasi terhadap hasil membuat kita tak terbiasa dengan kegagalan. Kita jadi antikritik karena memang tidak ada peluang kritik bagi sesuatu yang berjalan di luar prosedur. Rasa tanggung jawab melorot. Bahkan ketika gagal mendapatkan hasil, kita tebal muka karena tak ada yang dapat dipertanggungjawabkan dari sesuatu yang tidak berasal dari proses normal. Jangan heran, misalnya, takkan ada kata mundur bagi pengurus PSSI walaupun mereka terbukti gagal memimpin, karena mereka memang tidak bergerak pada rel modernitas.
Kita butuh tempat-tempat seperti Taman Pintar. Tapi, kita juga perlu Taman Antre, Taman (Tertib) Lalu Lintas, Taman Tepat Waktu, Taman Kerja Keras, Taman Tanggung Jawab, dan sejenisnya.
kalyara@yahoo.com
Komentar
Posting Komentar