Enggan duduk terdepan,
tapi segalanya ingin selalu duluan.
Shaf depan kosong melompong, terlihat jelas ompong, tanpa harus kita teropong.
Selalu ada di belakang,
tapi tak ingin terbelakang.
Shaf depan kosong melompong, terlihat jelas ompong, tanpa harus kita teropong.
Berdatangan mereka cepat,
memburu duduk di belakang tepat.
Mereka yang datang terlambat,
kecewa sungguh sangat.
Duduk terpaksa di depan dengan muka kesal terlihat.
Shaf depan kosong melompong, terlihat jelas ompong, tanpa harus kita teropong.
Apakah seburuk itu mental kita?
Sehingga rasa pede pun sudah sirna,
diri sendiri sudah tak dipercaya.
Orang lain lebih kita percaya,
mengharapkan bantuan di sini dan di sana.
Akhirnya tak punya tekad,
bersandar pada prinsip hidup yang tak kuat.
Shaf depan kosong melompong, terlihat jelas ompong, tanpa harus kita teropong.
Imam di mesjid berkata,
“rapatkan dan penuhi dulu shaf depan wahai jamaat”.
Tapi shaf depan tetap kosong melompong, terlihat jelas ompong, tanpa harus kita teropong.
Guru di kelas berkata jua,
“ayo! Isi dulu shaf depan murid-murid ku yang mulia”
Tapi lagi-lagi shaf depan masih kosong melompong, terlihat jelas ompong, tanpa harus kita teropong.
Jadi siapa lagi yang mau kita turuti?
Apa lagi yang mau kita taati?
Ketika imam di mesjid kita cueki, padahal jelas dia berkata berlandas pada wahyu dari Illahi.
Ketika guru di kelas pun kita biari, padahal jelas dia berkata berlandas pada aturan, norma, serta estetika dan etika akademisi.
Tapi kita tegas membantah, mengaggap itu hanya sebuah omong kosong, karena shaf depan masih saja kosong melompong, terlihat jelas ompong, tanpa harus kita teropong.
Mau jadi apa kita?
Bila niat diri ini sudah sangat tercela,
menghalalkan segala cara,
untuk mewujudkan semua cita kita.
Ya.. semua terlihat jelas terwakili nyata dari shaf depan yang terus kosong, terus melompong, seperti gigi yang telah ompong, terlihat terlampau jelas bila kita teropong.
Jadi...kapan ya shaf depan tak lagi kosong,
tak lagi ompong,
terlihat penuh, indah, dan teratur dalam teropong ?
tapi segalanya ingin selalu duluan.
Shaf depan kosong melompong, terlihat jelas ompong, tanpa harus kita teropong.
Selalu ada di belakang,
tapi tak ingin terbelakang.
Shaf depan kosong melompong, terlihat jelas ompong, tanpa harus kita teropong.
Berdatangan mereka cepat,
memburu duduk di belakang tepat.
Mereka yang datang terlambat,
kecewa sungguh sangat.
Duduk terpaksa di depan dengan muka kesal terlihat.
Shaf depan kosong melompong, terlihat jelas ompong, tanpa harus kita teropong.
Apakah seburuk itu mental kita?
Sehingga rasa pede pun sudah sirna,
diri sendiri sudah tak dipercaya.
Orang lain lebih kita percaya,
mengharapkan bantuan di sini dan di sana.
Akhirnya tak punya tekad,
bersandar pada prinsip hidup yang tak kuat.
Shaf depan kosong melompong, terlihat jelas ompong, tanpa harus kita teropong.
Imam di mesjid berkata,
“rapatkan dan penuhi dulu shaf depan wahai jamaat”.
Tapi shaf depan tetap kosong melompong, terlihat jelas ompong, tanpa harus kita teropong.
Guru di kelas berkata jua,
“ayo! Isi dulu shaf depan murid-murid ku yang mulia”
Tapi lagi-lagi shaf depan masih kosong melompong, terlihat jelas ompong, tanpa harus kita teropong.
Jadi siapa lagi yang mau kita turuti?
Apa lagi yang mau kita taati?
Ketika imam di mesjid kita cueki, padahal jelas dia berkata berlandas pada wahyu dari Illahi.
Ketika guru di kelas pun kita biari, padahal jelas dia berkata berlandas pada aturan, norma, serta estetika dan etika akademisi.
Tapi kita tegas membantah, mengaggap itu hanya sebuah omong kosong, karena shaf depan masih saja kosong melompong, terlihat jelas ompong, tanpa harus kita teropong.
Mau jadi apa kita?
Bila niat diri ini sudah sangat tercela,
menghalalkan segala cara,
untuk mewujudkan semua cita kita.
Ya.. semua terlihat jelas terwakili nyata dari shaf depan yang terus kosong, terus melompong, seperti gigi yang telah ompong, terlihat terlampau jelas bila kita teropong.
Jadi...kapan ya shaf depan tak lagi kosong,
tak lagi ompong,
terlihat penuh, indah, dan teratur dalam teropong ?
Komentar
Posting Komentar