"Semua Ibadah itu Haram kecuali yang dihalalkan oleh Allah Swt."
"Ibadah itu bukan tentang KUANTITAS, tapi tentang KUALITASNYA!"
"Ibadah itu bukan tentang KUANTITAS, tapi tentang KUALITASNYA!"
Islam adalah satu-satunya agama yang benar di dunia ini dan saya beruntung untuk langsung dilahirkan menjadi seorang muslim, tanpa harus bersusah payah mencari jati diri, mencari-cari agama yang benar-benar hakiki. Tapi situasi seperti ini memang membuat saya pribadi terbuai dan terlena. Saya menjadi seorang muslim yang pasif, yang hanya melakukan segala sesuatunya tanpa ilmu yang cukup karena terbuai dan terlena setelah sekian lama disuapi oleh berbagai ilmu agama yang datang dengan sendirinya dan terlalu merasa cukup dengan fakta bahwa saya ini dilahirkan dalam keadaan sudah menjadi seorang muslim. Sehingga diri ini berpendapat bahwa cukup lah hanya kalangan ustadz, kiai dan para cendekiawan muslim lainnya yang mempelajari dan membedah tentang ilmu agama, saya hanya cukup menjadi seorang pengguna, seorang pengikut saja.
Seiring waktu berjalan hal itu mulai saya sadari merupakan suatu kesalahan yang teramat besar. Karena hal seperti itu hanya akan membuat diri ini menjadi seorang yang terombang-ambing, terbawa oleh arus tanpa ada suatu pendirian, karena tidak memiliki ilmu yang cukup. Segala ibadah yang dilakukan hanya berdasarkan suatu hukum “katanya..”, “menurut ustdaz ini..”, “kata kiai ini...”, “berdasarkan kelompok ini...”, dan sebagainya.
Suatu kebodohan!!
***
Islam adalah agama yang sempurna yang mengatur segala seluk beluk kehidupan umat manusia. Sumber hukum yang mendasari segala aturan yang berlaku dalam Islam, adalah : Al-Qur’an, Hadits, dan Ijtihad.
Al-Qur’an adalah sumber ajaran pokok dalam agama Islam, yang berisi firman-firman/wahyu Allah Swt. . Al-Qur’an adalah sumber yang dijadikan sebagai landasan nilai bagi umat Islam dalam menentukan hukum suatu tindakan, menunjukan dan menuntunnya kepada jalan menuju tujuannya, dan menjelaskan tentang hakekat kehidupan manusia dalam hubungan dengan sesama, lingkungan dan dengan Tuhannya.
Sumber nilai Islam setelah Al-Qur’an adalah Hadits, yaitu hal-hal yang datang dari Rasullah baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun persetujuan (taqrir). Hadits Tasyri ( berkaitan dengan syara) adalah hadits yang datang dari Nabi dalam kapasitasnya sebagai Rasullah, sehingga dapat dijadikan sebagai pedoman hukum. Dan ada hadits Ghairu Tasyri ( tidak berkaitan dengan syara) yakni datang dari sifat kemanusian nabi, sehingga tidak dijadikan sebagai pedoman dalam penetapan hukum.
Dasar hukum ketiga setelah Al-Qur’an dan Hadits adalah Ijtihad, yaitu menggunakan akal dalam menetapkan hukum yang belum diatur oleh Al-Qur’an dan Hadits. Tapi tetap melandaskan pada kedua sumber hukum itu, hanya saja dalam operasionalnya menggunakan pendekatan akal.
(dirangkum dari buku Pendidikan Agama Islam untuk perguruan tinggi muatan khusus IPDN oleh Tim Pengajar Subjek Pendidikan Agama Islam)
Al-Qur’an, Hadits dan Itihad merupakan sumber utama umat Islam dalam bersikap, bertindak dan mengatur sebuah aturan dalam hidupnya. Tapi, seiring berkembangnya zaman, dengan bertambahnya populasi manusia dan bertambahnya umat muslim dengan berbagai tingkat pendidikan dan latar belakang budaya yang berbeda maka mulai munculah berbagai perbedaan pandangan dan pemahaman dalam menafsirkan dan mengamalkan segala amalan yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits. Akan tetapi, perbedaan pemahan dalam menafsirkan Al-Qur’an relatif tidak signifikan, perbedaan pemahaman itu mulai terasa signifikan ketika kita melihat atau mencoba menafsirkan sebuah hukum dari Hadits. Karena Hadits ini diturunkan atau diriwayatkan berdasarkan pendengaran, penglihatan dari para sahabat dengan penyampaian mereka masing-masing, sehingga harus diurut betul, diteliti secermat mungkin, apakah yang meriwayatkan itu ada sahabat yang “cacat” atau tidak. Sehingga perlu sangat hati-hati dalam memakai suatu hadits.
Perbedaan ini bisa kita lihat secara jelas, dari banyaknya kelompok agama Islam yang ada di Indonesia, diantaranya, NU, Muhammadiyah, Persis, dll. Kelompok-kelompok itu ada karena perbedaan mereka dalam penfasiran kepada sebuah hadits.
Hadits sendiri bisa dikelompokan menjadi dua macam, yakni hadits yang dilihat dari sedikit dan banyaknya orang yang meriwayatkan dan hadits yang dilihat dari segi kualitasnya.
Hadits yang dilihat dari sedikit dan banyaknya orang yang meriwayatkannya, terdiri dari hadits Mutawir ( diriwayatkan oleh sejumlah orang secara terus menerus tanpa putus dan secara adat para perawinya tidak mungkin bohong), hadits Masyur (diriwayatkan sejumlah orang, tapi tidak mencapai tingkat Mutawir) dan Hadits Ahad (diriwayatkan oleh seorang, dua orang atau lebih tetapi tidak mencapai syarat Masyur dan Mutawir).
Sedangkan hadits berdasarkan segi kualitasnya, yaitu diterima atau ditolaknya sebuah hadits, terdiri dari, hadits Shahih ( sanadnya bersambung;perawinya adil, berpegang teguh kepada agama, baik akhlaknya, jauh dari sifat fasik;perawinya memiliki ingatan yang sempurna dan kuat hapalannya;perawinya tidak ditolak oleh ahli-ahli hadits), hadits Hasan (hadits yang memnuhi syarat hadits Shahih, tetapi perawinya kurang kuat ingatannya atau kurang baik hapalannya) dan hadits Dhaif (hadits yang tidak lengkap syaratnya atau tidak memiliki syarat yang terdapat pada hadits Shahih dan hadits Hasan).
Hadits yang bisa gunakan atau dipakai tentulah hanyalah hadits Shahih, akan tetapi meunculnya berbagai pemahaman dengan berbagai latar belakang pendidikan dan pendekatan budaya yang berbeda, sehingga ada sebagian orang yang masih menggunakan hadits Dhaif untuk mereka jadikan dasar hukum, dan ada pula yang saklek hanya menggunakan hadits Shahih saja.
Memang terkadang perdebatan itu muncul dalam perbedaan pendapat bahwa menurut satu orang/satu kelompok satu hadits ini disebut Shahih, tapi menurut satu orang/kelompok lain hadits itu merupakan hadits Dhaif. Akan tetapi, hal itu sudah jarang terjadi, tapi permasalahan yang ada sekarang adalah ada satu orang/kelompok yang masih menggunakan hadits dhaif untuk dijadikan landasan hukum , karena alasan historis, kultural, maupun pendapat yang menyatakan bahwa walaupun dhaif tetap saja merupakan hadits.
NU, Muhammadiyah, dan Persis merupakan tiga lembaga yang menjadi patron utama dalam kehidupan beragama masyarakat Indonesia. Saking lekatnya image masyarakat terhadap ketiga organisasi masyarakat itu, yang memang memiliki ciri khas teramat jelas dalam pemahaman mereka terhadap suatu hadits sehingga secara buta masyarakat langsung menyebutkan dan menilai salah satu orang/kelompok lainnya dengan sebutan, “Oh, dia Persis”, “Oh, dia NU...”, “Oh, dia Muhamadiyah”, “Oh, kampung ini ada tahlilan berarti ini kampung NU..”, “Oh, kampung ini adzan jumat nya satu kali, berarti ini Kampung Muhamadiyah...”, “Oh, kampung ini shubuhnya gak pake kunut, berarti ini kampung Persis..”, dan begitu seterusnya. Ini jelas suatu pemahaman yang salah, karena NU, Muhammadiyah, Persis itu adalah merupakan suatu organisasi yang apabila ada orang yang masuk atau ikut berkecimpung didalamnya maka akan didata sebagai anggotanya dan memiliki suatu identitas legal sebagai penunjuk bahwa dia adalah bagian dari kelompok tersebut. Tapi, masyarakat dengan begitu saja menilai dan men-judge satu orang /kelompok lainnya secara kasar dan kasat mata lalu mengidentikkannya dengan satu kelompok.
Perbedaan pendapat memang harus dipahami secara utuh dan bijak. Harus disikapi dengan kepala sedingin mungkin dan situasi sekondusif mungkin. Perbedaan juga bukan untuk dibiarkan, karena perbedaan merupakan bibit dari sebuah perpecahan, apalagi perbedaan itu mengenai sesuatu hal tentang benar dan salah, sesuatu yang prinsipil. Jadi, perbedaan itu harus kita diskusikan dan bicarakan, mencari letak perbedaannya dan mencari letak kesamaannya lalu cari solusinya. Solusi yang dihasilkan bisa berupa membenarkan dan meyalahkan salah satu pendapat atau bahkan membentuk suatu kebenaran dengan menggabungkan pendapat-pendapat yang asalnya berbeda itu. Dan ini lah yang seharusnya dilakukan oleh umat Islam yang ada di Indonesia dan bahkan seluruh dunia, dengan banyaknya populasi umat Muslim dengan berbagai kelompoknya, dengan berbagai pemahamnnya sudah saatnya kita menyatukan visi misi serta pendapat kita tentang pemahaman dalam beragama. Menafsirkan secara utuh dan sama makna-makna yang terkandung dalam Al-Qur’an, membukukan dalam satu buku besar segala hadits Shahih. Sehingga Ukhuwah Islamiyah itu bisa benar-benar terbentuk, sehingga masyarakat tidak lagi terpecah-pecah, tidak lagi terjebak ke dalam satu kelompok atau satu pemahaman, tidak hanya terfokus pada ego kelompok semata atau taklid pada sesorang saja. Tapi benar-benar menjadi satu dalam Islam yang satu; Al-Qur’an dan Hadits Shahih!!
***
Saya adalah orang yang berusaha atau ingin menjadi seorang muslim yang beragama dengan berlandaskan pada Al-Qur’an dan hadits ( hadits shahih tentunya ), dan lagi-lagi saya beruntung memiliki dan dibesarkan dari keluarga yang mempunyai semangat seperti itu atau bahkan keinginan saya itu muncul karena hasil didikan itu. Tapi lagi-lagi seiring waktu berjalan, apa yang saya inginkan itu tidak saya tunjang dengan semangat untuk mencari ilmu agama yang dalam dan kondisi lingkungan yang ada. Saya sadari bahwa ternyata menjadi seperti itu, berarti saya menjadi seorang minoritas, dan saya mulai terbiasa dengan sebutan , “Oh, dia Persis/Muhamdiyah..”, dan lambat laun akhirnya saya mulai mengerti semuanya.Perasaan yang sebenarnya sudah tenang, kembali terusik dengan datangnya Nishfu Syaban beserta segala perayaan dan amalan yang dilakukan di dalamnya, jiwa saya mulai berontak ingin rasanya untuk berdebat. Karena sejauh yang saya ketahui, segala amalan dalam nishfu syaban dasar hukumnya atau hadits yang memerintahkannya adalah dhaif. Tapi, semua itu terbentur oleh kebodohan diri sendiri, yang hanya cukup untuk menjadi seorang pendengar dan pengguna tanpa ingin untuk menjadi seorang peneliti, menjadi seorang ahli. Sehingga diri ini tidak bisa untuk berdakwah, segala sesuatunya hanya mampu dilakukan untuk diri sendiri. Karena permasalahan agama, kita tidak bisa sembarang untuk berdebat, kita harus benar-benar mengerti dan tahu hukumnya secara pasti, bukan katanya dan katanya. (bukan saja untuk agama, tapi untuk semua hal) Tapi, kalau hanya untuk sekedar saling menegur, saling mengingatkan, untuk hal-hal yang pokok itu menjadi sesuatu hal yang wajib dilakukan walaupun dengan ilmu yang sedikit, jangan karena kita tidak tau apa-apa, kita menjadi tidak sama sekali untuk melakukan dakwah dan hanya baik untuk sendiri. Karena apabila kamu tidak bisa melakukan semuanya, maka jangan lah kamu tinggalkan semuanya.
Akhirnya setelah resah mencari, dua orang teman di dunia Facebook datang menyelamatkan, yakni Ratia Hilaliyah (نجمة) ( sebenarnya saya tidak mengenalnya secara personal, bahkan di FB pun kami belum berteman, tapi Sdr. Rully men-tag saya pada tulisan yang Sdri. Ratia share di FB) dan Rully Ginanjar Anggadinata, keduanya mem-posting mengenai permasalahan Nishfu Syaban ini dan keduanya, khususnya Rully merupakan seseorang yang sangat mendalami tentang agama. Sehingga dia, mereka, mampu untuk memposting mengenai permasalahan itu. Dan menjadi tenanglah hati ini setidaknya untuk permasalahan ini, tapi sebenarnya masih mengganjal untuk masalah-masalah lainnya.
Yang jelas, melalui tulisan ini, saya ingin mengajak semua umat muslim di manapun anda berada untuk sama-sama kita mendalami lagi ilmu agama ini, jangan taklid pada seseorang atau satu pemahaman, mari kita buka pikiran dan hati ini seluas-luasnya untuk ilmu lainnya, untuk pendapat baru, referensi baru. Mari kita kembali pada Al-Qur’an dan Hadits Shahih semata, tidak lagi katanya dan katanya, tapi benar-benar harus kita pahami sehingga mantap kita akan berkata bahwa apa yang kita kerjakan adalah berdasarkan Al-Qur’an, surat A, ayat A atau hadits B. Sehingga kita mampu menjadi seorang muslim yang Kaffah, mampu total untuk berdakwah.
Amin!
Dan inilah postingan, tentang lemahnya hadits yang mendasari tentang amalan Nishfu Syaban, silahkan baca dan anda jadikan referensi serta pembanding, sehingga kita mampu untuk berpikir kritis, senantiasa melakukan kroscek.
HUKUM PERAYAAN MALAM NISYFU SYA'BAN
SEJARAH RITUAL MALAM NISHFU SYA'BAN
Komentar
Posting Komentar