Rabu, 10 Juli 2013
09.55 WIB
![]() |
https://encrypted-tbn3.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcRSVEgfTVy7FxDr19Mq3k5wUEXY4PvxQ7Qn-2LVvZNU71Ih1XRbHA |
Ini merupakan sebuah tulisan review dari sebuah tulisan tanggapan dari tulisan Boediono yang berjudul "Pendidikan Kunci Pembangunan" (Kompas, 27 Agustus 2012). Cukup rumit, 'kan? ;)
Jadi, ini merupakan sebuah review (lebih teaptanya sebuah rangkuman) dari tulisan review yang berjudul "Tantangan Besar Pendidikan Kita" yang ditulis oleh Ratna Megawangi (Dosen Ilmu Keluarga dan Konsumen IPB; Pendiri Indonesia Heritage Foundation)
Dan sebenarnya juga ini merupakan sebuah tugas dari Mata Kuliah Analisis Kebutuhan Diklat yang diberikan oleh dosen Ibu Aminuriyati. Dan sebenarnya juga ini merupakan sebuah tugas kelompok.
Jadi, tak elok rasanya bila saya tidak terlebih dahulu menyebutkan rekan-rekan satu kelompok saya. Mereka adalah : Bagas Yuwono Ario Negoro, Biandy Dian Malik, Afiuddin, dan Andi Ardianto Eka Putra. Cheers, guys! :)
Inti dari tulisan ini adalah berkenaan dengan konsep soft skill dan hard skill yang terdapat dalam dunia pendidikan.
Konsep soft skill dan hard skill yang dipahami disini adalah :
- Soft skill atau warga negara yang baik adalah seseorang yang memiliki keterampilan dari kemampuan berpikir yang tinggi, yakni cakap mengelola emosi, berkarakter baik, mempunyai motivasi, berpikir analitis, kritis dan kreatif.
- Hard skill atau pekerja yang baik adalah seseorang yang lebih menekankan kepada kemampuan akademik sehingga hanya memiliki kemampuan berpikir rendah, yakni berorientasi pada hapalan yang dilakukan dengan membaca dan menghapal.
Oleh karena itu berdasarkan konsep diatas, saya (kami lebih tepatnya hehe) berpendapat bahwa soft skill harus lebih diutamakan daripada hard skill karena sesuai dengan penelitian yang ada, soft skill berkontribusi 80 % pada keberhasilan seseorang sedangkan hard skill hanya menyumbangkan 20 %.
Bahkan apabila dalam pendidikan dan pelatihan (diklat) hanya menekankan pada hard skill yang didapatkan dengan cara hapalan, pelatihan berulang, dan instruksi instruktur serta pengajaran satu arah. Hal ini hanya akan baik untuk serangkaian test yang membutuhkan jawaban baku, sehingga seseorang tidak akan mengerti konteks suatu hal. Seseorang tersebut tidak akan mampu bersikap fleksibel dan memiliki sikap takut salah.
Sedangkan pendidikan dan pelatihan yang berorientasi kepada soft skill akan mampu membuat seseorang berpikir analisis, kritis, dan kreatif atau berpikir advance yaitu kemampuan mengolah informasi, membuat generalisasi, menyelesaikan masalah non-rutin dan mengambil kesimpulan.
Pendidikan dan pelatihan soft skill dapat dilakukan dengan teknik wawancara yang mendalam dan menyeluruh dengan pendekatan behavioural interview.
Adapun macam-macam soft skill adalah inisiatif, kemauan, komitmen, motivasi, kreatifitas, komunikasi, berpikir kritis, mandiri, integritas diri, dan disiplin.
Macam-macam soft skill tersebut kemudian digunakan untuk mengukur seberapa jauh seseorang tersebut memiliki soft skill dalam dirinya. Singkatnya, beberapa macam itu merupakan indikator ada tidaknya soft skill.
Untuk mencapai semua hal itu maka metode diklat yang digunakan adalah dengan cara diskusi dan mengajar atau pelatih hanya menjadi seorang fasilitator dan lebih menekankan peserta didik untuk berbicarta mengemukakan pendapatnya.
Kenapa harus soft skill? apakah ada yang salah dengan menghapal. Kesalahan metode menghapal adalah ketika itu menjadi satu-satunya tujuan pendidikan dan pelatihan. Padahal tujuan pendidikan lebih dari hanya sekedar hapal.
Pendidikan dan pelatihan diharapkan mampu untuk merubah sikap seseorang menjadi jauh lebih baik lagi. Tidak lantas berhenti dari tidak tau menjadi tau, atau dari gelap menjadi terang. Tapi tau dan terangnya seseorang itu harus bermakna dan memberikan manfaat.
Dan ketika seseorang hanya dididik dan dilatih untuk sekedar hapal, kecil kemungkinan dia akan mampu memaknai hapalannya itu.
Tapi ketika seseorang itu difokuskan untuk mampu mengetahui kenapa dia harus menghapalkan sesuatu hal. Apa yang melatarbelakangi hal tesebut. Apa. Kenapa. Dimana. Siapa. Untuk apa/siapa. Bagaimana. Semuanya mampu untuk diketahui.
Maka dapat dipastikan dia akan dengan sendirinya hapal karena memahami. Apabila memahami, dia akan terus memaksa otaknya untuk terus berpikir kritis serta kreatif mencari solusi dari ke-kritisannya itu.
Disitu-lah letak pentingnya soft skill dan disitu pula letak kurang bermanfaatnya hard skill.
#PMA, all day guys! :)
Kunjungan silaturahmi siang Sobat, kalau disuruh memilih, antara dua2nya aku milih yang tengah2 ajalah...hehehee..:)
BalasHapusHappy Blogging..!
IMO, gak ada yg lebih penting diantara keduanya. Dua-duanya seharusnya seimbang dan saling melengkapi. Meletakkan salah satu dari hard/soft skill dalam urutan skala prioritas yg berbeda generally & statistically menimbulkan sikap meremehkan terhadap salah satu skill itu sendiri yang menimbulkan tendensi kepada salah satunya sehingga tidak seimbang. Hidup harus balance kan?hehe IMO sih :)
BalasHapusterima kasih banyak atas kunjungannya @Boku no Blog :)
BalasHapusiya sih @ukhtikatika, kalo bicara seimbang, semua hal emang harus seimbang. tapi fakta yang ada skarang itu teralu mengedepankan hard skill dan hasilnya jelas jauh dari apa yang diharapkan. nah kalo kita fokus sama soft skill, otomatis hard skill itu akan terpenuhi dengan sendirinya. Jadi keseimbangan yang tika bilang itu akan terwujud. ;)
tapi IMO itu apa ya? hhe
soft skill dan hard work...
BalasHapusIMO = In My Opinion
BalasHapussebenarnya soft skill itu sendiri sudah ada sejak dulu. Kalo di SD, SMP, SMA kita kenal ekstrakurikuler. Di tingkat SMP & SMA sudah mulai ada organisasi setidaknya OSIS, jadi sebenarnya pengajaran soft skill itu sendiri sudah ada sejak dulu. Hanya saja istilah soft skill itu belum terlalu populer. Terlebih lagi, di tingkat Universitas, ikut kepanitiaan dan organisasi itu merupakan salah satu syarat untuk menyusun skripsi, setidaknya di universitas Tika hehe. Jadi sebenarnya soft skill itu sendiri juga tidak dikesampingkan pengajarannya. Mungkin balik ke individu masing-masing ya, kan ada juga orang yg cenderung tidak suka sains tapi suka berorganisasi. Lagi-lagi IMO :)
setuju bang @Harri Muliawan :)
BalasHapusoh ternyata itu sudut pandang @ukhtikatika, kalo dalam sudut pandang itu jelas soft skill emang ada. tapi yg dima maksud di sini lebih ke apa yang terdapat dalam kurikulumnya, apalagi dengan muaranya pada Ujian Nasional. kan itu jelas mendorong hanya pada hapalan atau hard skill, iya kan? :)
Menurut tika soft skill itu sendiri jadi dasar bagi siswa untuk bisa menjawab soal ujian. Contohnya dalam menghadapi rasa gugup dan takut waktu ujian, itu butuh soft skill, kan? juga disiplin waktu dsb. Yang tidak ada itu menurut tika bukan kurang nya pengajaran soft skill dalam kurikulum akan tetapi soft skill itu sendiri tidak dinilai secara langsung seperti mata pelajaran namun dinilai dari efeknya kepada pengaplikasian hard skill itu sendiri hehe
BalasHapuskalo menurut saya soft skill dan hard skill sama sama memiliki peranan yang sangat penting,.!!
BalasHapus