Langsung ke konten utama

Balada Shaf Depan

Enggan duduk terdepan,
tapi segalanya ingin selalu duluan.
Shaf depan kosong melompong, terlihat jelas ompong, tanpa harus kita teropong.

Selalu ada di belakang,
tapi tak ingin terbelakang.
Shaf depan kosong melompong, terlihat jelas ompong, tanpa harus kita teropong.

Berdatangan mereka cepat,
memburu duduk di belakang tepat.
Mereka yang datang terlambat,
kecewa sungguh sangat.
Duduk terpaksa di depan dengan muka kesal terlihat.
Shaf depan kosong melompong, terlihat jelas ompong, tanpa harus kita teropong.

Apakah seburuk itu mental kita?
Sehingga rasa pede pun sudah sirna,
diri sendiri sudah tak dipercaya.
Orang lain lebih kita percaya,
mengharapkan bantuan di sini dan di sana.
Akhirnya tak punya tekad,
bersandar pada prinsip hidup yang tak kuat.
Shaf depan kosong melompong, terlihat jelas ompong, tanpa harus kita teropong.

Imam di mesjid berkata,
“rapatkan dan penuhi dulu shaf depan wahai jamaat”.
Tapi shaf depan tetap kosong melompong, terlihat jelas ompong, tanpa harus kita teropong.

Guru di kelas berkata jua,
“ayo! Isi dulu shaf depan murid-murid ku yang mulia”
Tapi lagi-lagi shaf depan masih kosong melompong, terlihat jelas ompong, tanpa harus kita teropong.

Jadi siapa lagi yang mau kita turuti?
Apa lagi yang mau kita taati?
Ketika imam di mesjid kita cueki, padahal jelas dia berkata berlandas pada wahyu dari Illahi.
Ketika guru di kelas pun kita biari, padahal jelas dia berkata berlandas pada aturan, norma, serta estetika dan etika akademisi.
Tapi kita tegas membantah, mengaggap itu hanya sebuah omong kosong, karena shaf depan masih saja kosong melompong, terlihat jelas ompong, tanpa harus kita teropong.

Mau jadi apa kita?
Bila niat diri ini sudah sangat tercela,
menghalalkan segala cara,
untuk mewujudkan semua cita kita.
Ya.. semua terlihat jelas terwakili nyata dari shaf depan yang terus kosong, terus melompong, seperti gigi yang telah ompong, terlihat terlampau jelas bila kita teropong.

Jadi...kapan ya shaf depan tak lagi kosong,
tak lagi ompong,
terlihat penuh, indah, dan teratur dalam teropong ?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ibadalana uliy ba’sin syadid

Selasa, 22 Juli 2014 22.00 WIB Saya akan menampilkan atau mem- posting tulisan dari Bapak Usep Romli , Pengasuh Pesantren Budaya "Raksa Sarakan" Garut. Tulisan ini merupakan tulisan di kolom Opini , harian Republika yang diterbitkan pada hari Selasa, 22 Juli 2014. Beliau menulis tentang (satu-satunya) cara untuk bisa mengalahkan zionis Israel. sehingga tulisannya pun diberi judul, Mengalahkan Zionis Israel . Berikut ini tulisannya saya tampilkan penuh tanpa ada sedikit pun saya kurangi atau tambahkan. "Mengalahkan Zionis Israel" Hari-hari ini, bangsa Palestina di Jalur Gaza sedang dibombardir pasukan Zionis-Israel. Nyaris tak ada perlawanan sama sekali, karena Palestina tak punya tentara. Hanya ada beberapa kelompok sipil bersenjata yang berusaha bertahan seadanya. Negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab tak berdaya. Begitu pula negara-negara berpenduduk mayoritas Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI), tak da...

D-IV atau S1 ?

Suatu malam pada hari Sabtu , tanggal 14, bulan Januari , tahun 2012, berlatar tempatkan teras masjid Al-Ilmi IPDN Kampus Kalimantan Barat, terjadi satu percakapan ringan sangat sederhana tapi kemudian mampu untuk membuat otak ini menjadi rumit karena terus memikirkan substansi dari apa yang diperbincangkan itu, terlalu rumit sehingga saya pikir perlu untuk dituangkan dalam sebuah narasi penuh kata, tidak berpetuah dan tidak juga indah. Tapi cukup-lah untuk sekedar berbagi ide dan informasi yang pastinya tidak sesat. Dan ini-lah percakapan singkat itu : HP ( inisial teman saya ) : “Dim, kamu lebih milih mana, S.IP atau S.STP ?” Saya : “mmm….pengennya sih S.IP” HP : “Kenapa, Dim? Kata orang kan kalo S.STP tuh lebih baik buat karir dan kata orang juga S.IP tuh lebih condong buat jadi dosen.” Saya : “Wah gak tau sih kalo masalah yang kayak gitunya, tapi saya ingin S.IP karena yang saya tau S.IP itu lebih mudah untuk nantinya kita mau nerusin ke S2, nah kalo S.STP itu gak semua unive...

Hercules dan Moral

The Legend of Hercules Minggu, 9 Februari 2014 10.10 WIB Cukup lama saya tidak menonton sebuah film di bisokop. Untuk sebagian orang, hal ini merupakan sebuah pemborosan karena kondisi yang ada di Indonesia memungkinkan kita untuk bisa menonton sebuah film dengan harga yang jauh lebih murah.  Di Indonesia kita masih bisa untuk mendapatkan sebuah DVD dengan harga yang sangat murah, sekitar 6 (enam) ribu rupiah ( bajakan tentunya tapi dengan kualitas gambar yang cukup baik ), bandingkan dengan harga yang harus dikeluarkan apabila kita menonton sebuah film di bioskop, sekitar 25 ribu – 50 ribu rupiah tergantung bioskop yang kita pilih. Saya pun menyadari hal itu tapi saya tentu juga memiliki alasan. Terlepas dari alasan idealis yang sebenarnya juga masih saya miliki, alasan utama yang ingin saya kemukakan disini adalah bahwa menonton sebuah film di bioskop bagi saya adalah sebuah penyegaran, sebuah hobi untuk melepas penat dan mendapatkan lagi beberapa semangat. Ya, hobi. ...